2014, Tahun Pertarungan Politik

Kamis, 01 Januari 2015 - 00:05 WIB
2014, Tahun Pertarungan Politik
2014, Tahun Pertarungan Politik
A A A
TAHUN 2014 menjadi momentum penting bagi perjalanan bangsa ini. Pada tahun tersebut digelar perhelatan mahapenting yakni pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres).

Tidak heran bila 2014 menjadi tahun pertarungan antarkepentingan politik. Alhasil, gesekan antarkepentingan menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Aroma gesekan politik sudah mulai terasa pada awal 2014, baik di internal kader partai politik (parpol) masing-masing maupun antarparpol.

Gesekan mulai terjadi di internal parpol. Sesama kader parpol pun harus bertarung berebut tiket untuk menjadi calon anggota legislatif, baik di lingkup di DPR, DPD, maupun DPRD. Tidak hanya di internal, konflik antarparpol pun muncul. Masing-masing partai berusaha memenangkan calonnya untuk menuju kursi DPR maupun DPRD.

Semakin banyak calonnya meraih suara dan duduk di DPR, semakin besar pula perolehan suara partai dalam pemilu. Perolehan suara ini ikut menentukan suara parpol dalam pilpres. Untuk mendongkrak perolehan suara, masing-masing partai berebut sosok populer dari luar untuk dicalonkan dalam pemilu legislatif.

Kondisi ini dipengaruhi psikologi pemilih di Indonesia lebih cenderung memilih sosok atau calon yang sudah dikenal.

Pertarungan politik semakin keras mendekati pelaksanaan pilpres. Masing-masing parpol mulai
menjajaki mitra koalisinya untuk bertarung memenangkan calon yang diusungnya. Dalam proses penjajakan ini juga terjadi tawar-menawar kepentingan politik atas keuntungan yang diperoleh masing-masing parpol dalam berkoalisi itu.

Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh suara terbanyak 18,95% diikuti Partai Golkar 14,75%, Partai Gerindra 11,81%, Partai Demokrat 10,19%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 9,04%, Partai Amanat Nasional (PAN) 7,59%, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 6,79%, Partai Nasdem 6,72%, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 6,53%, Partai Hanura 5,26%, Partai Bulan Bintang (PBB) 1,46%, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 0,91%.

Pasca pengumuman hasil pemilihan legislatif, situasi politik semakin dinamis. Parpol sudah mulai memasang strategi mengusung calon presiden yang berpeluang menang. Komunikasi antarparpol pun semakin intensif. Petinggi parpol pun rajin sowan menemui bos parpol lainnya.

Polarisasi Dua Kekuatan Politik

Kekuatan politik pun terpolarisasi menjadi dua kelompok, yakni parpol yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan kelompok pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Pendukung Jokowi-JK terdiri atas Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Karya Pembangunan Indonesia (PKPI). Kekuatan politik pengusung Jokowi-JK ini menamakan diri Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Sementara Prabowo-Hatta diusung Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Mereka tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP).

Pertarungan dua kekuatan politik semakin sengit. Perang pernyataan, baik di media maupun jejaring sosial semakin ramai.

Masing-masing barisan pendukung baik tim pemenangan maupun partisan mulai membela calonnya dan menyerang calon lain. Bahkan, masing-masing koalisi membentuk tim untuk membangun opini di jejaring sosial.

Perang pernyataan, adu konsep dan strategi juga terjadi secara langsung antar calon melalui
forum acara debat kandidat yang difasilitasi KPU. Dalam acara itu masing-masing pasangan calon membawa tim pemenangan dan pendukungnya masing-masing.

Gesekan antarpendukung terhadap masing-masing pasangan calon tidak hanya terjadi di tingkat elite. Bedanya gesekan di tingkat elite masing-masing tim dan pendukung pasangan calon hanya sebatas perang pernyataan atau konsep. Namun, gesekan yang terjadi antar pendukung di lapisan masyarakat bawah hingga benturan fisik.

Pilpres 2014 termasuk pertarungan politik paling keras, karena pilpres ini situasinya berbeda dengan pilpres sebelumnya. Pilpres 2014 hanya ada dua pasangan calon, sehingga barisan pendukung terbagi dalam dua kubu. Sementara pilpres sebelumnya jumlah pasangan calon lebih dari dua, sehingga barisan pendukungnya lebih cair tidak terbagi menjadi dua kubu.

