Rahasia Sukses Pedagang Asongan
A
A
A
Sukses dapat terlihat dari seberapa keras seseorang berusaha bangkit setelah terjatuh. Jatuhbangun dalam berbisnis adalah hal wajar dan merupakan proses yang harus dilewati.
Ibarat putaran roda. Kadang di atas, dan sesekali harus legawa saat posisinya di bawah. Yang terpenting saat seorang pebisnis sedang berada di bawah adalah; berusaha bangkit agar bisa kembali ke atas. Buku motivasi yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis ini sangat inspiratif. Jalan terjal berliku yang dialami penulis saat berbisnis, layak dijadikan ”cermin” bagi mereka yang tengah berjuang meraih impian.
Kisah nyata yang dipaparkan memberi ketegasan bahwa tak ada sukses yang bisa diraih secara instan. Setiap kesuksesan, pasti diwarnai kegagalan, sebab kegagalan demi kegagalan sejatinya adalah proses yang harus dilewati dan mengantarkan seseorang menuju gerbang kesuksesan. Terlahir dari keluarga miskin tak lantas membuat Nana menyerah dengan garis hidup.
Kondisi ekonomi kedua orang tuanya yang serba pas-pasan, membuat Nana tak tega meminta uang jajan sekolah. Ia justru berpikir keras, bagaimana cara mencari uang agar bisa membeli segala keperluannya sendiri (hal 11-13). Pada usia 9 tahun, ia memutuskan berjualan es roti keliling sepulang sekolah. Ia kepincut temannya yang sudah memiliki uang saku sendiri, hasil dari berjualan es roti keliling.
Untunglah, ia dipercaya oleh ibu juragan es roti, untuk ikut menjualkan dagangannya. Berjualan es ternyata hal yang sangat berat untuk bocah seusianya. Selain berat memikul termos berisi es, berjalan kaki keliling kampung, ia juga merasa berat harus bermain kucingkucingan, jangan sampai ketahuan jualan es oleh orang tua dan saudaranya. Dan, ia pun terpaksa berhenti berjualan es setelah ketahuan orang tuanya.
Meski begitu, ia tetap bertekad akan mencari uang dengan cara lain yang lebih direstui orang tua. Menjadi kenek angkutan umum, ikut berjualan pakaian bersama ayah, ia lakoni dengan gembira, meski tak ada yang bertahan lama karena larangan dari orang tuanya. Tahun 1995, tepatnya ketika ia beranjak dewasa dan menikah, hanya berbekal uang Rp10.000 ia dan keluarganya hijrah ke Bandung untuk mengadu nasib. Di kota, ia menumpang di rumah saudaranya.
Selama tinggal di sana, berbagai pekerjaan ia lakoni demi mendapat uang untuk menafkahi keluarga. Menjadi sopir rental, hingga menjual barang-barang pribadi ketika ia sedang kehabisan uang. Hingga suatu hari, sebuah peluang mengantarkannya menjadi sales di sebuah perusahaan elektronik ternama. Kondisi perekonomiannya perlahan membaik, bahkan ia bisa membeli rumah tipe 21, memiliki tabungan bahkan mempunyai mobil sendiri.
Meski telah merasa mapan, dorongan untuk menjadi seorang pengusaha terus tertanam kuat dalam jiwanya (hal 28-29). Keputusan besar pun diambil. Ia keluar dari perusahaan. Ia ingin berbisnis sendiri. Sesuai dengan pengalaman kerja sebelumnya, ia pun membuka toko alat-alat listrik. Tapi baru berjalan beberapa saat, bisnisnya langsung bangkrut, bertepatan dengan krisis moneter.
Akhirnya, rumah dan kendaraan yang ia peroleh dengan susah payah pun dijual demi menutupi utang kepada supplier . Sederet kegagalan yang ia alami tak menyurutkan tekadnya untuk terus berbisnis. Ia mencoba jenis bisnis lain yaitu bisnis etalase aluminium. Ia tertantang menekuni bisnis ini setelah belajar dari pamannya yang bekerja di toko aluminium di Jakarta.
Setelah mengetahui seluk-beluk bisnis tersebut, ia pun membuka bisnis etalase aluminium di Bandung (hal 40-42). Tentu saja bisnis yang ditekuni pria yang hanya lulus SMA ini diwarnai sederet kegagalan. Tapi ia mampu melewati itu semua dengan sabar, tawakal, dan terus berikhtiar menciptakan berbagai inovasi agar bisnisnya menuai sukses. Jika tahun 1997 ia memulai bisnis dengan satu pegawai dan modal 7 juta, tahun 2012 aset perusahaannya telah mencapai lebih dari 20 miliar dengan karyawan 400 orang dan tak lagi membuat etalase.
Pasalnya, ia telah menjadi pemasok aluminium, industri baja ringan, dan produk aluminium untuk proyek besar di bawah bendera Nuansa Aluminium (hal 49). Pengalaman berbisnis yang penuh perjuangan berat, membuat jiwa penulis terketuk ingin membantu mereka yang ingin menjadi pengusaha tapi terkendala masalah dana.
Ia lantas membangun sebuah usaha pembiayaan bersama, yakni Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berbasis syariah .
