Kebangkitan Pariwisata Indonesia
A
A
A
RINGGA ARIF WH
Mahasiswa Jurusan Sosiologi,
Universitas Gadjah Mada
Sebentar lagi, pada 20 Mei bangsa Indonesia akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Tentunya bukan hanya sebatas peringatan seremonial, yang terpenting adalah mengambil spirit untuk membangun Indonesia ke depan. Dengan potensi alam dan manusia, kebangkitan pariwisata nasional bisa diwujudkan.
Gugusan kepulauan yang indah, ombak laut yang gemulai, nyiur kelapa melambai-lambai, dan keramahan masyarakat merupakan modal besar untuk membangkitkan pariwisata. Bukan hanya itu, leluhur kita juga mempunyai peradaban yang unggul mewariskan pada kita banyak hal, seperti candi, arsitektur bangunan, kesenian, nilai-nilai.
Dalam RPJM Nasional 2015–2019, pariwisata merupakan sektor unggulan prioritas dengan sasaran:(1) Kontribusi terhadap PDB Nasional direncanakan meningkat dari 4,2% di tahun 2014 menjadi 8% pada 2019. (2) Wisatawan mancanegara 9 juta orang meningkat menjadi 20 juta orang di tahun 2019.(3) Wisatawan Nusantara 250 juta kunjungan menjadi 275 juta kunjungan.
(4) Devisa meningkat dari Rp120 triliun (2014) meningkat menjadi Rp260 triliun (2019). Dengan target sasaran tersebut, pemerintah, kalangan bisnis, intelektual, dan seluruh lapisan masyarakat harus saling bersinergi mewujudkan pariwisata yang tangguh.
Apalagi tahun 2015 ini MEA akan diterapkan, Indonesia harus memanfaatkan peluang sekaligus tantangan dengan mengutamakan kepentingan nasional yang bertumpu pada penguatan sektor unggulan prioritas. Sebagai negara kepulauan, infrastruktur perhubungan tidak bisa dilepaskan dari sektor pariwisata.
Bagaimana wisatawan dapat mencapai destinasi wisata sementara sarana dan prasarana transportasinya tidak memadai? Di pelosok Nusantara masih banyak kawasan indah dan menarik yang belum dieksplorasi. Sudah patutnya bangsa ini bersyukur karena memiliki objek wisata lengkap, tidak semua bangsa dan negara memilikinya.
Pertanyaannya lantas bagaimana negara lain yang ”minim” keindahannya, dapat menarik hati para wisatawan berwisata ke negara tersebut? Paradigma pengelolaan pariwisata inilah yang perlu diubah dengan berkaca pada negeri yang ”minim” keindahan dan luasan wilayah, mereka memiliki sumber daya manusia yang dipersiapkan dengan baik.
Manusia kreatif dan inovatif adalah modal berharga yang sangat dibutuhkan dalam membangun pariwisata. Perlu diperhatikan pula, esensi pembangunan adalah pemerataan bagi semua daerah. Wilayah perbatasan, terdepan, dan pesisir tidak boleh dikesampingkan lagi. Dalam program prioritas Nawacita yang diusung Presiden Jokowi, pembangunan Indonesia harus dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa.
Pemerintah pusat perlu melakukan monitoring terhadap kebijakan daerah, bisa melalui gubernur agar kebijakan pembangunan pariwisata antara pusat dan daerah tidak saling berjalan sendirisendiri. Tentunya dengan melakukan penguatan kewenangan gubernur selaku wakil pemerintah di daerah.
Selain daerah, desa juga telah memiliki payung hukum berupa UU 6/2014. Harapannya, masyarakat desa bisa sejahtera, dengan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki desa tersebut baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Di sektor pariwisata telah banyak yang mengembangkan desa wisata. Melalui swadaya masyarakat yang diawali dengan urun rembuk musyawarah, gagasan desa wisata bisa direalisasikan.
Tentunya pariwisata desa yang menitikberatkan pada kekuatan masyarakat harus merujuk pada pariwisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Desa wisata bisa membuka lapangan kerja baru bagi pemuda desa seperti yang tergabung dalam karang taruna. Kaum muda harus memelopori kebangkitan pariwisata Indonesia dengan mengambil spirit perjuangan para pendahulu.