Pergeseran Ranah Pertarungan Politik

Geseken politik masih meningkat ketika proses rekapitulasi perolehan suara pilpres dilakukan KPU dengan dihadiri masing-masing tim pendukung. Di ujung proses rekapitulasi, tim pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tiba-tiba menyatakan ke luar dari proses rekapitulasi tersebut. Sejak saat itu hingga beberapa lama kegaduhan politik semakin ramai.

Meskipun KPU sudah menetapkan pemenang pilpres, namun pertarungan belum selesai. Pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa melanjutkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan pilpres diwarnai sejumlah kecurangan. Laporan ke MK juga dilakukan pihak Jokowi-JK dengan alasan yang sama adanya sejumlah kecurangan. Namun, MK memutuskan menolak gugatan kedua pihak.

Lambat laun gesekan politik semakin menurun hingga Jokowi-JK dilantik secara resmi oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Meskipun menurun, gesekan politik terus berlanjut hingga ke DPR.

Dua kubu koalisi pendukung Jokowi-JK dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa berlanjut menjadi dua kekuatan politik di DPR. Pertarungan pertama terlihat ketika digulirkannya perubahan Undang-Undang (UU) MPR, DPR, DPD DPRD (MD3).

Fraksi dari kubu pendukung Jokowi-JK atau KIH menolak perubahan UU MD3 tersebut, namun upaya perlawanan itu gagal. Ini bisa disebut kemenangan pertama fraksi dari kubu Prabowo-Subianto Hatta Rajasa (KMP) di DPR.

Selanjutnya, pertarungan dua kekuatan politik itu terjadi dalam pemilihan ketua dan wakil ketua DPR. Proses pemilihan ini berlangsung alot dan diwarnai aksi walk out (WO) kubu fraksi pendukung Jokowi-JK dari ruang rapat Paripurna DPR. Namun rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua DPR tetap dilanjutkan dan terpilihlah Setya Novanto sebagai ketua, Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, Hidayat Nur Wahid dan Fadli Zon sebagai wakil ketua.

Semuanya merupakan dari fraksi pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atau KMP. Ini bisa disebut kemenangan kedua pertarungan politik kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di DPR. Pertarungan politik dua kubu ini berlanjut pada pemilihan pemimpin alat kelengkapan Dewan dan komisi. Meskipun tidak dihadiri kubu KIH, pemilihan tetap dilakukan dan diisi dari fraksi KMP.

Dampak situasi politik itu menyebabkan kinerja di DPR tidak berjalan maksimal. Akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk melakukan kompromi politik dan disepakati beberapa poin, yaitu penambahan satu wakil ketua di alat kelengkapan dewan dan komisi diberikan kepada kubu KIH. Poin kesepakatan lainnya adalah penghapusan hak interpelasi di tingkat komisi yang tercantum dalam perubahan UU MD3.

Perpecahan Partai Politik


Posisi tawar kubu KMP tidak bisa dianggap enteng. Wajar jika Jokowi-JK dan koalisinya mencemaskan soliditas KMP. Atas dasar itulah wajar pula jika ada upaya mengganggu soliditas KMP melalui internal parpol masing-masing yang tergabung dalam koalisi tersebut.

Indikasi ini terlihat mulai terjadinya perpecahan di internal PPP dan Partai Golkar. Pasca pelaksanaan Mukernas, PPP mengalami dua kepengurusan. Hal sama juga dialami Partai Golkar, pasca kongres partai berlambang pohon beringin tersebut juga mengalami dua kepengurusan.

Dalam persoalan ini aroma intervensi Pemerintahan Jokowi-JK mulai terlihat. Baru satu hari menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly langsung mengesahkan kepengurusan PPP Romahurmuziy hasil Mukernas PPP Surabaya.

Sikap Menkumham semakin menguatkan adanya keberpihakan penguasa kepada kubu Romahurmuziy yang diketahui memiliki afiliasi politik ke kubu Jokowi-JK. Sebaliknya, Menkumham menolak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kepemimpinan Aburizal Bakrie hasil kongres di Bali.

Sikap ini juga menunjukkan kesan sikap keberpihakan penguasa mengingat Partai Golkar kepengurusan Aburizal Bakrie tetap menginginkan berada dalam KMP sebagai kekuatan penyeimbang Pemerintahan Jokowi-JK.

Memasuki penghujung tahun 2014, pertarungan politik dua kekuatan ini terus terjadi. Namun, sampai kapan, belum dapat diketahui pasti mengingat perkembangan politik sulit dipastikan.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0264 seconds (0.1#10.140)