Sam Edy Yuswanto
Alumus STAINU, Fak. Tarbiyah, Kebumen
Ibarat putaran roda. Kadang di atas, dan sesekali harus legawa saat posisinya di bawah. Yang terpenting saat seorang pebisnis sedang berada di bawah adalah; berusaha bangkit agar bisa kembali ke atas. Buku motivasi yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis ini sangat inspiratif. Jalan terjal berliku yang dialami penulis saat berbisnis, layak dijadikan ”cermin” bagi mereka yang tengah berjuang meraih impian.
Kisah nyata yang dipaparkan memberi ketegasan bahwa tak ada sukses yang bisa diraih secara instan. Setiap kesuksesan, pasti diwarnai kegagalan, sebab kegagalan demi kegagalan sejatinya adalah proses yang harus dilewati dan mengantarkan seseorang menuju gerbang kesuksesan. Terlahir dari keluarga miskin tak lantas membuat Nana menyerah dengan garis hidup.
Kondisi ekonomi kedua orang tuanya yang serba pas-pasan, membuat Nana tak tega meminta uang jajan sekolah. Ia justru berpikir keras, bagaimana cara mencari uang agar bisa membeli segala keperluannya sendiri (hal 11-13). Pada usia 9 tahun, ia memutuskan berjualan es roti keliling sepulang sekolah. Ia kepincut temannya yang sudah memiliki uang saku sendiri, hasil dari berjualan es roti keliling.
Untunglah, ia dipercaya oleh ibu juragan es roti, untuk ikut menjualkan dagangannya. Berjualan es ternyata hal yang sangat berat untuk bocah seusianya. Selain berat memikul termos berisi es, berjalan kaki keliling kampung, ia juga merasa berat harus bermain kucingkucingan, jangan sampai ketahuan jualan es oleh orang tua dan saudaranya. Dan, ia pun terpaksa berhenti berjualan es setelah ketahuan orang tuanya.
Meski begitu, ia tetap bertekad akan mencari uang dengan cara lain yang lebih direstui orang tua. Menjadi kenek angkutan umum, ikut berjualan pakaian bersama ayah, ia lakoni dengan gembira, meski tak ada yang bertahan lama karena larangan dari orang tuanya. Tahun 1995, tepatnya ketika ia beranjak dewasa dan menikah, hanya berbekal uang Rp10.000 ia dan keluarganya hijrah ke Bandung untuk mengadu nasib. Di kota, ia menumpang di rumah saudaranya.
Selama tinggal di sana, berbagai pekerjaan ia lakoni demi mendapat uang untuk menafkahi keluarga. Menjadi sopir rental, hingga menjual barang-barang pribadi ketika ia sedang kehabisan uang. Hingga suatu hari, sebuah peluang mengantarkannya menjadi sales di sebuah perusahaan elektronik ternama. Kondisi perekonomiannya perlahan membaik, bahkan ia bisa membeli rumah tipe 21, memiliki tabungan bahkan mempunyai mobil sendiri.
Meski telah merasa mapan, dorongan untuk menjadi seorang pengusaha terus tertanam kuat dalam jiwanya (hal 28-29). Keputusan besar pun diambil. Ia keluar dari perusahaan. Ia ingin berbisnis sendiri. Sesuai dengan pengalaman kerja sebelumnya, ia pun membuka toko alat-alat listrik. Tapi baru berjalan beberapa saat, bisnisnya langsung bangkrut, bertepatan dengan krisis moneter.
Akhirnya, rumah dan kendaraan yang ia peroleh dengan susah payah pun dijual demi menutupi utang kepada supplier . Sederet kegagalan yang ia alami tak menyurutkan tekadnya untuk terus berbisnis. Ia mencoba jenis bisnis lain yaitu bisnis etalase aluminium. Ia tertantang menekuni bisnis ini setelah belajar dari pamannya yang bekerja di toko aluminium di Jakarta.
Setelah mengetahui seluk-beluk bisnis tersebut, ia pun membuka bisnis etalase aluminium di Bandung (hal 40-42). Tentu saja bisnis yang ditekuni pria yang hanya lulus SMA ini diwarnai sederet kegagalan. Tapi ia mampu melewati itu semua dengan sabar, tawakal, dan terus berikhtiar menciptakan berbagai inovasi agar bisnisnya menuai sukses. Jika tahun 1997 ia memulai bisnis dengan satu pegawai dan modal 7 juta, tahun 2012 aset perusahaannya telah mencapai lebih dari 20 miliar dengan karyawan 400 orang dan tak lagi membuat etalase.
Pasalnya, ia telah menjadi pemasok aluminium, industri baja ringan, dan produk aluminium untuk proyek besar di bawah bendera Nuansa Aluminium (hal 49). Pengalaman berbisnis yang penuh perjuangan berat, membuat jiwa penulis terketuk ingin membantu mereka yang ingin menjadi pengusaha tapi terkendala masalah dana.
Ia lantas membangun sebuah usaha pembiayaan bersama, yakni Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berbasis syariah .
Sam Edy Yuswanto
Alumus STAINU, Fak. Tarbiyah, Kebumen
(ars)