KUPI II dan Signifikansi Fatwa Ramah Perempuan
loading...
A
A
A
Umnia Labeb
Mahasiswa Doktoral UIN Walisongo/Anggota KUPI II
Ulama perempuan telah berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Tetapi, dalam perjalananya diredupkan oleh bias sejarah yang hanya memotret peran dan kontribusi Kyai atau ulama laki-laki.
Kehadiran kongres ulama perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama digelar di Cirebon pada 2017 meneguhkan peran dan kontribusi para ulama perempuan, di antaranya dalam memberikan pandangan keagamaan atau fatwa yang lebih ramah perempuan.
Pandangan keagamaan atau fatwa sangat dipengaruhi oleh deskripsi, prespektif hingga metodologi dalam perumusan suatu fatwa. Keterpinggiran ulama perempuan selama ini berimplikasi pada pandangan keagamaan yang kurang ramah dan tidak sensitif pada persoalan dasar perempuan.
Dalam konteks fatwa sebagai bagian dari tafsir agama, sangat urgen bagaimana eksistensi agama mampu menjawab persoalan keumatan, termasuk persoalan relasi laki-laki dan perempuan. Meski wajah agama tidak bisa lepas dari ritual dan hal-hal sakral, agama bagi penganutnya selalu dirindukan sebagai solusi. Di sinilah signifikansi fatwa keagamaan, yang kemunculannya menjadi jawaban problematika umat.
Fatwa keagamaan yang lahir dari teks-teks keagamaan yang masih ditafsir secara bias dengan prespektif yang patriarkhi memberikan dampak besar bagi perempuan seperti kekerasan, KDRT, pelecehan seksual, hingga persoalan diskriminasi dan marginalisasi. Di sinilah signifikansi kehadiran KUPI, yang memberikan wajah baru fatwa keagamaan, yang lebih ramah perempuan.
Keulamaan Perempuan Indonesia
KUPI pertama lima tahun silam adalah Kongres pertama bertemunya ulama perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia hingga beberapa perwakilan dunia. Ulama perempuan dalam prespektif KUPI adalah ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki prespektif keadilan hakiki dan prespektif mubadalah dalam persoalan sosial.
Dalam perjalannya, KUPI menemukan jati dirinya menjadi gerakan yang menghimpun individu dan lembaga yang menyakini nilai-nilai keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan dengan pendekatan makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki berdasarkan nash-nash atau teks-teks keagamaan Islam yang rahmatan lil alamain.
KUPI menjadi ruang perjumpaan dan konsolidasi antarindividu dari beragam latar belakang pendidikan dan organisasi yang bersifat non-partisan, inklusif, partisipatoris, lintas organisasi, lintas generasi, lintas latar belakang sosial dan pendidikan.
KUPI dengan gerakannya telah menyatukan khidmah keulamaan perempuan dengan inisiatif-inisiatif komunitas dan lembaga yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Baik di kalangan pesantren, akademisi, majelis taklim, aktivis organisasi keislaman, praktisi pemberdayaan di akar rumput, bahkan para aktivis gender dan HAM.
KUPI II diselenggarakan di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah pada 23-26 November 2022, mengusung tema “Menegukan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan” menjadi momentum Gerakan keulamaan perempuan orgaik ini semakin mensinergikan gerakannya. Tidak kurang dari 20 negara dipastikan menghadiri perhelatan akbar ini.
Nilai Strategis Fatwa Ramah Perempuan
Fatwa atau Pandangan Keagamaan KUPI dirumuskan melalui prosedur yang ketat, yaitu pertama dengan melakukanTashowwuratau mendeskripsikan masalah. Kedua merumuskan masalah hukum daritashowwuratau deskripsi realitas sosial yang ada.
Ketiga disusunistidlalatau analisis struktur hukum yang menjadi dasar pendangan keagamaan dengan berpedoman pada tujuan ditetapkannyamaqashidu syariah. Keempat dirumuskandalalah-nya baik ayat al-Qur’an, hadist, fatwa ulama sebelumnya, hingga undang-undang. Pandangan keagamaan MUI juga memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait dengan isu yang dibahas.
