Penenggelaman Kapal Asing Bukan Solusi

Minggu, 12 Juli 2020 - 18:50 WIB
loading...
Penenggelaman Kapal Asing Bukan Solusi
Efriza
A A A
Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)

MENJAGA wilayah teritorial kedaulatan laut Indonesia adalah prioritas. Kekayaan Indonesia akan biota laut merupakan hak yang harus dijaga oleh Indonesia sendiri. Aksi menjaga kekayaan biota laut yang spektakuler adalah teknik pengeboman untuk penenggelaman kapal yang melakukan pencurian ikan di perairan laut Indonesia. Sangsi penenggelaman kapal dengan cara diledakkan di tengah laut, kembali menghangat diperbincangkan.

Pembahasan sangsi tersebut kerap kali menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Ada yang menganggap bahwa penenggelaman kapal dapat memberikan efek jera bagi si pelanggar. Sedangkan banyak pula yang berpikir bahwa kebijakan tersebut banyak mudaratnya. Persilangan pendapat tersebut juga menunjukkan ada yang merindukan aksi ini untuk menunjukkan Indonesia mampu unjuk kekuatan sekaligus menunjukkan negara ini berdaulat. Ada pula, yang merasa aksi itu tak perlu menjadi prioritas, mengelola laut bukan sebatas peledakan kapal, yang terpenting adalah upaya menjaga perairan Indonesia.

Teknik Pengeboman Mencemari Laut
Berbagai jenis biota laut dari terumbu karang hingga beragam jenis ikan adalah kekayaan Indonesia. Kekayaan ini memicu kenakalan kapal negara asing yang dengan sengaja melintasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia untuk melakukan pencurian ikan. Pencurian ikan merugikan pendapatan negara, ini masih menjadi pekerjaan rumah, jari telunjuk diarahkan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Segala bentuk kebijakan telah dirumuskan agar membuat jera para pelaku pencurian ikan, salah satunya pengeboman kapal asing yang terbukti melakukan pencurian ikan di wilayah teritori Indonesia. Aksi ini berlandaskan hukum, Undang-Undang Nomor 45/2009 tentang Perikanan dalam Pasal 69 ayat (4) antara lain berbunyi: “...penenggelaman kapal asing yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Dalih memberi efek jera, terbukti tidak begitu dirasakan para pelaku, faktanya pelanggaran pencurian ikan masih marak. Sejak Oktober 2014 sampai Mei 2019 ada sekitar 516 kapal dari berbagai negara yang sudah dimusnahkan. Akhirnya, Indonesia harus sering melakukan penghancuran kapal asing di laut. KKP diamanahkan untuk menjaga wilayah ZEE Indonesia, tetapi bukankah menjaga kelestarian lingkungan juga merupakan tanggung jawabnya? Salah satu poin inilah yang diabaikan oleh KKP di tempo lalu, dalam menyikapi pelaku pencurian ikan. Penghancuran kapal secara langsung di laut dengan teknik pengeboman berdampak pada mencemari sekaligus merusak ekosistem laut beserta potensi ekonominya, seperti mengakibatkan terumbu karang rusak dan mati, hingga berimplikasi ikan enggan untuk hidup di sekitar bangkai kapal.

Rusak atau matinya terumbu karang berimbas sangat luas, mulai dari hilangnya kehidupan di sekitar terumbu karang sampai punahnya beragam biota laut. Padahal, pemulihan atau rehabilitasi terumbu karang membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun. Sementara itu, terumbu karang adalah salah satu ikon yang diminati oleh para wisatawan khususnya para penyelam (diver). Terumbu karang sendiri memiliki peran yang besar bagi ekosistem dan ketahanan pangan. Dilihat dari sisi ekologisnya, terumbu karang berfungsi sebagai habitat berbagai spesies ikan, perlindungan hutan bakau dan memperkecil energi ombak menuju daratan. Sedangkan dari segi ekonomi, fungsinya sebagai ekowisata dan pemanfaatan biota laut sebagai bahan pangan. Bisa dibayangkan, jika seluruh terumbu karang mengalami kerusakan akibat penenggelaman kapal dengan cara diledakkan, maka bukan hanya negara yang akan mengalami kerugian, namun masyarakat khususnya nelayan pun akan terkena imbasnya.

Ancaman kerusakan ekosistem di laut yang tak kalah menarik adalah persoalan sampah. Lautan di Indonesia semakin dicemari dan dipenuhi sampah buangan manusia, mulai dari kantong plastik, botol sampai puntung rokok. Terlebih lagi saat ini, Indonesia tercatat sebagai penyumbang sampah plastik di lautan terbesar kedua setelah China. Keadaan ini juga turut diperparah dengan adanya sampah kapal-kapal yang ditenggelamkan. Banyak serpihan kapal tersebut berserakan di tengah laut. Miris ketika sampah plastik saja belum habis terurai, sudah datang lagi sampah baru. Padahal, merujuk laporan Ocean Conservacy, sebuah organisasi yang concern atas konservasi laut di Amerika Serikat, bahwa sebanyak 95% sampah justru terendam di bawah permukaan. Polusi laut akibat sampah ini tidak hanya berimbas buruk terhadap lingkungan, namun juga merugikan dari sisi ekonomi karena pendapatan negara dari sektor kelautan juga akan menurun.

Tak sampai disitu saja, bangkai kapal yang telah dihancurkan justru mencemari dan mengotori laut, oli kapal pun menjadi limbah berbahaya beracun yang mencemari laut, kesemuanya mengarah pada dapat menggangu keselamatan pelayaran. Oleh sebab itu, wajar jika penenggelaman kapal yang telah dilakukan, dianggap juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17/2015 tentang Pelayaran. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa kapal yang tenggelam wajib diangkat atau diapungkan, terlebih jika kapal tersebut mengganggu alur pelayaran.

Pemborosan Anggaran Negara
Selama periode Menteri Kelautan dan Perikanan tempo lalu, menenggelamkan kapal sepertinya menjadi prioritas dari KKP. Wajar akhirnya, penenggelaman kapal sudah dilakukan terhadap 556 kapal. Selain tidak memberikan efek jera, ternyata biaya pemusnahan kapal asing memboros anggaran negara, setidaknya menghabiskan anggaran Rp50 juta - Rp100 juta per kasus. Dapat kita bayangkan penenggelaman kapal ternyata membutuhkan penyerapan anggaran yang amat besar, yang semestinya bisa dialihkan untuk yang lebih bermanfaat dengan menyasar kepada para nelayan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1186 seconds (0.1#10.140)