Menjejak 2023 dengan Kesadaran Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim
loading...
A
A
A
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur KementerianAgama, Pegiat Birokrat Menulis
MENUTUP 2022, Universitas Indonesia Green Metric (UIGM) 2022 memberi kabar yang tidak cukup positif bagi pendidikan Islam, khususunya dalam konteks komitmen dan etika lingkungan hidup serta perubahan iklim pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Diikuti 1.050 universitas dari 85 negara, dalam indeks pemeringkatan UIGM 2022 ini, hanya Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang masuk 10 besar (peringkat kedelapan perguruan tinggi nasional) dan 100 besar (peringkat ke-61 perguruan tinggi global) dari kalangan PTKI.
Baca Juga: koran-sindo.com
Capaian ini dapat dilihat dari dua sisi, yakni kebanggaan dan keprihatinan. UIN Lampung menunjukkan diri mampu menerobos jajaran atas perguruan tinggi yang mendapat penilaian tinggi dari beragam aspek penilaian yang melingkupi ekosistem kampus (aspek Settings and Infrastructure, Energy and Climate Change, Waste, Water, Transportation, Education, and Research) yang menjadi objek penilaian.
Kendati demikian, prestasi penting UIN Lampung juga menyisakan keprihatinan karena terlihat “sendirian” dari kalangan PTKI negeri dan swasta dalam indeks UIGM 2022. Hal demikian menyiratkan beberapa hal mendasar dalam konteks pendidikan tinggi Islam dalam kaitannya dengan kesadaran tentang budaya dan etika lingkungan hidup dalam pendidikan Islam.
Pertama, dengan entitas selaku populasi Muslim terbesar di dunia, kesadaran tentang lingkungan hidup idealnya menjadi bagian dari agenda keumatan secara konstruktif di mana pendidikan Islam menjadi salah satu indikatornya. Eloknya, pendidikan Islam terkait erat dengan pesan perlunya menjaga lingkungan hidup dan perubahan iklim. Dalam ajaran Islam, perintah untuk menjaga kebersihan lingkungan disebut menjadi bagian dari keimanan.
Kedua, belum terciptanya kesadaran lingkungan dan etika perubahan iklim sebagai langkah bersama pada level perguruan tinggi keagamaan Islam. Meski secara populasi tidak sebanyak perguruan tinggi umum, namun dukungan entitas keumatan Islam terbesar di dunia mau tidak mau menjadikan kalangan PTKI sebagai pihak penting dan strategis dalam urgensi pengarustamaan kesadaran lingkungan dan perubahan iklim ini.
Lebih dari itu, secara spesifik, Deklarasi Liga Muslim Dunia mengenai Lingkungan pada 2015 menekankan peran pendidikan sebagai anasir penting dan berkemampuan strategis dalam membentuk kesadaran umat mengenai lingkungan dan perubahan iklim.
Hal demikian jelas termaktub dalam Islamic Declaration on Global Climate Change (IDGCC) yang diselenggarakan di Istanbul pada 2015. Deklarasi ini secara umum berisi dua hal utama: afirmasi dan aksi.
Konteks afirmasi merujuk pada pentingnya sikap terbuka dan jujur untuk mengakui bahwa pendekatan antroposentris pada alam telah mendegradasi alam itu sendiri. IDGCC (artikel 1.6) menilai bahwa sejak berkembangnya revolusi industri umat manusia telah mengonsumsi sumber daya alam tak terbarukan secara tidak terkendali atas nama pembangunan ekonomi dan capaian peradaban manusia.
Akibatnya, tindakan eksploitatif ini membutuhkan waktu 250 juta tahun bagi bumi untuk memulihkan diri. Inilah realitas kerusakan (fasad) yang sudah menjadi peringatan Alquran sejak dini.
Sementara itu, perihal aksi (IDGCC artikel 3.1) menekankan perlunya semua pihak—dari para pemimpin pemerintahan, ulama, masjid, lembaga pendidikan Islam, dan banyak lainnya—untuk bersegera mengambil tindakan yang selaras dengan konsensus saintifik secara global mengenai perubahan iklim.
Dalam kaitan merawat bumi, bersikap bijak terhadap sumber daya alam dan menyikapi perubahan iklim, IDGCC mengingatkan Muslimin sedunia untuk menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan. Padanya, tersemat semua atribusi kemuliaan sikap menghargai manusia, lingkungan, flora, dan fauna. Jelas, hal demikian dengan sendirinya merupakan refleksi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, agama yang menyeru kasih sayang pada sekalian alam dan isinya.
Langkah Nyata
Menimbang beragam afirmasi normatif dan teladan Nabi Muhammad SAW, umat Islam patut meletakkan relasi etis dan spiritual dalam memahami pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi. Lebih jauh, saat ini diperlukan kesadaran baru, semangat bersama, dan langkah nyata untuk merevitalisasi deklarasi tersebut karena beberapa hal.
