Pemilu 2024 dan Potensi Konflik
loading...
A
A
A
Konflik sosial termasuk konflik siber tidak selamanya bersifat destruktif. Konflik dalam takaran tertentu dapat menjadi salah satu proses mendewasakan masyarakat. Prasyaratnya adalah pengendalian konflik tersebut. Untuk mencapai konflik siber yang konstruktif perlu langkah-langkah strategis dalam mengelolanya. Pemilu dan pilkada serentak 2024 menjadi momentum pembuktian apakah konflik siber yang menimbulkan polarisasi masyarakat saat ini akan menjadi konstruktif atau malah berkembang menjadi destruktif dan berdampak pada disintegrasi nasional.
Berpolitik Damai dan Positif
Pemilu dan pilkada merupakan pesta demokrasi yang idealnya disambut dengan gegap gempita. Dulu sering terdengar mars pemilu yang salah satu liriknya akrab di telinga generasi 90-an, “pemilihan umum telah memanggil kita, seluruh rakyat menyambut gembira”. Potongan lirik tersebut menunjukkan pemilu sebagai sebuah ajang rakyat yang seharusnya disambut dengan suka cita.
Namun, nampaknya penyambutan gembira akan datangnya pemilu tersebut menjadi situasi langka dalam beberapa dekade ini. Menjelang pemilu kini selalu disambut dengan ketegangan dan tensi masyarakat yang tinggi. Bahkan usai pelaksanaannya pun masih menyebabkan ketegangan berkepanjangan.
Pemilu merupakan ajang suksesi kepemimpinan nasional dan lokal sekaligus merupakan sarana edukasi politik dan demokrasi bagi masyarakat. Kesuksesan penyelenggaraan setiap tahapan pemilu yang baik, jujur dan adil menjadi sarana edukasi bagi setiap generasi. Hasilnya pun akan memiliki legitimasi tinggi dari masyarakat serta menghindarkan masyarakat dari konflik politik.
Di sinilah letak esensi pemilu sebagai ajang demokrasi prosedural dan substansial. Tentu untuk mencapainya perlu kerja keras dari berbagai pihak terutama penyelenggara dan pengawas pemilu, elit dan partai politik, penegak hukum, kontestan pemilu dan pilkada, dan lain-lain.
Upaya menciptakan pemilu damai harus dimulai dengan menciptakan kompetisi atau kontestasi yang sehat. Di sini elite politik dan partai politik yang berkompetisi memiliki peran yang sangat vital. Tak jarang konflik di akar rumput merupakan resonansi dari cara kompetisi di antara elite politik yang tidak membangun.
Sayangnya resonansi elite ketika mencapai resolusi konflik pascapemilu tidak menjalar ke akar rumput. Elite politik sudah berdamai, masyarakat masih berkonflik. Karakter konflik politik ini harus dicermati. Sejak dini dan dalam setiap tahapan, para elite politik harus menunjukkan semangat kompetisi yang cerdas, kreatif dan damai.
Upaya menciptakan pemilu yang damai juga menuntut penyelenggara dan pengawas pemilu bekerja secara independen, netral dan profesional. Kesalahan atau kekurangan dalam hal teknis penyelenggaraan maupun pengawasan pemilu bisa menyebabkan ketegangan dan memicu konflik berkepanjangan di antara kelompok masyarakat. Selain itu perlu penegakan aturan kepemiluan yang tegas dari para pihak yang berwenang. Penegakan hukum kepemiluan yang tegas ini diharapkan dapat menekan pertentangan diantara kontestan, pendukung dan kelompok masyarakat.
Tak kalah penting adalah peran pemerintah dan penegak hukum dalam menertibkan pendengung atau buzzer yang sering meresahkan dan sengaja memancing konflik di antara kelompok masyarakat. Subjek ini menjadi target vital dalam menciptakan pemilu damai dan edukatif.
Pemerintah perlu mengambil langkag-langkah taktis dan menciptakan sistem pengendalian penyebaran ujaran kebencian maupun berita bohong dari para pendengung. Sebagai upaya terakhir, penegak hukum juga harus tegas tanpa pandang bulu dalam menindak aktivitas pendengung yang memicu konflik politik.
Berpolitik Damai dan Positif
Pemilu dan pilkada merupakan pesta demokrasi yang idealnya disambut dengan gegap gempita. Dulu sering terdengar mars pemilu yang salah satu liriknya akrab di telinga generasi 90-an, “pemilihan umum telah memanggil kita, seluruh rakyat menyambut gembira”. Potongan lirik tersebut menunjukkan pemilu sebagai sebuah ajang rakyat yang seharusnya disambut dengan suka cita.
Namun, nampaknya penyambutan gembira akan datangnya pemilu tersebut menjadi situasi langka dalam beberapa dekade ini. Menjelang pemilu kini selalu disambut dengan ketegangan dan tensi masyarakat yang tinggi. Bahkan usai pelaksanaannya pun masih menyebabkan ketegangan berkepanjangan.
Pemilu merupakan ajang suksesi kepemimpinan nasional dan lokal sekaligus merupakan sarana edukasi politik dan demokrasi bagi masyarakat. Kesuksesan penyelenggaraan setiap tahapan pemilu yang baik, jujur dan adil menjadi sarana edukasi bagi setiap generasi. Hasilnya pun akan memiliki legitimasi tinggi dari masyarakat serta menghindarkan masyarakat dari konflik politik.
Di sinilah letak esensi pemilu sebagai ajang demokrasi prosedural dan substansial. Tentu untuk mencapainya perlu kerja keras dari berbagai pihak terutama penyelenggara dan pengawas pemilu, elit dan partai politik, penegak hukum, kontestan pemilu dan pilkada, dan lain-lain.
Upaya menciptakan pemilu damai harus dimulai dengan menciptakan kompetisi atau kontestasi yang sehat. Di sini elite politik dan partai politik yang berkompetisi memiliki peran yang sangat vital. Tak jarang konflik di akar rumput merupakan resonansi dari cara kompetisi di antara elite politik yang tidak membangun.
Sayangnya resonansi elite ketika mencapai resolusi konflik pascapemilu tidak menjalar ke akar rumput. Elite politik sudah berdamai, masyarakat masih berkonflik. Karakter konflik politik ini harus dicermati. Sejak dini dan dalam setiap tahapan, para elite politik harus menunjukkan semangat kompetisi yang cerdas, kreatif dan damai.
Upaya menciptakan pemilu yang damai juga menuntut penyelenggara dan pengawas pemilu bekerja secara independen, netral dan profesional. Kesalahan atau kekurangan dalam hal teknis penyelenggaraan maupun pengawasan pemilu bisa menyebabkan ketegangan dan memicu konflik berkepanjangan di antara kelompok masyarakat. Selain itu perlu penegakan aturan kepemiluan yang tegas dari para pihak yang berwenang. Penegakan hukum kepemiluan yang tegas ini diharapkan dapat menekan pertentangan diantara kontestan, pendukung dan kelompok masyarakat.
Tak kalah penting adalah peran pemerintah dan penegak hukum dalam menertibkan pendengung atau buzzer yang sering meresahkan dan sengaja memancing konflik di antara kelompok masyarakat. Subjek ini menjadi target vital dalam menciptakan pemilu damai dan edukatif.
Pemerintah perlu mengambil langkag-langkah taktis dan menciptakan sistem pengendalian penyebaran ujaran kebencian maupun berita bohong dari para pendengung. Sebagai upaya terakhir, penegak hukum juga harus tegas tanpa pandang bulu dalam menindak aktivitas pendengung yang memicu konflik politik.