Demonstrasi Kertas Kosong dan Ketakutan Pemerintah Komunis China
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang
BEBERAPA hari ini, kota-kota besar di China diguncang demonstrasi. Demonstrasi tersebut dimulai dengan peringatan untuk 10 korban yang tewas pada 24 November 2022 dalam kebakaran apartemen di Urumqi, Xinjiang, sebuah wilayah di barat laut China yang tempat penduduknya tinggal dalam keadaan terkunci selama lebih dari 3 bulan.
Para demonstran tersebut memegang kertas kosong berwarna putih di atas kepala mereka sebagai bentuk protes dan ketidakpuasan kepada pemerintah tentang kebijakan Nol Covid. Kebijakan Nol Covid yang menjadi pangkal protes memang telah dikritik habis-habisan oleh publik China. Yang jelas, kebijakan tersebut telah terlihat nyata dampaknya ke ekonomi Negeri Tirai Bambu yang terus menurun. Dan ini juga merupakan salah satu sebab yang membuat para mahasiswa dari universitas terkenal seperti Peking University dan Tshinghua University turun ke jalan memprotes pemerintah.
Sebenarnya, para pemimpin di China sangat takut dan sangat sadar akan bahaya dari demonstrasi mahasiswa, karena pada saat pemerintah Republik China di bawah Chiang Kai-shek berhasil diusir ke luar China bukan mengandalkan senjata dan ideologi komunis yang miskin, tetapi mengandalkan gerakan mahasiswa yang sudah tidak ada harapan terhadap masa depan China pada saat itu.
Baca Juga: Demo Pembatasan Covid, Warga China Minta Xi Jinping Mundur
Sebenarnya kebakaran di Urumqi itu bukan satu-satunya alasan yang membuat mahasiswa berdemonstrasi. Kebijakan Nol Covid dan pencegahan penyebaran virus yang terlalu ekstrem dari pemerintah telah menyebabkan penderitaan yang tiada taranya pada rakyat China. Contoh lain adalah akibat dari pembatasan pergerakan manusia, seorang anak laki-laki di Lanzhou meninggal karena keracunan karbon monoksida dan karena keterlambatan mencari perawatan medis. Kemudian, pemindahan paksa pasien yang diisolasi di Guizhou menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang menewaskan 27 orang. Lebih tragis lagi, banyaknya keguguran pada wanita hamil akibat keterlambatan menuju ke rumah sakit dan penolakan dari rumah sakit karena menunggu hasil PCR. Menurut masyarakat China, ini adalah kebijakan konyol yang akan membuat rakyat mati secara perlahan, karena selain kejadian di atas, kebijakan menutup kota telah memutus mata pencarian dan ekonomi rakyat.
Mengamati "demonstrasi kertas kosong", secara bertahap kita melihat muncul kecenderungan partisipasi universal dari rakyat China, keberanian dari rakyat yang tertindas, keberanian untuk mencari keadilan, dan keberanian untuk menyampaikan tuntutan yang jelas kepada pemerintah. Pendapat yang ingin diungkapkan publik terutama adalah tentang perlunya "pembersihan total dan berkelanjutan" virus Covid-19 yang menyimpang dan melanggar hak asasi rakyat. Kemudian pemerintah diminta untuk segera menghentikan blokade yang tidak perlu. Pemerintah harus mendengarkan lagi tuntutan rakyat seperti perjuangan untuk demokrasi dan penegakan hukum, kebebasan berbicara, dan bukan kediktatoran dari penguasa, pemerintah hadir bukan untuk memusatkan kekuasaan, dan juga bukan untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi untuk kesejahteraan rakyat.
Singkatnya, dalam merespons "demonstrasi kertas kosong", bagaimana Partai Komunis China mencari solusi? Atau tetap memilih untuk berperan sebagai penguasa yang diktator, menciptakan kebohongan yang mengatakan bahwa demonstrasi telah ditunggangi pihak asing, dan terus pamer keberhasilan yang tidak 100 persen dari pembangunan yang ada di China?
Bagaimanapun, meskipun kita tahu bahwa Partai Komunis tidak akan pernah mengakui kesalahannya, tetapi kita harus serius memohon kepada Beijing untuk menerima kenyataan bahwa pencegahan dan pembasmian virus Covid-19 itu sangat penting. Namun, tidak dengan cara melanggar hak hidup manusia dan tidak menggunakan kekerasan terhadap orang yang ingin mengungkapkan pendapatnya dan terutama kepada mereka yang menderita akibat dari blokade tak tahu sampai kapan.