Pertama, perlunya refleksi bersama tentang upaya menghargai lingkungan dan menumbuhkan kesadaran tentang perubahan iklim. IDGCC eloknya menjadi alarm senyaringnya untuk membangunkan kesadaran umat tentang perubahan iklim, bukan hanya menunggu pihak lain berbuat lebih dahulu.
Pemanasan global seharusnya bisa ditekan dan seterusnya dicegah apabila ada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara cepat, terstruktur, dan berskala besar. Sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu saja dapat menjalankan peran yang signifikan.
Kedua, bagi Muslim Indonesia, Deklarasi Islam mengenai Perubahan Iklim (IDGCC) seyogianya mampu menjadi bagian dari pedoman dasar dalam berkebijakan dan menjalankan praktik baik guna merespons perubahan iklim dan kerusakan alam yang masif. Pada titik ini, peran masjid, lembaga dakwah, dan lembaga pendidikan Islam beserta pemangku kepentingan di dalamnya dapat menjadi episenter penting.
Masjid dan lembaga dakwah mampu menjadi pendorong kesadaran dan kepatuhan umat tentang perubahan iklim. Mimbar masjid dan pengajian di dalamnya eloknya lebih intensif menjadikan upaya penghargaan terhadap alam dan lingkungan serta perubahan iklim sebagai salah satu topik syiar. Sementara itu, lembaga pendidikan Islam dapat mengisi karakter dan pengetahuan generasi mendatang sebagai human capital investment menghadapi perubahan iklim yang bukan lagi persoalan laten.
Lebih jauh, lembaga pendidikan Islam pada semua jenis dan jenjang patut mengadopsi dengan jelas dan terukur mengenai dampak perubahan iklim, risiko dan bahaya yang ditimbulkan, serta perangkat sikap dan perilaku untuk mengurangi dampak dan risiko perubahan iklim tersebut. Di tengah kewajiban untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur lembaga pendidikan Islam, kesadaran tentang perubahan iklim penting untuk ditanamkan.
Sebagaimana temuan saintifik yang menekankan perlunya langkah pengendalian dalam memanfaatkan alam dan menjaganya dari kerusakan lebih lanjut, kesadaran serta upaya menumbuhkan praktik baik (best practices) menjaga alam dan lingkungan adalah wujud nilai Islam untuk menjaga prinsip keseimbangan dan keadilan (tawasuth dan i'tidal) dalam berinteraksi dengan alam.
Asesor SDM Aparatur KementerianAgama, Pegiat Birokrat Menulis
MENUTUP 2022, Universitas Indonesia Green Metric (UIGM) 2022 memberi kabar yang tidak cukup positif bagi pendidikan Islam, khususunya dalam konteks komitmen dan etika lingkungan hidup serta perubahan iklim pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Diikuti 1.050 universitas dari 85 negara, dalam indeks pemeringkatan UIGM 2022 ini, hanya Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang masuk 10 besar (peringkat kedelapan perguruan tinggi nasional) dan 100 besar (peringkat ke-61 perguruan tinggi global) dari kalangan PTKI.
Baca Juga: koran-sindo.com
Capaian ini dapat dilihat dari dua sisi, yakni kebanggaan dan keprihatinan. UIN Lampung menunjukkan diri mampu menerobos jajaran atas perguruan tinggi yang mendapat penilaian tinggi dari beragam aspek penilaian yang melingkupi ekosistem kampus (aspek Settings and Infrastructure, Energy and Climate Change, Waste, Water, Transportation, Education, and Research) yang menjadi objek penilaian.
Kendati demikian, prestasi penting UIN Lampung juga menyisakan keprihatinan karena terlihat “sendirian” dari kalangan PTKI negeri dan swasta dalam indeks UIGM 2022. Hal demikian menyiratkan beberapa hal mendasar dalam konteks pendidikan tinggi Islam dalam kaitannya dengan kesadaran tentang budaya dan etika lingkungan hidup dalam pendidikan Islam.
Pertama, dengan entitas selaku populasi Muslim terbesar di dunia, kesadaran tentang lingkungan hidup idealnya menjadi bagian dari agenda keumatan secara konstruktif di mana pendidikan Islam menjadi salah satu indikatornya. Eloknya, pendidikan Islam terkait erat dengan pesan perlunya menjaga lingkungan hidup dan perubahan iklim. Dalam ajaran Islam, perintah untuk menjaga kebersihan lingkungan disebut menjadi bagian dari keimanan.
Kedua, belum terciptanya kesadaran lingkungan dan etika perubahan iklim sebagai langkah bersama pada level perguruan tinggi keagamaan Islam. Meski secara populasi tidak sebanyak perguruan tinggi umum, namun dukungan entitas keumatan Islam terbesar di dunia mau tidak mau menjadikan kalangan PTKI sebagai pihak penting dan strategis dalam urgensi pengarustamaan kesadaran lingkungan dan perubahan iklim ini.
