Sistem Pemilu Proposional Terbuka Merupakan Putusan MK pada 2008, Bersifat Final dan Mengikat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan Umum ( Pemilu ) di Indonesia sejak 2008 sudah menganut sistem proporsional terbuka. Sistem ini diberlakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tertanggal 23 Desember 2008.
"Oleh karena itu, permohonan hak uji materil terkait sistem pemilihan terbuka menjadi sistem pemilihan tertutup, sudah seharusnya dinyatakan ditolak demi menjaga kedaulatan yang berada di tangan rakyat," kata Anggota Penasehat Dewan Pakar Partai Golkar, Henry Indraguna, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/1/2023).
Sebagaimana diketahui, ketentuan Pasal 168 Ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan Sistem Proporsional Terbuka. Beserta dengan ketentuan pasal terkait lainnya, seperti Pasal 342 Ayat 2, Pasal 352 ayat 1 huruf b Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3).
Baca juga: Usulkan Pemilu 2024 Sistem Proporsional Tertutup, Muhammadiyah: Hindari Politik Uang
Pasal-pasal ini sedang dimohonkan diuji materi ke MK, dengan dalil yang pada pokoknya pemohon berpendapat bahwa UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Henry yang juga anggota Tim Ahli Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpes) menjelaskan, pada dasarnya di dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008, sangat jelas dan terang dinyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dengan demikian, adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud. Harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih.
Baca juga: Pendapat Ketum PBNU soal Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024
Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif. Dengan begitu, akan lebih sederhana dan mudah menentukan siapa yang berhak terpilih, adalah calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.
Menurut Henry Indraguna, setelah diputus dan disahkan oleh MK, maka hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final. Meski dalam pengambilan keputusan dilakukan individu hakim yang berbeda, namun keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum.
"Kepada MK agar jangan sampai ada kesan, MK dapat ditekan atau dipengaruhi oleh kekuatan politik tertentu yang getol dan sering mengusung sistem pemilu proporsional tertutup," kata Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
"Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada tahun 2008 lalu, bisa digugat lagi di lain waktu. Bagi saya itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim," katanya.
Henry menilai, jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat disidangkan dan diputuskan oleh MK, kemudian lain hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk menggugatnya lagi.
"Hal ini dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia," kata Henry yang saat ini fokus melakukan aksi sosial di daerah Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, dan Klaten, provinsi Jawa Tengah.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyampaikan adanya kemungkinan sistem pemilihan terbuka pada Pemilu 2024 berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Hal ini seiring adanya permohonan judicial review atau uji materi ke MK soal UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang terkait sistem proporsional terbuka. Jika permohonan itu dikabulkan, maka kontestasi pemilu mendatang bisa dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
"Oleh karena itu, permohonan hak uji materil terkait sistem pemilihan terbuka menjadi sistem pemilihan tertutup, sudah seharusnya dinyatakan ditolak demi menjaga kedaulatan yang berada di tangan rakyat," kata Anggota Penasehat Dewan Pakar Partai Golkar, Henry Indraguna, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/1/2023).
Sebagaimana diketahui, ketentuan Pasal 168 Ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan Sistem Proporsional Terbuka. Beserta dengan ketentuan pasal terkait lainnya, seperti Pasal 342 Ayat 2, Pasal 352 ayat 1 huruf b Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3).
Baca juga: Usulkan Pemilu 2024 Sistem Proporsional Tertutup, Muhammadiyah: Hindari Politik Uang
Pasal-pasal ini sedang dimohonkan diuji materi ke MK, dengan dalil yang pada pokoknya pemohon berpendapat bahwa UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Henry yang juga anggota Tim Ahli Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpes) menjelaskan, pada dasarnya di dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008, sangat jelas dan terang dinyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dengan demikian, adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud. Harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih.
Baca juga: Pendapat Ketum PBNU soal Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024
Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif. Dengan begitu, akan lebih sederhana dan mudah menentukan siapa yang berhak terpilih, adalah calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.
Menurut Henry Indraguna, setelah diputus dan disahkan oleh MK, maka hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final. Meski dalam pengambilan keputusan dilakukan individu hakim yang berbeda, namun keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum.
"Kepada MK agar jangan sampai ada kesan, MK dapat ditekan atau dipengaruhi oleh kekuatan politik tertentu yang getol dan sering mengusung sistem pemilu proporsional tertutup," kata Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
"Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada tahun 2008 lalu, bisa digugat lagi di lain waktu. Bagi saya itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim," katanya.
Henry menilai, jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat disidangkan dan diputuskan oleh MK, kemudian lain hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk menggugatnya lagi.
"Hal ini dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia," kata Henry yang saat ini fokus melakukan aksi sosial di daerah Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, dan Klaten, provinsi Jawa Tengah.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyampaikan adanya kemungkinan sistem pemilihan terbuka pada Pemilu 2024 berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Hal ini seiring adanya permohonan judicial review atau uji materi ke MK soal UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang terkait sistem proporsional terbuka. Jika permohonan itu dikabulkan, maka kontestasi pemilu mendatang bisa dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
(abd)