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang
BEBERAPA hari ini, kota-kota besar di China diguncang demonstrasi. Demonstrasi tersebut dimulai dengan peringatan untuk 10 korban yang tewas pada 24 November 2022 dalam kebakaran apartemen di Urumqi, Xinjiang, sebuah wilayah di barat laut China yang tempat penduduknya tinggal dalam keadaan terkunci selama lebih dari 3 bulan.
Para demonstran tersebut memegang kertas kosong berwarna putih di atas kepala mereka sebagai bentuk protes dan ketidakpuasan kepada pemerintah tentang kebijakan Nol Covid. Kebijakan Nol Covid yang menjadi pangkal protes memang telah dikritik habis-habisan oleh publik China. Yang jelas, kebijakan tersebut telah terlihat nyata dampaknya ke ekonomi Negeri Tirai Bambu yang terus menurun. Dan ini juga merupakan salah satu sebab yang membuat para mahasiswa dari universitas terkenal seperti Peking University dan Tshinghua University turun ke jalan memprotes pemerintah.
Sebenarnya, para pemimpin di China sangat takut dan sangat sadar akan bahaya dari demonstrasi mahasiswa, karena pada saat pemerintah Republik China di bawah Chiang Kai-shek berhasil diusir ke luar China bukan mengandalkan senjata dan ideologi komunis yang miskin, tetapi mengandalkan gerakan mahasiswa yang sudah tidak ada harapan terhadap masa depan China pada saat itu.
Baca Juga: Demo Pembatasan Covid, Warga China Minta Xi Jinping Mundur
Sebenarnya kebakaran di Urumqi itu bukan satu-satunya alasan yang membuat mahasiswa berdemonstrasi. Kebijakan Nol Covid dan pencegahan penyebaran virus yang terlalu ekstrem dari pemerintah telah menyebabkan penderitaan yang tiada taranya pada rakyat China. Contoh lain adalah akibat dari pembatasan pergerakan manusia, seorang anak laki-laki di Lanzhou meninggal karena keracunan karbon monoksida dan karena keterlambatan mencari perawatan medis. Kemudian, pemindahan paksa pasien yang diisolasi di Guizhou menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang menewaskan 27 orang. Lebih tragis lagi, banyaknya keguguran pada wanita hamil akibat keterlambatan menuju ke rumah sakit dan penolakan dari rumah sakit karena menunggu hasil PCR. Menurut masyarakat China, ini adalah kebijakan konyol yang akan membuat rakyat mati secara perlahan, karena selain kejadian di atas, kebijakan menutup kota telah memutus mata pencarian dan ekonomi rakyat.
Mengamati "demonstrasi kertas kosong", secara bertahap kita melihat muncul kecenderungan partisipasi universal dari rakyat China, keberanian dari rakyat yang tertindas, keberanian untuk mencari keadilan, dan keberanian untuk menyampaikan tuntutan yang jelas kepada pemerintah. Pendapat yang ingin diungkapkan publik terutama adalah tentang perlunya "pembersihan total dan berkelanjutan" virus Covid-19 yang menyimpang dan melanggar hak asasi rakyat. Kemudian pemerintah diminta untuk segera menghentikan blokade yang tidak perlu. Pemerintah harus mendengarkan lagi tuntutan rakyat seperti perjuangan untuk demokrasi dan penegakan hukum, kebebasan berbicara, dan bukan kediktatoran dari penguasa, pemerintah hadir bukan untuk memusatkan kekuasaan, dan juga bukan untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi untuk kesejahteraan rakyat.
Singkatnya, dalam merespons "demonstrasi kertas kosong", bagaimana Partai Komunis China mencari solusi? Atau tetap memilih untuk berperan sebagai penguasa yang diktator, menciptakan kebohongan yang mengatakan bahwa demonstrasi telah ditunggangi pihak asing, dan terus pamer keberhasilan yang tidak 100 persen dari pembangunan yang ada di China?
Bagaimanapun, meskipun kita tahu bahwa Partai Komunis tidak akan pernah mengakui kesalahannya, tetapi kita harus serius memohon kepada Beijing untuk menerima kenyataan bahwa pencegahan dan pembasmian virus Covid-19 itu sangat penting. Namun, tidak dengan cara melanggar hak hidup manusia dan tidak menggunakan kekerasan terhadap orang yang ingin mengungkapkan pendapatnya dan terutama kepada mereka yang menderita akibat dari blokade tak tahu sampai kapan.
(zik)