Lebih dari itu, secara spesifik, Deklarasi Liga Muslim Dunia mengenai Lingkungan pada 2015 menekankan peran pendidikan sebagai anasir penting dan berkemampuan strategis dalam membentuk kesadaran umat mengenai lingkungan dan perubahan iklim.
Hal demikian jelas termaktub dalam Islamic Declaration on Global Climate Change (IDGCC) yang diselenggarakan di Istanbul pada 2015. Deklarasi ini secara umum berisi dua hal utama: afirmasi dan aksi.
Konteks afirmasi merujuk pada pentingnya sikap terbuka dan jujur untuk mengakui bahwa pendekatan antroposentris pada alam telah mendegradasi alam itu sendiri. IDGCC (artikel 1.6) menilai bahwa sejak berkembangnya revolusi industri umat manusia telah mengonsumsi sumber daya alam tak terbarukan secara tidak terkendali atas nama pembangunan ekonomi dan capaian peradaban manusia.
Akibatnya, tindakan eksploitatif ini membutuhkan waktu 250 juta tahun bagi bumi untuk memulihkan diri. Inilah realitas kerusakan (fasad) yang sudah menjadi peringatan Alquran sejak dini.
Sementara itu, perihal aksi (IDGCC artikel 3.1) menekankan perlunya semua pihak—dari para pemimpin pemerintahan, ulama, masjid, lembaga pendidikan Islam, dan banyak lainnya—untuk bersegera mengambil tindakan yang selaras dengan konsensus saintifik secara global mengenai perubahan iklim.
Dalam kaitan merawat bumi, bersikap bijak terhadap sumber daya alam dan menyikapi perubahan iklim, IDGCC mengingatkan Muslimin sedunia untuk menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan. Padanya, tersemat semua atribusi kemuliaan sikap menghargai manusia, lingkungan, flora, dan fauna. Jelas, hal demikian dengan sendirinya merupakan refleksi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, agama yang menyeru kasih sayang pada sekalian alam dan isinya.
Langkah Nyata
Menimbang beragam afirmasi normatif dan teladan Nabi Muhammad SAW, umat Islam patut meletakkan relasi etis dan spiritual dalam memahami pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi. Lebih jauh, saat ini diperlukan kesadaran baru, semangat bersama, dan langkah nyata untuk merevitalisasi deklarasi tersebut karena beberapa hal.
Pertama, perlunya refleksi bersama tentang upaya menghargai lingkungan dan menumbuhkan kesadaran tentang perubahan iklim. IDGCC eloknya menjadi alarm senyaringnya untuk membangunkan kesadaran umat tentang perubahan iklim, bukan hanya menunggu pihak lain berbuat lebih dahulu.
Pemanasan global seharusnya bisa ditekan dan seterusnya dicegah apabila ada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara cepat, terstruktur, dan berskala besar. Sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu saja dapat menjalankan peran yang signifikan.
Kedua, bagi Muslim Indonesia, Deklarasi Islam mengenai Perubahan Iklim (IDGCC) seyogianya mampu menjadi bagian dari pedoman dasar dalam berkebijakan dan menjalankan praktik baik guna merespons perubahan iklim dan kerusakan alam yang masif. Pada titik ini, peran masjid, lembaga dakwah, dan lembaga pendidikan Islam beserta pemangku kepentingan di dalamnya dapat menjadi episenter penting.
Masjid dan lembaga dakwah mampu menjadi pendorong kesadaran dan kepatuhan umat tentang perubahan iklim. Mimbar masjid dan pengajian di dalamnya eloknya lebih intensif menjadikan upaya penghargaan terhadap alam dan lingkungan serta perubahan iklim sebagai salah satu topik syiar. Sementara itu, lembaga pendidikan Islam dapat mengisi karakter dan pengetahuan generasi mendatang sebagai human capital investment menghadapi perubahan iklim yang bukan lagi persoalan laten.
Lebih jauh, lembaga pendidikan Islam pada semua jenis dan jenjang patut mengadopsi dengan jelas dan terukur mengenai dampak perubahan iklim, risiko dan bahaya yang ditimbulkan, serta perangkat sikap dan perilaku untuk mengurangi dampak dan risiko perubahan iklim tersebut. Di tengah kewajiban untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur lembaga pendidikan Islam, kesadaran tentang perubahan iklim penting untuk ditanamkan.
Sebagaimana temuan saintifik yang menekankan perlunya langkah pengendalian dalam memanfaatkan alam dan menjaganya dari kerusakan lebih lanjut, kesadaran serta upaya menumbuhkan praktik baik (best practices) menjaga alam dan lingkungan adalah wujud nilai Islam untuk menjaga prinsip keseimbangan dan keadilan (tawasuth dan i'tidal) dalam berinteraksi dengan alam.
(bmm)