Bangkit atau Bangkrut?
A
A
A
HANISAH PUJIANA
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Menginjak bulan Mei, kita diingatkan pada beberapamemoaryang telah terjadi di masa lampau. Semua itu tidak terlupa, masih tercetak rapi dalam lembaran sejarah perjalanan Indonesia.
Dalam konteks itu, beberapa peristiwa yang mendera Indonesia saat ini seolah menjadi tamparan dan membisikkan ”ayo bangkit!” Bukan, ini semua bukan pekerjaan rumah dari pihak pemerintah saja. Segenap bangsa Indonesia ditunggu partisipasinya untuk kembali meraih kejayaan sejati yang dulu pernah ada.
Setiap negara pasti punya permasalahan, ini tidak bisa terelakkan. Kisruh politik, ekonomi, kepercayaan, dan sebagainya menjadi bagian dari itu. Maka adanya Hari Kebangkitan Nasional menjadi alarm bahwa Indonesia harus bangkit dari semua lara yang ada. Jatuh bangun hidup itu hal biasa, yang paling penting adalah bagaimana kita bangkit dari sesuatu yang menjatuhkan itu.
Mulailah dari yang paling sederhana karena sukses tidak akan didapat kalau tidak dimulai dari bawah. Bagi golongan mahasiswa, hendaknya bisa memaknai momen kebangkitan nasional itu dengan semakin giat belajar agar ada modal untuk mewujudkan bangsa yang cerdas nantinya.
Belajar adalah tugas mulia yang diemban oleh tiap pelajar dan mahasiswa, belajar juga merupakan upaya dari kebangkitan itu sendiri, yaitu bangkit dari rasa malas untuk menghapus kebodohan. Belajar bukan melulu soal keakraban kita dengan buku-buku, tetapi belajar adalah sikap berani untuk menentang ketidakmungkinan. Belajar apa pun itu, asal masih pada koridor positif.
Bukankah hidup ini memang tentang belajar? Belajar sabar untuk menjadi sabar, belajar rajin untuk menjadi rajin, belajar disiplin untuk menjadi disiplin. Menjadi dewasa adalah keharusan, bukan pilihan. Tentu saja hal ini juga berlaku untuk suatu negara dan pernik-perniknya. Seperti yang kita ketahui, usia hampir 70 tahun bagi suatu negara digolongkan dalam kategori ”muda”.
Jelas karena kita menjadikan negara ”tua” sebagai petunjuk untuk menghitung itu, misalnya saja negara Belanda yang mempunyai selisih umur hampir 297 tahun dengan Indonesia. Untuk itu, harapan masih ada di tangan kita. Bahwa usia Indonesia untuk menjadi gilang-gemilang tentu masih ”terlalu muda” karena ada banyak asam garam kehidupan bernegara yang harus dirasakan Indonesia terlebih dahulu.
Besar harapan kita untuk Indonesia sehingga upaya-upaya untuk membangkitkan semangat perjuangan sungguh pun dibutuhkan. Tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, usaha yang disertai dengan doa pasti akan memuaskan hasilnya. Akhirnya kita dihadapkan pada pilihan, bangkit atau bangkrut?
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Menginjak bulan Mei, kita diingatkan pada beberapamemoaryang telah terjadi di masa lampau. Semua itu tidak terlupa, masih tercetak rapi dalam lembaran sejarah perjalanan Indonesia.
Dalam konteks itu, beberapa peristiwa yang mendera Indonesia saat ini seolah menjadi tamparan dan membisikkan ”ayo bangkit!” Bukan, ini semua bukan pekerjaan rumah dari pihak pemerintah saja. Segenap bangsa Indonesia ditunggu partisipasinya untuk kembali meraih kejayaan sejati yang dulu pernah ada.
Setiap negara pasti punya permasalahan, ini tidak bisa terelakkan. Kisruh politik, ekonomi, kepercayaan, dan sebagainya menjadi bagian dari itu. Maka adanya Hari Kebangkitan Nasional menjadi alarm bahwa Indonesia harus bangkit dari semua lara yang ada. Jatuh bangun hidup itu hal biasa, yang paling penting adalah bagaimana kita bangkit dari sesuatu yang menjatuhkan itu.
Mulailah dari yang paling sederhana karena sukses tidak akan didapat kalau tidak dimulai dari bawah. Bagi golongan mahasiswa, hendaknya bisa memaknai momen kebangkitan nasional itu dengan semakin giat belajar agar ada modal untuk mewujudkan bangsa yang cerdas nantinya.
Belajar adalah tugas mulia yang diemban oleh tiap pelajar dan mahasiswa, belajar juga merupakan upaya dari kebangkitan itu sendiri, yaitu bangkit dari rasa malas untuk menghapus kebodohan. Belajar bukan melulu soal keakraban kita dengan buku-buku, tetapi belajar adalah sikap berani untuk menentang ketidakmungkinan. Belajar apa pun itu, asal masih pada koridor positif.
Bukankah hidup ini memang tentang belajar? Belajar sabar untuk menjadi sabar, belajar rajin untuk menjadi rajin, belajar disiplin untuk menjadi disiplin. Menjadi dewasa adalah keharusan, bukan pilihan. Tentu saja hal ini juga berlaku untuk suatu negara dan pernik-perniknya. Seperti yang kita ketahui, usia hampir 70 tahun bagi suatu negara digolongkan dalam kategori ”muda”.
Jelas karena kita menjadikan negara ”tua” sebagai petunjuk untuk menghitung itu, misalnya saja negara Belanda yang mempunyai selisih umur hampir 297 tahun dengan Indonesia. Untuk itu, harapan masih ada di tangan kita. Bahwa usia Indonesia untuk menjadi gilang-gemilang tentu masih ”terlalu muda” karena ada banyak asam garam kehidupan bernegara yang harus dirasakan Indonesia terlebih dahulu.
Besar harapan kita untuk Indonesia sehingga upaya-upaya untuk membangkitkan semangat perjuangan sungguh pun dibutuhkan. Tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, usaha yang disertai dengan doa pasti akan memuaskan hasilnya. Akhirnya kita dihadapkan pada pilihan, bangkit atau bangkrut?
(bbg)