Tsunami Kasus Reklamasi Teluk Jakarta
A
A
A
KASUS korupsi terkait reklamasi Teluk Jakarta memang bukan kasus korupsi kelas teri. Nama-nama yang ditengarai terkait dalam megaproyek ini bukan orang-orang biasa, bahkan ada yang menganggapnya untouchable .
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat sangat percaya diri dalam mengobok-obok lautan kasus dalam dugaan korupsi pembangunan Teluk Jakarta. KPK ibarat menciptakan gelombang tsunami, bukan hanya ikan kelas teri yang akan terseret arusnya, ikan kelas kakap bahkan kelas hiu sekalipun tak akan kuasa melawannya.
Keberanian KPK masuk dalam kasus ini tentu patut diapresiasi. Sekalipun baru pada tahap permulaan, kali ini KPK mampu menunjukkan kelasnya dalam menggarap kasus korupsi kelas kakap. Kalau sebelumnya banyak yang menyuarakan keraguan terhadap KPK–terlebih dalam kasus dugaan korupsi lahan RS Sumber Waras yang melahirkan guyon satire tentang ”niat jahat”-langkah awal KPK dalam kasus dugaan korupsi ini memberikan gambaran sebaliknya.
KPK juga pemerintah menyiarkan pesan bahwa siapa pun bisa diciduk dan dilumpuhkan oleh KPK. Tak ada lagi yang untouchable . Suatu pesan luar biasa dan menguntungkan bagi program pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberantasan korupsi.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan KPK dalam penanganan kasus besar ini. Pertama, KPK dan aparat penegak hukum lain jangan sampai memunculkan keragu-raguan arah penegakan hukum dalam dugaan korupsi di sekeliling proyek reklamasi Teluk Jakarta ini. Lihat saja ketika KPK mengirimkan surat cekal bepergian ke luar negeri atas nama Ariesman Widjaja dan Sugianto Kusuma atau akrab dipanggil Aguan, Direktur Jenderal Ronny Sompie langsung memaparkan ke media bahwa keduanya adalah tersangka. Ronny, yang mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, belakangan meralat bahwa Aguan memang dicekal, namun tidak berstatus tersangka.
Kita tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi karena surat seperti itu tak dibuka ke publik. Namun, dalam kondisi political turmoil seperti ini sudah selayaknya kehati-hatian penegak hukum, terutama dalam melemparkan pernyataan ke publik, perlu diseriusi. Jangan sampai karena pernyataan yang berlainan, kasus besar yang sedang digarap ini tidak mendapatkan dukungan publik.
Kedua, kasus perizinan seperti ini pastilah tidak berhenti pada satu figur yang diduga melakukan patgulipat. Dalam hal ini tentu tidak mungkin anggota DPRD DKI Jakarta yang sekarang dijadikan tersangka, M Sanusi, hanya menjadi aktor tunggal. Pola korupsi di Indonesia selama ini selalu saja ada keterkaitan antara cabang-cabang kekuasaan. Gelombang tsunami yang diciptakan KPK jangan sampai sia-sia tidak membabat habis pihak-pihak yang berbuat kecurangan besar.
Ketiga, para pimpinan KPK harus satu suara dalam penanganan kasus ini. Sekali saja terlontar pernyataan yang berbeda di antara para pimpinan KPK, itu pasti akan dijadikan komoditas politik yang akan luar biasa besar potensi merusaknya. Pimpinan KPK bukannya harus puasa bicara, namun bicara harus terukur agar tidak merugikan proses penanganan kasus ini.
Keempat, KPK perlu untuk mengamplifikasi pesan bahwa KPK tidak takut pada siapa pun, yang tergambar dalam kasus ini. Pesan itu penting sekali diperkuat, karena di awal terpilihnya para pimpinan KPK Jilid IV ini banyak keraguan publik terhadap keseriusan mereka dalam menggarap kasus-kasus besar.