Mahasiswa Jurusan Sosiologi,
Universitas Gadjah Mada
Sebentar lagi, pada 20 Mei bangsa Indonesia akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Tentunya bukan hanya sebatas peringatan seremonial, yang terpenting adalah mengambil spirit untuk membangun Indonesia ke depan. Dengan potensi alam dan manusia, kebangkitan pariwisata nasional bisa diwujudkan.
Gugusan kepulauan yang indah, ombak laut yang gemulai, nyiur kelapa melambai-lambai, dan keramahan masyarakat merupakan modal besar untuk membangkitkan pariwisata. Bukan hanya itu, leluhur kita juga mempunyai peradaban yang unggul mewariskan pada kita banyak hal, seperti candi, arsitektur bangunan, kesenian, nilai-nilai.
Dalam RPJM Nasional 2015–2019, pariwisata merupakan sektor unggulan prioritas dengan sasaran:(1) Kontribusi terhadap PDB Nasional direncanakan meningkat dari 4,2% di tahun 2014 menjadi 8% pada 2019. (2) Wisatawan mancanegara 9 juta orang meningkat menjadi 20 juta orang di tahun 2019.(3) Wisatawan Nusantara 250 juta kunjungan menjadi 275 juta kunjungan.
(4) Devisa meningkat dari Rp120 triliun (2014) meningkat menjadi Rp260 triliun (2019). Dengan target sasaran tersebut, pemerintah, kalangan bisnis, intelektual, dan seluruh lapisan masyarakat harus saling bersinergi mewujudkan pariwisata yang tangguh.
Apalagi tahun 2015 ini MEA akan diterapkan, Indonesia harus memanfaatkan peluang sekaligus tantangan dengan mengutamakan kepentingan nasional yang bertumpu pada penguatan sektor unggulan prioritas. Sebagai negara kepulauan, infrastruktur perhubungan tidak bisa dilepaskan dari sektor pariwisata.
Bagaimana wisatawan dapat mencapai destinasi wisata sementara sarana dan prasarana transportasinya tidak memadai? Di pelosok Nusantara masih banyak kawasan indah dan menarik yang belum dieksplorasi. Sudah patutnya bangsa ini bersyukur karena memiliki objek wisata lengkap, tidak semua bangsa dan negara memilikinya.
Pertanyaannya lantas bagaimana negara lain yang ”minim” keindahannya, dapat menarik hati para wisatawan berwisata ke negara tersebut? Paradigma pengelolaan pariwisata inilah yang perlu diubah dengan berkaca pada negeri yang ”minim” keindahan dan luasan wilayah, mereka memiliki sumber daya manusia yang dipersiapkan dengan baik.
Manusia kreatif dan inovatif adalah modal berharga yang sangat dibutuhkan dalam membangun pariwisata. Perlu diperhatikan pula, esensi pembangunan adalah pemerataan bagi semua daerah. Wilayah perbatasan, terdepan, dan pesisir tidak boleh dikesampingkan lagi. Dalam program prioritas Nawacita yang diusung Presiden Jokowi, pembangunan Indonesia harus dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa.
Pemerintah pusat perlu melakukan monitoring terhadap kebijakan daerah, bisa melalui gubernur agar kebijakan pembangunan pariwisata antara pusat dan daerah tidak saling berjalan sendirisendiri. Tentunya dengan melakukan penguatan kewenangan gubernur selaku wakil pemerintah di daerah.
Selain daerah, desa juga telah memiliki payung hukum berupa UU 6/2014. Harapannya, masyarakat desa bisa sejahtera, dengan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki desa tersebut baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Di sektor pariwisata telah banyak yang mengembangkan desa wisata. Melalui swadaya masyarakat yang diawali dengan urun rembuk musyawarah, gagasan desa wisata bisa direalisasikan.
Tentunya pariwisata desa yang menitikberatkan pada kekuatan masyarakat harus merujuk pada pariwisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Desa wisata bisa membuka lapangan kerja baru bagi pemuda desa seperti yang tergabung dalam karang taruna. Kaum muda harus memelopori kebangkitan pariwisata Indonesia dengan mengambil spirit perjuangan para pendahulu.
(bbg)