Generasi Muda Harus Dilindungi dari Paham Radikal dan Terorisme

Jum'at, 30 Desember 2022 - 16:50 WIB
loading...
Generasi Muda Harus...
Pakar terorisme Noor Huda Ismail saat menjadi pemateri di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Duta Damai Dunia Maya BNPT 2022 di Jakarta, Rabu (28/12/2022) malam. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Generasi muda harus dilindungi dari paparan radikalisme dan terorisme. Pasalnya tidak hanya merusak masa depan anak muda, radikalisme dan terorisme, juga mengancam persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penguatan narasi kebangsaan, kedamaian, dan keagamaan yang benar harus terus diberikan kepada anak muda agar mereka memiliki imunitas dan kemampuan melawan paham-paham kekerasan itu. Karena itu keberadaan duta damai dunia maya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi solusi dalam menyebarkan pesan-pesan persatuan, perdamaian, toleransi, dalam rangka mencegah anak muda terpapar radikalisme dan terorisme.

"Kerja-kerja narasi super penting, apalagi anak muda seperti duta damai dunia maya ini. Saya kira hal paling penting mereka bisa bikin konten yang bisa related dengan anak-anak seumuran mereka," kata pakar terorisme Noor Huda Ismail saat menjadi pemateri di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Duta Damai Dunia Maya BNPT 2022 di Jakarta,Rabu(28/12/2022) malam.

Baca juga: BNPT: Potensi Perempuan Terpapar Radikalisme Cenderung Tinggi

Noor Huda adalah orang di balik layar pembuatan konten-konten terkait terorisme melalui film pendek dan buku. Beberapa film pendeknya adalah Jihad Selfie, Cross Fire, dan Kecewa Karena Bapak Menjadi Teroris yang disaksikan para Duta Damai Dunia Maya BNPT.

Dalam film-filmnya, ia melibatkan langsung para pelaku aksi terorisme. Salah satunya Munir Kartono di film Kecewa Karena Bapak Menjadi Teroris. Munir pernah empat tahun hidup di penjara akibat terlibat pendanaan terorisme kasus bom Mapolres Surakarta.

Noor Huda mengaku sengaja melibatkan pelaku terorisme agar film-film realitable dari pengakuan pelaku sehingga orang akan lebih percaya. "Merekalah yang pernah bagian dari kelompok ini (teroris). Mereka tahu telah dibohongi oleh kelompok lama, jadi mereka punya energi untuk melawan narasi-narasi lama mereka. Kita di luar yang paham dengan komunikasi, sehingga narasinya betul-betul mengena. Jadi enak ditonton," ujar founder Yayasan Prasasti Perdamaian ini.

Baca juga: BNPT Sebut Indeks Potensi Radikalisme Menurun

Dari film-film itu diketahui bahwa virus radikalisme dan terorisme merasuki seseorang tidak hanya dari jalur agama, tetapi bisa dari masalah sosial lain. Contohnya Munir Kartono, ia teradikalisasi berawal dari masalah keluarga yang tidak terselesaikan, sehingga mencari jalan keluar di luar rumah. Dari sana ia bersentuhan dengan radikalisme yang membawanya berkawan dengan tokoh ISIS Indonesia, Bahrun Naim. Bahkan Munir dan Bahrun Naim membicarakan rencana aksi terorisme sambil bermain biliar.

"Ada banyak cara pintu masuknya, nggak hanya pengajian, bahkan main biliar saja bisa jadi (teroris). Kecewa dengan keluarga juga bisa jadi. Untuk itulah semua pihak harus terlibat dalam mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme ini. Kalau ambil istilah BNPT, berbagai sektor harus terlibat. Di konteks media damai, anak-anak muda Duta Damai Dunia Maya ini sangat penting," kata peraih PhD dari Monash University Australia ini.

Dengan keberadaan Duta Damai Dunia Maya BNPT di 18 provinsi, Noor Huda berharap mereka bisa mengungkapkan berbagai jenis radikalisme berbeda yang muncul di berbagai daerah. Itu penting agar masyarakat tahu bahwa radikalisme itu tidak hanya berbasis agama, tetapi juga bermacam-macam penyebabnya.

"Saya senang ada teman-teman dari Ambon, Papua. Saya harapkan mereka bisa bikin konten tentang jenis radikalisme yang tidak melalu karena Islam saja," kata jebolan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo ini.

