Passion Titik Awal Menuju Sukses
A
A
A
Dunia tulis-menulis di Indonesia amatlah keras sisi ekonominya. Memang ada banyak orang yang terjun dalam dunia tulis-menulis ini. Tapi, sebagian besar harus berjibaku dalam income alias pendapatan.
Banyak penulis yang akhirnya bertanya tanpa akhir; mengapa menggeluti sebuah profesi yang disukai, namun secara ekonomis harus mengalami kenyataan babak belur? Saking sulitnya keadaan ekonomi, sebagian orang yang mata pencahariannya berhubungan dengan dunia tulis-menulis kini hengkang.
Mereka meninggalkan habitatnya dan pindah ke habitat baru dengan berjualan batu akik. Menurut penulis buku Happy Work Happy Life, Hendrik Lim, untuk menjadi penulis yang sukses meraup keuntungan finansial, passion saja tidak cukup. Passion hanya titik awal menuju kesuksesan. Apa faktor lainnya? Berikut wawancara KORAN SINDO dengan penulis sejumlah buku motivasi itu.
Bagaimana Anda melihat realitas membaca dan menulis di negeri ini?
Minat baca per kapita kita memang sangat rendah. Dan penghargaan tangible ekonomis hampir tidak ada terhadap penulis dibanding dengan pikiran, waktu, dan tenaga yang terkuras. Meskipun audience mendapatkan kenikmatan intelektual saat membaca karyanya, reward -nya tidak bisa dibandingkan dengan artis kampung.
Bagaimana solusi dan strategi untuk mendapatkan terobosan jika seseorang punya passion dalam dunia tulis, tapi tidak kuat terhadap intimidasi income? Bukankah punya passion itu modal yang amat besar untuk mencapai puncak kejayaan?
Betul, punya passion itu saja sudah merupakan satu anugerah yang luar biasa. Meskipun semua orang pada dasarnya punya passion personal yang merupakan bawaan lahir, sebagian besar orang tidak menemukannya. Apalagi, merawat dan membesarkannya. Sering proses identifikasi passion terlewatkan karena berbagai kesibukan sehari- hari.
”Janin Passion” sering dibawa mati tanpa pernah mendapat kesempatan untuk lahir. Jadi, kalau seseorang sudah bisa menemukan kerja dengan passion -nya, ini suatu titik awal yang sangat hebat. Namun, passion saja tidak cukup untuk mendatangkan reward finansial. Untuk mendapatkan ganjaran materi, orang perlu pemahaman beberapa kaidah dasar bisnis.
Apa saja kaidah dasar bisnis yang Anda maksudkan itu?
Pertama, harus diingat bahwa kaidah dasar bisnis adalah deal . Bisnis itu bersifat transaksional. Tidak ada satu orang pun yang akan memberi kita uang kalau mereka tidak merasa mendapatkan problem solving. Misalnya kalaupun saya sangat hebat dalam passion saya bidang lagu sariosa, yang bisa saya nyanyikan dengan melengking dan begitu hebat. Namun, itu tidak berarti saya akan kaya raya dan kelimpahan materi. Fakta brutal ini mempertontonkan dengan congkak.
Terlalu banyak editor, penyanyi, artis, wartawan, pengusaha, dan guru yang hebat-hebat, tapi kekurangan materi. Dan, tekanan kekurangan materi bisa membuat orang kehabisan tenaga dalam untuk berpikir kreatif, termasuk penulis itu tadi. Lalu hal kedua, ini yang juga sangat penting. Seorang penulis misalnya harus punya sensitivitas. Penulis jangan hanya memikirkan kepalanya sendiri saat menulis, tapi harus memikirkan pembacanya. Saya menyebutnya dengan business sensitivity .
Bisa Anda konkretkan dengan contoh bagaimana persisnya business sensitivity itu?
Saya sendiri misalnya sebagai penulis buku genre Bisnis Manajemen. Karena itu, ketika menulis saya selalu memikirkan siapa yang akan mendapat manfaat dari berbagai ide dan solusi yang saya tulis dan tawarkan dalam sebuah tulisan. Karena itu, dalam menulis saya pun hanya fokus membidik segmen bisnis leaders dan eksekutif korporasi. Hasilnya disambut baik. Ada banyak buku saya yang dipesan dan dibeli secara bulk, dalam angka ratusan eksemplar untuk masing-masing perseroan.
Contoh lain?
Saya ilustrasikan begini. Kalau saya seorang penyanyisariosa, saya harus mulai memikirkan siapa audience yang membutuhkan dan suka dengan jenis sariosa tersebut. Jadi, kalaupun saya menyanyi dengan penuh perasaan dan excellent, padahal audience-nya anakanak urban metro yang suka jazz.
Jelas, mereka akan disconnected. Maka ekonomi saya akan babak belur. Di sinilah perlunya business wisdom, untuk berpikir keluar dari diri sendiri atau sering disebut outward thinking. Outward thinking adalah sebuah kemampuan sensitivitas untuk memikirkan, siapa yang amat membutuhkan sariosa saya sehingga bisa memberi solusi bagi mereka (sebagai entertainment, pelipur jiwa, ecstasyj iwa atau apa saja yang membuat orang terhibur).
Fokus dan orientasi pemikirannya akan mulai pindah dari me, me, me ke ranah empati memikirkan kebutuhan orang lain yaitu you, you, you. Baru setelah kaidah ini dipenuhi, audience mulai ”membuka dompet atau transfer rekening mulai masuk dan memberikan senyum.
