Sajian Berbahaya di Pasar Rakyat
A
A
A
Kabar memprihatinkan datang dari Kota Bekasi. Seorang pedagang nasi uduk dan bubur di Kecamatan Mustika Jaya melapor kepada aparat kepolisian bahwa beras yang dibelinya dari Pasar Mutiara Gading pada Rabu (13/5) ternyata bercampur dengan beras sintetis.
Pedagang bernama Dewi Septiani tersebut terpaksa melapor setelah sejumlah pelanggannya melayangkan protes karena merasa sakit kepala dan sakit perut seusai mengonsumsi dagangannya. Setelah dicek di Laboratorium Sucofindo, beras tersebut positif dicampur dengan beras sintetis yang dibikin dari bahan baku pembuatan kabel, keramik, dan pipa paralon.
Bahan dimaksud mengandung unsur senyawa kimia BBP, DEHP, DIMP untuk pembuatan Polyvinyl chloride dan dicampur dengan senyawa kimia pelentur plastik. Bisa dipastikan betapa bahayanya jika zat tersebut dikonsumsi. Dampaknya bukan sekadar gangguan pencernaan, tapi juga mengancam fungsi hati hingga berpotensi terkena kanker.
Berita terungkapnya beras sintetis dengan senyawa yang sangat berbahaya tersebut sudah pasti meresahkan masyarakat. Tapi, sejatinya, peredaran sembako atau aneka makanan dengan kandungan zat yang berbahaya seperti puncak gunung es. Satu temuan yang terlihat, yakni beras sintetis, tapi sebenarnya masih banyak lagi sembako, aneka ragam makanan, jajanan, kosmetik, perkakas, bahkan obat-obatan yang mengandung zat berbahaya.
Bukan saja makanan, minuman keras yang sebenarnya sudah sangat membahayakan pun acap kali masih dioplos dengan zat membahayakan. Yang semakin memprihatinkan, semua zat berbahaya tersebut sebagian besar disajikan secara terbuka di pasar rakyat, baik itu di pasar tradisional, kaki lima atau kios pinggir jalan maupun di sekolahan atau dijajakan di berbagai sudut perkampungan.
Walhasil, makanan, jajanan, minuman, dan obat-obatan yang mengandung zat pewarna, bahan pengawet, perasa hingga materi kemasan yang mengandung zat berbahaya pun tak terhindarkan terkonsumsi secara masif dan berkala. Di sisi lain, mereka para produsen, distributor hingga pengecer sangat paham betul hukum pasar, yakni hukum penawaran-permintaan, bahwa dagangan paling murahlah yang akan laku.
Karena itulah mereka menggunakan berbagai macam cara untuk bisa memproduksi, menyalurkan, dan menjual barang kebutuhan yang cepat terserap pasar dan bisa meraup keuntungan. Soal kualitas, itu perkara lain. Celakanya, konsumen di pasar rakyat sebagian besar tidak mempunyai kemampuan menghindari sajian beracun tersebut.
Dengan uang belanja pas-pasan, mereka hanya berpikir bagaimana bisa memenuhi kebutuhan makan atau bisa jajan untuk hari ini dengan harga terjangkau. Berdasar data BPS per akhir 2014 lalu, konsumen demikian jumlahnya cukup besar, terutama mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan, yaitu mencapai 27,73 juta jiwa atau 10,96% populasi.
Jumlah ini sudah pasti akan membesar seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan berbagai kebutuhan pokok. Berdasar kondisi tersebut, semestinya negara, entah itu dinas perdagangan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), untuk memastikan keamanan pangan rakyat proaktif.
Tapi, dalam kasus beras sintetis di Kota Bekasi, institusi negara hanya merespons laporan dari masyarakat. Bahkan, BPOM hingga kini belum menunjukkan responsnya. Bayangkan bagaimana jika Dewi Septiani tidak berinisiatif merespons keluhan konsumennya dan tidak melaporkannya ke aparat? Sudah pasti beras sintetis akan terus dikonsumsi dan jangkauan distribusinya akan semakin luas.
BPOM atau institusi terkait tidak bisa lagi duduk di kantor dan hanya melakukan pemeriksaan secara berkala. Mereka harus bekerja lebih intens turun ke pasar tradisional atau pusat jajanan untuk memastikan keamanan makanan dan obat-obatan. Jika terganjal anggaran atau personel, tentu tugas pemerintah untuk memberikan dukungan.
