Partai Buruh Minta Aturan Kampanye Pemilu 2024 Diubah, Ini Alasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Buruh menilai definisi dan jadwal kampanye Pemilu 2024 menjadi isu mendesak untuk diubah. Jika tidak, Partai Buruh berpendapat bahwa konflik antar-partai politik (parpol) dapat terjadi, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa salah bertindak.
“Pascaditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024, partai politik rawan mengalami gesekan dan bahkan dapat dikriminalisasi akibat dianggap melanggar aturan kampanye. Pemicunya adalah adanya pembatasan masa kampanye,” kata Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu (18/12/2022).
Dia mengatakan, pendeknya masa kampanye dapat menyebabkan parpol mencari cara alternatif untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi yang dilakukan sebelumnya dimulainya masa kampanye. Masalahnya, lanjut dia, kegiatan sosialisasi seringkali dipahami secara keliru oleh masyarakat dengan mempersamakan maknanya dengan kegiatan kampanye.
Dia menuturkan, kesalahpahaman ini tak jarang bahkan muncul di lingkungan lembaga pengawas pemilu. Dia menambahkan, untuk tujuan tertentu, suatu parpol baik secara langsung atau dengan meminjam tangan masyarakat dapat saja melaporkan kepada Bawaslu mengenai kegiatan sosialisasi parpol lain dengan mengajukan alasan parpol tersebut telah melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal.
“Terhadap kondisi itu, partai politik yang dilaporkan sudah barang tentu akan mengalami kerugian karena merasa citra partainya telah dirusak oleh laporan tersebut. Situasi ini dapat memicu perlawanan dari parpol yang dilaporkan. Aksi saling lapor bahkan saling serang antar-parpol dikhawatirkan dapat mengarah pada suasana pemilu yang kurang kondusif,” tuturnya.
Lebih lanjut dia menuturkan, eskalasi kerawanan pemilu dikhawatirkan menjadi semakin meningkat ketika laporan yang bermotifkan politik tersebut secara serampangan diproses oleh Bawaslu dan menjadi isu di pemberitaan. “Maka semakin ramailah itu isunya. Nah, kondisi yang semacam itu berpotensi menggeser dan bahkan memperluas spektrum konflik yang semula hanya antar-parpol menjadi ketegangan antara partai politik versus Bawaslu,” ucapnya.
Berdasarkan pengalaman, dirinya mengaku banyak menemukan kasus di mana Bawaslu seringkali gagal membedakan antara kegiatan kampanye dan kegiatan sosialisasi parpol. “Hal ini tentu sangat berbahaya karena apabila kegiatan sosialisasi dimaknai sebagai kegiatan kampanye, maka kegiatan sosialisasi yang dilakukan sebelum dimulainya masa kampanye berpotensi digolongkan sebagai tindak pidana pemilu oleh Bawaslu,” katanya.
Maka itu, untuk mengantisipasi munculnya kerawanan pemilu dan untuk menciptakan iklim pemilu yang kondusif, Partai Buruh mengajukan sejumlah usulan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertama, dalam Peraturan KPU tentang kampanye yang kelak akan disusun, perlu dibuat pengaturan yang dapat mempertegas kriteria kegiatan kampanye agar tidak menimbulkan multitafsir yang menyebabkan Bawaslu dapat secara bebas memaknai definisi kampanye menurut pemahamannya sendiri.
“Dengan cara ini, akan dapat dibedakan secara jelas mana kegiatan parpol yang tergolong sosialisasi, dan mana yang sudah tergolong sebagai kegiatan kampanye,” ungkapnya.
Kedua, KPU perlu mengubah peraturan mengenai jadwal tahapan pemilu dengan menentukan masa kampanye dalam kurun waktu yang wajar agar parpol peserta Pemilu 2024 dengan bebas dan tanpa rasa takut dapat melaksanakan tugasnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat melalui kegiatan kampanye. “Dan pada saat yang sama parpol dapat memenuhi hak rakyat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya tentang peserta pemilu dalam kurun waktu yang memadai,” kata Said.
Untuk diketahui, merujuk ketentuan Pasal 276 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Perppu 1/2022) dan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 (PKPU 3/2022), masa kampanye legislatif nantinya hanya akan berlangsung selama 52 hari.
“Masa kampanye sekira 50 hari itu jelas tidak memadai bagi partai politik peserta pemilu terutama bagi parpol pendatang baru dan juga untuk masyarakat. Sebab, kalau dibandingkan dengan masa kampanye pada pemilu-pemilu sebelumnya, kentara sekali ketidakwajarannya,” ujar Said yang juga sebagai ahli hukum tata negara atau hukum administrasi negara ini.
Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa masa kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di Pemilu 2009 berlangsung selama 299 hari atau hampir 10 bulan lamanya. Kemudian, di Pemilu 2014 dilaksanakan 450 hari atau 15 bulan dan di Pemilu 2019 digelar selama 203 hari atau kurang lebih 7 bulan.
“Nah, masa kampanye Pemilu 2024 sebenarnya dapat diperpanjang waktunya tidak hanya 52 hari, melainkan bisa digelar sampai dengan 183 hari atau sekira 6 bulan. Perhitungan itu diperoleh berdasarkan hasil simulasi yang dibuat oleh Partai Buruh dengan tetap merujuk pada ketentuan yang ditetapkan dalam Perppu 1/2022 dan PKPU 3/2022,” pungkas ahli politik dan hukum kepemiluan ini.
“Pascaditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024, partai politik rawan mengalami gesekan dan bahkan dapat dikriminalisasi akibat dianggap melanggar aturan kampanye. Pemicunya adalah adanya pembatasan masa kampanye,” kata Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Minggu (18/12/2022).
Dia mengatakan, pendeknya masa kampanye dapat menyebabkan parpol mencari cara alternatif untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi yang dilakukan sebelumnya dimulainya masa kampanye. Masalahnya, lanjut dia, kegiatan sosialisasi seringkali dipahami secara keliru oleh masyarakat dengan mempersamakan maknanya dengan kegiatan kampanye.
Dia menuturkan, kesalahpahaman ini tak jarang bahkan muncul di lingkungan lembaga pengawas pemilu. Dia menambahkan, untuk tujuan tertentu, suatu parpol baik secara langsung atau dengan meminjam tangan masyarakat dapat saja melaporkan kepada Bawaslu mengenai kegiatan sosialisasi parpol lain dengan mengajukan alasan parpol tersebut telah melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal.
“Terhadap kondisi itu, partai politik yang dilaporkan sudah barang tentu akan mengalami kerugian karena merasa citra partainya telah dirusak oleh laporan tersebut. Situasi ini dapat memicu perlawanan dari parpol yang dilaporkan. Aksi saling lapor bahkan saling serang antar-parpol dikhawatirkan dapat mengarah pada suasana pemilu yang kurang kondusif,” tuturnya.
Lebih lanjut dia menuturkan, eskalasi kerawanan pemilu dikhawatirkan menjadi semakin meningkat ketika laporan yang bermotifkan politik tersebut secara serampangan diproses oleh Bawaslu dan menjadi isu di pemberitaan. “Maka semakin ramailah itu isunya. Nah, kondisi yang semacam itu berpotensi menggeser dan bahkan memperluas spektrum konflik yang semula hanya antar-parpol menjadi ketegangan antara partai politik versus Bawaslu,” ucapnya.
Berdasarkan pengalaman, dirinya mengaku banyak menemukan kasus di mana Bawaslu seringkali gagal membedakan antara kegiatan kampanye dan kegiatan sosialisasi parpol. “Hal ini tentu sangat berbahaya karena apabila kegiatan sosialisasi dimaknai sebagai kegiatan kampanye, maka kegiatan sosialisasi yang dilakukan sebelum dimulainya masa kampanye berpotensi digolongkan sebagai tindak pidana pemilu oleh Bawaslu,” katanya.
Maka itu, untuk mengantisipasi munculnya kerawanan pemilu dan untuk menciptakan iklim pemilu yang kondusif, Partai Buruh mengajukan sejumlah usulan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertama, dalam Peraturan KPU tentang kampanye yang kelak akan disusun, perlu dibuat pengaturan yang dapat mempertegas kriteria kegiatan kampanye agar tidak menimbulkan multitafsir yang menyebabkan Bawaslu dapat secara bebas memaknai definisi kampanye menurut pemahamannya sendiri.
“Dengan cara ini, akan dapat dibedakan secara jelas mana kegiatan parpol yang tergolong sosialisasi, dan mana yang sudah tergolong sebagai kegiatan kampanye,” ungkapnya.
Kedua, KPU perlu mengubah peraturan mengenai jadwal tahapan pemilu dengan menentukan masa kampanye dalam kurun waktu yang wajar agar parpol peserta Pemilu 2024 dengan bebas dan tanpa rasa takut dapat melaksanakan tugasnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat melalui kegiatan kampanye. “Dan pada saat yang sama parpol dapat memenuhi hak rakyat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya tentang peserta pemilu dalam kurun waktu yang memadai,” kata Said.
Untuk diketahui, merujuk ketentuan Pasal 276 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Perppu 1/2022) dan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 (PKPU 3/2022), masa kampanye legislatif nantinya hanya akan berlangsung selama 52 hari.
“Masa kampanye sekira 50 hari itu jelas tidak memadai bagi partai politik peserta pemilu terutama bagi parpol pendatang baru dan juga untuk masyarakat. Sebab, kalau dibandingkan dengan masa kampanye pada pemilu-pemilu sebelumnya, kentara sekali ketidakwajarannya,” ujar Said yang juga sebagai ahli hukum tata negara atau hukum administrasi negara ini.
Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa masa kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di Pemilu 2009 berlangsung selama 299 hari atau hampir 10 bulan lamanya. Kemudian, di Pemilu 2014 dilaksanakan 450 hari atau 15 bulan dan di Pemilu 2019 digelar selama 203 hari atau kurang lebih 7 bulan.
“Nah, masa kampanye Pemilu 2024 sebenarnya dapat diperpanjang waktunya tidak hanya 52 hari, melainkan bisa digelar sampai dengan 183 hari atau sekira 6 bulan. Perhitungan itu diperoleh berdasarkan hasil simulasi yang dibuat oleh Partai Buruh dengan tetap merujuk pada ketentuan yang ditetapkan dalam Perppu 1/2022 dan PKPU 3/2022,” pungkas ahli politik dan hukum kepemiluan ini.
(rca)