Donatus nador
Banyak penulis yang akhirnya bertanya tanpa akhir; mengapa menggeluti sebuah profesi yang disukai, namun secara ekonomis harus mengalami kenyataan babak belur? Saking sulitnya keadaan ekonomi, sebagian orang yang mata pencahariannya berhubungan dengan dunia tulis-menulis kini hengkang.
Mereka meninggalkan habitatnya dan pindah ke habitat baru dengan berjualan batu akik. Menurut penulis buku Happy Work Happy Life, Hendrik Lim, untuk menjadi penulis yang sukses meraup keuntungan finansial, passion saja tidak cukup. Passion hanya titik awal menuju kesuksesan. Apa faktor lainnya? Berikut wawancara KORAN SINDO dengan penulis sejumlah buku motivasi itu.
Bagaimana Anda melihat realitas membaca dan menulis di negeri ini?
Minat baca per kapita kita memang sangat rendah. Dan penghargaan tangible ekonomis hampir tidak ada terhadap penulis dibanding dengan pikiran, waktu, dan tenaga yang terkuras. Meskipun audience mendapatkan kenikmatan intelektual saat membaca karyanya, reward -nya tidak bisa dibandingkan dengan artis kampung.
Bagaimana solusi dan strategi untuk mendapatkan terobosan jika seseorang punya passion dalam dunia tulis, tapi tidak kuat terhadap intimidasi income? Bukankah punya passion itu modal yang amat besar untuk mencapai puncak kejayaan?
Betul, punya passion itu saja sudah merupakan satu anugerah yang luar biasa. Meskipun semua orang pada dasarnya punya passion personal yang merupakan bawaan lahir, sebagian besar orang tidak menemukannya. Apalagi, merawat dan membesarkannya. Sering proses identifikasi passion terlewatkan karena berbagai kesibukan sehari- hari.
”Janin Passion” sering dibawa mati tanpa pernah mendapat kesempatan untuk lahir. Jadi, kalau seseorang sudah bisa menemukan kerja dengan passion -nya, ini suatu titik awal yang sangat hebat. Namun, passion saja tidak cukup untuk mendatangkan reward finansial. Untuk mendapatkan ganjaran materi, orang perlu pemahaman beberapa kaidah dasar bisnis.
Apa saja kaidah dasar bisnis yang Anda maksudkan itu?
Pertama, harus diingat bahwa kaidah dasar bisnis adalah deal . Bisnis itu bersifat transaksional. Tidak ada satu orang pun yang akan memberi kita uang kalau mereka tidak merasa mendapatkan problem solving. Misalnya kalaupun saya sangat hebat dalam passion saya bidang lagu sariosa, yang bisa saya nyanyikan dengan melengking dan begitu hebat. Namun, itu tidak berarti saya akan kaya raya dan kelimpahan materi. Fakta brutal ini mempertontonkan dengan congkak.
Terlalu banyak editor, penyanyi, artis, wartawan, pengusaha, dan guru yang hebat-hebat, tapi kekurangan materi. Dan, tekanan kekurangan materi bisa membuat orang kehabisan tenaga dalam untuk berpikir kreatif, termasuk penulis itu tadi. Lalu hal kedua, ini yang juga sangat penting. Seorang penulis misalnya harus punya sensitivitas. Penulis jangan hanya memikirkan kepalanya sendiri saat menulis, tapi harus memikirkan pembacanya. Saya menyebutnya dengan business sensitivity .
Bisa Anda konkretkan dengan contoh bagaimana persisnya business sensitivity itu?
Saya sendiri misalnya sebagai penulis buku genre Bisnis Manajemen. Karena itu, ketika menulis saya selalu memikirkan siapa yang akan mendapat manfaat dari berbagai ide dan solusi yang saya tulis dan tawarkan dalam sebuah tulisan. Karena itu, dalam menulis saya pun hanya fokus membidik segmen bisnis leaders dan eksekutif korporasi. Hasilnya disambut baik. Ada banyak buku saya yang dipesan dan dibeli secara bulk, dalam angka ratusan eksemplar untuk masing-masing perseroan.
Contoh lain?
Saya ilustrasikan begini. Kalau saya seorang penyanyisariosa, saya harus mulai memikirkan siapa audience yang membutuhkan dan suka dengan jenis sariosa tersebut. Jadi, kalaupun saya menyanyi dengan penuh perasaan dan excellent, padahal audience-nya anakanak urban metro yang suka jazz.
Jelas, mereka akan disconnected. Maka ekonomi saya akan babak belur. Di sinilah perlunya business wisdom, untuk berpikir keluar dari diri sendiri atau sering disebut outward thinking. Outward thinking adalah sebuah kemampuan sensitivitas untuk memikirkan, siapa yang amat membutuhkan sariosa saya sehingga bisa memberi solusi bagi mereka (sebagai entertainment, pelipur jiwa, ecstasyj iwa atau apa saja yang membuat orang terhibur).
Fokus dan orientasi pemikirannya akan mulai pindah dari me, me, me ke ranah empati memikirkan kebutuhan orang lain yaitu you, you, you. Baru setelah kaidah ini dipenuhi, audience mulai ”membuka dompet atau transfer rekening mulai masuk dan memberikan senyum.
Donatus nador
(bbg)