Sinergi dengan lembaga penegak hukum juga harus diperkuat sehingga jangan sampai mereka yang sengaja menyebar racun di tengah masyarakat bisa bebas berkeliaran demi sekadar meraup keuntungan.
Pedagang bernama Dewi Septiani tersebut terpaksa melapor setelah sejumlah pelanggannya melayangkan protes karena merasa sakit kepala dan sakit perut seusai mengonsumsi dagangannya. Setelah dicek di Laboratorium Sucofindo, beras tersebut positif dicampur dengan beras sintetis yang dibikin dari bahan baku pembuatan kabel, keramik, dan pipa paralon.
Bahan dimaksud mengandung unsur senyawa kimia BBP, DEHP, DIMP untuk pembuatan Polyvinyl chloride dan dicampur dengan senyawa kimia pelentur plastik. Bisa dipastikan betapa bahayanya jika zat tersebut dikonsumsi. Dampaknya bukan sekadar gangguan pencernaan, tapi juga mengancam fungsi hati hingga berpotensi terkena kanker.
Berita terungkapnya beras sintetis dengan senyawa yang sangat berbahaya tersebut sudah pasti meresahkan masyarakat. Tapi, sejatinya, peredaran sembako atau aneka makanan dengan kandungan zat yang berbahaya seperti puncak gunung es. Satu temuan yang terlihat, yakni beras sintetis, tapi sebenarnya masih banyak lagi sembako, aneka ragam makanan, jajanan, kosmetik, perkakas, bahkan obat-obatan yang mengandung zat berbahaya.
Bukan saja makanan, minuman keras yang sebenarnya sudah sangat membahayakan pun acap kali masih dioplos dengan zat membahayakan. Yang semakin memprihatinkan, semua zat berbahaya tersebut sebagian besar disajikan secara terbuka di pasar rakyat, baik itu di pasar tradisional, kaki lima atau kios pinggir jalan maupun di sekolahan atau dijajakan di berbagai sudut perkampungan.
Walhasil, makanan, jajanan, minuman, dan obat-obatan yang mengandung zat pewarna, bahan pengawet, perasa hingga materi kemasan yang mengandung zat berbahaya pun tak terhindarkan terkonsumsi secara masif dan berkala. Di sisi lain, mereka para produsen, distributor hingga pengecer sangat paham betul hukum pasar, yakni hukum penawaran-permintaan, bahwa dagangan paling murahlah yang akan laku.
Karena itulah mereka menggunakan berbagai macam cara untuk bisa memproduksi, menyalurkan, dan menjual barang kebutuhan yang cepat terserap pasar dan bisa meraup keuntungan. Soal kualitas, itu perkara lain. Celakanya, konsumen di pasar rakyat sebagian besar tidak mempunyai kemampuan menghindari sajian beracun tersebut.
Dengan uang belanja pas-pasan, mereka hanya berpikir bagaimana bisa memenuhi kebutuhan makan atau bisa jajan untuk hari ini dengan harga terjangkau. Berdasar data BPS per akhir 2014 lalu, konsumen demikian jumlahnya cukup besar, terutama mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan, yaitu mencapai 27,73 juta jiwa atau 10,96% populasi.
Jumlah ini sudah pasti akan membesar seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan berbagai kebutuhan pokok. Berdasar kondisi tersebut, semestinya negara, entah itu dinas perdagangan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), untuk memastikan keamanan pangan rakyat proaktif.
Tapi, dalam kasus beras sintetis di Kota Bekasi, institusi negara hanya merespons laporan dari masyarakat. Bahkan, BPOM hingga kini belum menunjukkan responsnya. Bayangkan bagaimana jika Dewi Septiani tidak berinisiatif merespons keluhan konsumennya dan tidak melaporkannya ke aparat? Sudah pasti beras sintetis akan terus dikonsumsi dan jangkauan distribusinya akan semakin luas.
BPOM atau institusi terkait tidak bisa lagi duduk di kantor dan hanya melakukan pemeriksaan secara berkala. Mereka harus bekerja lebih intens turun ke pasar tradisional atau pusat jajanan untuk memastikan keamanan makanan dan obat-obatan. Jika terganjal anggaran atau personel, tentu tugas pemerintah untuk memberikan dukungan.
Sinergi dengan lembaga penegak hukum juga harus diperkuat sehingga jangan sampai mereka yang sengaja menyebar racun di tengah masyarakat bisa bebas berkeliaran demi sekadar meraup keuntungan.
(bhr)