Selain dari KPK, pemerintah pun harus senada dalam masalah besar seperti ini. Sangat disayangkan bahkan dalam kasus ini lagi-lagi terjadi perbedaan pendapat antara para menteri pembantu Presiden Jokowi. Tengok saja Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sangat tegas menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta karena tidak mendapatkan izin darinya. Di sisi lain, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung justru bersuara bahwa izin cukup datang dari gubernur–dalam hal ini Basuki Tjahaja Purnama–sebagai penguasa wilayah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat sangat percaya diri dalam mengobok-obok lautan kasus dalam dugaan korupsi pembangunan Teluk Jakarta. KPK ibarat menciptakan gelombang tsunami, bukan hanya ikan kelas teri yang akan terseret arusnya, ikan kelas kakap bahkan kelas hiu sekalipun tak akan kuasa melawannya.
Keberanian KPK masuk dalam kasus ini tentu patut diapresiasi. Sekalipun baru pada tahap permulaan, kali ini KPK mampu menunjukkan kelasnya dalam menggarap kasus korupsi kelas kakap. Kalau sebelumnya banyak yang menyuarakan keraguan terhadap KPK–terlebih dalam kasus dugaan korupsi lahan RS Sumber Waras yang melahirkan guyon satire tentang ”niat jahat”-langkah awal KPK dalam kasus dugaan korupsi ini memberikan gambaran sebaliknya.
KPK juga pemerintah menyiarkan pesan bahwa siapa pun bisa diciduk dan dilumpuhkan oleh KPK. Tak ada lagi yang untouchable . Suatu pesan luar biasa dan menguntungkan bagi program pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberantasan korupsi.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan KPK dalam penanganan kasus besar ini. Pertama, KPK dan aparat penegak hukum lain jangan sampai memunculkan keragu-raguan arah penegakan hukum dalam dugaan korupsi di sekeliling proyek reklamasi Teluk Jakarta ini. Lihat saja ketika KPK mengirimkan surat cekal bepergian ke luar negeri atas nama Ariesman Widjaja dan Sugianto Kusuma atau akrab dipanggil Aguan, Direktur Jenderal Ronny Sompie langsung memaparkan ke media bahwa keduanya adalah tersangka. Ronny, yang mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, belakangan meralat bahwa Aguan memang dicekal, namun tidak berstatus tersangka.
Kita tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi karena surat seperti itu tak dibuka ke publik. Namun, dalam kondisi political turmoil seperti ini sudah selayaknya kehati-hatian penegak hukum, terutama dalam melemparkan pernyataan ke publik, perlu diseriusi. Jangan sampai karena pernyataan yang berlainan, kasus besar yang sedang digarap ini tidak mendapatkan dukungan publik.
Kedua, kasus perizinan seperti ini pastilah tidak berhenti pada satu figur yang diduga melakukan patgulipat. Dalam hal ini tentu tidak mungkin anggota DPRD DKI Jakarta yang sekarang dijadikan tersangka, M Sanusi, hanya menjadi aktor tunggal. Pola korupsi di Indonesia selama ini selalu saja ada keterkaitan antara cabang-cabang kekuasaan. Gelombang tsunami yang diciptakan KPK jangan sampai sia-sia tidak membabat habis pihak-pihak yang berbuat kecurangan besar.
Ketiga, para pimpinan KPK harus satu suara dalam penanganan kasus ini. Sekali saja terlontar pernyataan yang berbeda di antara para pimpinan KPK, itu pasti akan dijadikan komoditas politik yang akan luar biasa besar potensi merusaknya. Pimpinan KPK bukannya harus puasa bicara, namun bicara harus terukur agar tidak merugikan proses penanganan kasus ini.
Keempat, KPK perlu untuk mengamplifikasi pesan bahwa KPK tidak takut pada siapa pun, yang tergambar dalam kasus ini. Pesan itu penting sekali diperkuat, karena di awal terpilihnya para pimpinan KPK Jilid IV ini banyak keraguan publik terhadap keseriusan mereka dalam menggarap kasus-kasus besar.
Selain dari KPK, pemerintah pun harus senada dalam masalah besar seperti ini. Sangat disayangkan bahkan dalam kasus ini lagi-lagi terjadi perbedaan pendapat antara para menteri pembantu Presiden Jokowi. Tengok saja Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sangat tegas menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta karena tidak mendapatkan izin darinya. Di sisi lain, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung justru bersuara bahwa izin cukup datang dari gubernur–dalam hal ini Basuki Tjahaja Purnama–sebagai penguasa wilayah.
(kur)