Sementara itu, Munir Kartono juga memberikan testimoni tentang proses radikalisasi yang dialami. Menurutnya, proses itu begitu panjang berawal dari permasalahan keluarga yang berlarut-larut dan memancingnya mencari identitas di luar rumah, bahkan di jalanan, sampai akhirnya ia teradikalisasi.

"Itu semua terjadi di luar rumah, lewat pergaulan. Kemudian saya sampai menemukan jaringan teroris semua di luar rumah. Tapi kembali itu semua berawal dari satu masalah yang tidak selesai," katanya.

Saat kali pertama mencari identitas di luar rumah, tutur Munir, ia bertemu anak-anak punk. Namun anak-anak punk ini tidak seperti kebanyakan yang hobinya main musik dengan dandanan dekil. Mereka membuka lapak-lapak perpustakaan jalanan gratis. Bacaan-bacaan itu menarik bentuk-bentuk perlawanan terhadap idealism feodal, bentuk-bentuk nilai nilai kolot, termasuk tidak sesuai dengan negara Indonesia.

"Saya pertama pergi ke Bogor, kemudian saya main ke Bandung. Sampai hari ini kelompok-kelompok ini masih eksis. Nah setelah itu saya bersama kelompok punk tadi, saya sampai satu titik membenci pada negara. Saya mulai tertarik dengan masalah agama, saya mencari kelompok yang mempunyai narasi agama tapi punya nilai perlawanan terhadap negara. Saya kemudian bergabung dengan HTI. Itu titik ketemunya," katanya.

Di HTI, Munir bertemu Bahrun Naim yang kebetulan seusia, seprofesi, dan memiliki hobi sama yaitu mengelola Warnet. "Kita sama-sama jadi klop, ketemu. Kadang saya datang ke Solo, main biliar bareng sampai akhirnya cari duit untuk kelompok-kelompok teroris bareng," katanya.

Munir mencari pendanaan teror dengan cara membobol Paypal. Dari situ dana dialirkan ke crypto currency berupa Bitcoin. Pada 2012, kebetulan grafik Bitcoin sedang meningkat tajam.

Dari dana yang dibelikan Bitcoin, saat dijual selisih nilainya sangat tinggi. Dana itulah yang dialirkan ke Bahrun Naim, yang kemudian disebarkan ke mana-mana seperti pemberangkatan orang-orang ke Suriah, melakukan aksi bom di Indonesia, termasuk pembiayaan kepada keluarga yang melakukan teror bom.

"Bom Mapolres Kartasura, dananya dari saya. Saat itu, Bahrun Naim minta mencarikan dana karena memang saat itu pelaku sudah ingin melakukan. Saya carikan dananya, sehingga terjadi bom di Mapolres Surakarta tahun 2016," katanya.

Kini Munir mengaku sudah sembuh total setelah menjalani hukuman selama empat tahun di Lapas Purwakarta dan Lapas Khusus Sentul. Ia menceritakan prosesnya saat ia berikrar setia kembali ke NKRI di Lapas Purwakarta. Setelah itu, ia mengajukan diri untuk dibina lebih lanjut di Pusat Deradikalisasi (Pusderad) BNPT di Sentul.

"Alhamadulillah dari BNPT menyambut saya, akhirnya saya dipindahkan ke Pusderad. Di sana saya dibina dengan berbagai macam pelatihan, kemudian di dalam saya bertemu banyak akademisi dan diajarkan bermacam-macam hal, sehingga akhirnya semakin sadar bahwa yang telah saya lakukan salah dan saya harus berbuat lebih baik lagi untuk keluarga dan masa depan kita bersama, Indonesia," tutur Munir.

Menurutnya, saat ini potensi kerentanan radikalisasi terbesar ada di anak muda dari milenial sampai generasi Z. Apalagi permasalahannya ternyata tidak melulu ideologi, tapi bisa dari masalah kecil yang tidak terselesaikan.

"Karena itu teman-teman Duta Damai Dunia Maya harus bisa lebih aware, melihat teman sekeliling mereka dan mengajak tidak melakukan aksi-aksi yang pasti akan jadi penyesalan mereka nantinya. Apalagi aksi-aksi yang menjurus kekerasan, apalagi terorisme," katanya.

"Ke depannya Duta Damai lebih kreatif lagi dengan terobosan dan sesuatu yang baru dalam menyebarkan konten perdamaian dan persatuan," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1267 seconds (0.1#10.140)