Dalam semua tahapan, pandangan agama KUPI ini dirumuskan dengan menggunakan tiga prespektif dasar yang menjadi jembatan pada pandangan keagamaan yang ramah perempuan, yaitu perspektif ma’ruf, mubadalah dan keadilan hakiki. Ketiganya menjadi tolok ukur terpenuhinyamaqashidu syariahserta rasa keadilan relasi laki-laki dan perempuan.
Perjuangan ini bukan sepi dari telisik, tetapi telah nyata memberikan kontribusi yang dirasakan bagi sebagaian kalangan, termasuk para legislator dalam menetapkan kebijakan perundang-undangan.
Masih basah jejak sejarah perjuangan keadilan gender di Indonesia dalam memperjuangkan peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bergaung dalam perjuangan RUU PKS (kini telah di undangkan dalam UU UU Nomor 12 Tahun 2022, Tindak Pidana Kekerasan Seksual).
Stigma anti islam, pro kemaksiatan hingga pergaulan bebas disematkan kepada pro pejuang UU TPKS saat itu. Narasi agama yang di bawa oleh pihak yang kontra memerlukan pandangan keagamaan yang menguatkan perjuangan UU TPKS beserta argument teologis yang ramah perempuan.
Dan, di sinilah KUPI memberikan sumbangsihnya, memberi amunisi argument teologis melalui fatwa atau pandangan keagamaan yang ramah perempuan dari para ulama perempuan.
Tentu, perjuangan mewarnai negeri dengan nilai keadilan relasi laki-laki dan perempuan di berbagai sendi kehidupan masih harus terus ditabuh. Hari ini fakta persoalan ketimpangan gender masih tinggi, mulai dari perkosaan, kawin paksa, kekerasan seksual hingga persoalan diskriminasi dan marginalisasi.
Semesta menanti fatwa keagamaan para ulama perempuan, yang prespektif ma’ruf-nya membawa kemaslahatan tanpa mengerdilkan kearifan budaya lokal dengan metode mubadalahnya, mentafsir ulang teks keagamaan menjadi lebih bernurani dan tidak mengecilkan perempuan.
Fatwa keagamaan yang bervisi keadilan yang bisa dirasakan oleh laki-laki dan perempuan. Semesta melabuhkan harapan pada Gerakan KUPI, untuk Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan. Selamat berkongres KUPI II.
Mahasiswa Doktoral UIN Walisongo/Anggota KUPI II
Ulama perempuan telah berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Tetapi, dalam perjalananya diredupkan oleh bias sejarah yang hanya memotret peran dan kontribusi Kyai atau ulama laki-laki.
Kehadiran kongres ulama perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama digelar di Cirebon pada 2017 meneguhkan peran dan kontribusi para ulama perempuan, di antaranya dalam memberikan pandangan keagamaan atau fatwa yang lebih ramah perempuan.
Pandangan keagamaan atau fatwa sangat dipengaruhi oleh deskripsi, prespektif hingga metodologi dalam perumusan suatu fatwa. Keterpinggiran ulama perempuan selama ini berimplikasi pada pandangan keagamaan yang kurang ramah dan tidak sensitif pada persoalan dasar perempuan.
Dalam konteks fatwa sebagai bagian dari tafsir agama, sangat urgen bagaimana eksistensi agama mampu menjawab persoalan keumatan, termasuk persoalan relasi laki-laki dan perempuan. Meski wajah agama tidak bisa lepas dari ritual dan hal-hal sakral, agama bagi penganutnya selalu dirindukan sebagai solusi. Di sinilah signifikansi fatwa keagamaan, yang kemunculannya menjadi jawaban problematika umat.
Fatwa keagamaan yang lahir dari teks-teks keagamaan yang masih ditafsir secara bias dengan prespektif yang patriarkhi memberikan dampak besar bagi perempuan seperti kekerasan, KDRT, pelecehan seksual, hingga persoalan diskriminasi dan marginalisasi. Di sinilah signifikansi kehadiran KUPI, yang memberikan wajah baru fatwa keagamaan, yang lebih ramah perempuan.
Keulamaan Perempuan Indonesia
KUPI pertama lima tahun silam adalah Kongres pertama bertemunya ulama perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia hingga beberapa perwakilan dunia. Ulama perempuan dalam prespektif KUPI adalah ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki prespektif keadilan hakiki dan prespektif mubadalah dalam persoalan sosial.
