MA Dinilai Membangkangi Konstitusi

Selasa, 06 Januari 2015 - 12:06 WIB
MA Dinilai Membangkangi Konstitusi
MA Dinilai Membangkangi Konstitusi
A A A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, ketidakpatuhan lembaga negara terhadap putusan MK yang telah dikeluarkan merupakan bentuk pembangkangan (disobidient ) terhadap hukum dan melanggar konstitusi.

Sebab konstitusi merupakan puncak hukum tertinggi di Indonesia. Pernyataan ini dikeluarkan MK seiring dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) Pidana yang hanya boleh diajukan satu kali. Adapun dalam putusan MK bernomor 36 tahun 2014 ditetapkan PK dalam pidana bisa diajukan berkali-kali.

MK pun menyayangkan sikap MA yang menafsirkan sendiri konstitusi tanpa mengindahkan putusan MK. “Ya bisa dikatakan seperti itu (pembangkangan). Berarti penafsiran konstitusi yang dilakukan MK mestinya itu yang dipakai (dalam SEMA). Kalau terjadi ketidakpatuhan, maka itu pelanggaran terhadap konsesi hukum dan puncak hukum tertinggi itu konstitusi,” tandas Wakil Ketua MK Arief Hidayat dalam konferensi pers “Kinerja Akhir Tahun MK 2014” kemarin di Jakarta.

Dia pun mengaku prihatin jika ada pihak-pihak yang tidak mematuhi putusan MK. Sebab MK sebagai lembaga penafsir konstitusi tertinggi dan final berdasarkan UUD 1945 seharusnya putusannya dipatuhi dan diikuti oleh lembaga lain. Dengan kata lain, lembaga di luar MK tidak bisa menafsirkan konstitusi secara sendiri berdasarkan kewenangan masingmasing.

“Kalau begitu, hukum di Indonesia tidak dijalankan menurut konstitusi atau UUD 1945,” tandasnya. Arief menerangkan, diperbolehkannya PK diajukan berkali- kali justru mempertimbangkan asas kehati-hatian dalam memutus. Dengan prinsip, jika ditemukan novum (bukti baru), upaya hukum luar biasa itu bisa diajukan dan itu bisa berulang kali.

Dia juga menggarisbawahi pengajuan PK tetap merupakan upaya hukum luar biasa kendati bisa diajukan berulang kali. Sebab prinsip adanya novum dalam pengajuan PK harus tetap diutamakan sehingga, tanpa adanya novum, PK pun tidak bisa diajukan. “Yang jadi masalahnya asas kepastian hukum untuk siapa? Posisi negara itu lebih kuat daripada narapidana sehingga KUHAP itu memberikan jaminan kepada terpidana untuk memperoleh kepastian hukum yang adil,” paparnya.

Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan, adanya ketentuan PK berkali-kali seharusnya tidak menjadi polemik untuk mempertanyakan di mana letak kepastian hukumnya. Menurut dia, siapa pun yang pernah belajar hukum harusnya mengetahui vonis pada tingkat kasasi telah memberikan kepastian hukum. Karena itu, seharusnya eksekusi bisa dilaksanakan.

Kalau tidak bisa dilaksanakan karena adanya ketentuan PK bisa diajukan berkali-kali, menurut Hamdan, itu merupakan cara berpikir yang tidak benar. MK, menurutnya, memang tidak membatalkan ketentuan PK yang berada pada UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Sebab kedua norma tersebut terlalu umum. Adapun yang dimohonkan waktu itu adalah untuk perkara pidana.

“Khusus perkara pidana, norma itu inkonstitusional. PK pidana (satu kali) norma itu tidak berlaku. Jadi, sekali lagi bahwa putusan MK itu adalah putusan yang menurut konstitusi. Ketaatan terhadap putusan itu termasuk kesadaran yang baik dalam berkonstitusi,” paparnya. Saat dimintai konfirmasi, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan agar para pihak memahami dengan saksama apa yang tertuang dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2014.

Menurut dia, SEMA itu bukanlah bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK. SEMA itu diterbitkan sebagai panduan bagi para hakim dalam mempertimbangkan dan memutus. “Selanjutnya terserah hakim tingkat pertama (pengadilan negeri) yang akan memutus apakah akan diteruskan atau tidak (PK-nya) ke MA serta hakim agung yang akan memutuskan demi keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat,” paparnya.

Karena itu, menurut Ridwan, SEMA tidak membatasi ruang gerak hakim untuk memutuskan sesuai dengan keyakinan dan pertimbangannya. Pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis menilai, surat edaran MA terkait PK melanggar hukum. Sebab, pembatasan PK yang hanya bisa diajukan sekali saja justru bertentangan dengan putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013.

“Substansinya itu salah jika mengatakan PK hanya dapat satu kali saja. Soalnya MK bilang kan bisa lebih dari satu kali. Mereka sudah melawan hukum, kita sayangkan itu,” ungkap Margarito. MA, ujarnya, seharusnya mematuhi putusan MK. Sebab, dalam hukum, putusan MK mengandung hukum positif dan mengikat semua orang. Apalagi, putusan MK itu sudah diundangkan. Terbitnya SEMA itu, lanjutnya, justru menjadi persoalan tersendiri. Utamanya menjadi pertanyaan terkait profesionalisme MA sebagai lembaga yang mengeluarkan kebijakan hukum.

Nurul adriyana
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5424 seconds (0.1#10.140)