Dalam perjalannya, KUPI menemukan jati dirinya menjadi gerakan yang menghimpun individu dan lembaga yang menyakini nilai-nilai keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan dengan pendekatan makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki berdasarkan nash-nash atau teks-teks keagamaan Islam yang rahmatan lil alamain.
KUPI menjadi ruang perjumpaan dan konsolidasi antarindividu dari beragam latar belakang pendidikan dan organisasi yang bersifat non-partisan, inklusif, partisipatoris, lintas organisasi, lintas generasi, lintas latar belakang sosial dan pendidikan.
KUPI dengan gerakannya telah menyatukan khidmah keulamaan perempuan dengan inisiatif-inisiatif komunitas dan lembaga yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Baik di kalangan pesantren, akademisi, majelis taklim, aktivis organisasi keislaman, praktisi pemberdayaan di akar rumput, bahkan para aktivis gender dan HAM.
KUPI II diselenggarakan di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah pada 23-26 November 2022, mengusung tema “Menegukan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan” menjadi momentum Gerakan keulamaan perempuan orgaik ini semakin mensinergikan gerakannya. Tidak kurang dari 20 negara dipastikan menghadiri perhelatan akbar ini.
Nilai Strategis Fatwa Ramah Perempuan
Fatwa atau Pandangan Keagamaan KUPI dirumuskan melalui prosedur yang ketat, yaitu pertama dengan melakukanTashowwuratau mendeskripsikan masalah. Kedua merumuskan masalah hukum daritashowwuratau deskripsi realitas sosial yang ada.
Ketiga disusunistidlalatau analisis struktur hukum yang menjadi dasar pendangan keagamaan dengan berpedoman pada tujuan ditetapkannyamaqashidu syariah. Keempat dirumuskandalalah-nya baik ayat al-Qur’an, hadist, fatwa ulama sebelumnya, hingga undang-undang. Pandangan keagamaan MUI juga memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait dengan isu yang dibahas.
Dalam semua tahapan, pandangan agama KUPI ini dirumuskan dengan menggunakan tiga prespektif dasar yang menjadi jembatan pada pandangan keagamaan yang ramah perempuan, yaitu perspektif ma’ruf, mubadalah dan keadilan hakiki. Ketiganya menjadi tolok ukur terpenuhinyamaqashidu syariahserta rasa keadilan relasi laki-laki dan perempuan.
Perjuangan ini bukan sepi dari telisik, tetapi telah nyata memberikan kontribusi yang dirasakan bagi sebagaian kalangan, termasuk para legislator dalam menetapkan kebijakan perundang-undangan.
Masih basah jejak sejarah perjuangan keadilan gender di Indonesia dalam memperjuangkan peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bergaung dalam perjuangan RUU PKS (kini telah di undangkan dalam UU UU Nomor 12 Tahun 2022, Tindak Pidana Kekerasan Seksual).
Stigma anti islam, pro kemaksiatan hingga pergaulan bebas disematkan kepada pro pejuang UU TPKS saat itu. Narasi agama yang di bawa oleh pihak yang kontra memerlukan pandangan keagamaan yang menguatkan perjuangan UU TPKS beserta argument teologis yang ramah perempuan.
Dan, di sinilah KUPI memberikan sumbangsihnya, memberi amunisi argument teologis melalui fatwa atau pandangan keagamaan yang ramah perempuan dari para ulama perempuan.
Tentu, perjuangan mewarnai negeri dengan nilai keadilan relasi laki-laki dan perempuan di berbagai sendi kehidupan masih harus terus ditabuh. Hari ini fakta persoalan ketimpangan gender masih tinggi, mulai dari perkosaan, kawin paksa, kekerasan seksual hingga persoalan diskriminasi dan marginalisasi.
Semesta menanti fatwa keagamaan para ulama perempuan, yang prespektif ma’ruf-nya membawa kemaslahatan tanpa mengerdilkan kearifan budaya lokal dengan metode mubadalahnya, mentafsir ulang teks keagamaan menjadi lebih bernurani dan tidak mengecilkan perempuan.
Fatwa keagamaan yang bervisi keadilan yang bisa dirasakan oleh laki-laki dan perempuan. Semesta melabuhkan harapan pada Gerakan KUPI, untuk Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan. Selamat berkongres KUPI II.
(ynt)