Awas Brand Muhammadiyah Tenggelam!
loading...
A
A
A
Sururi Alfaruq
Wartawan Senior
HARI gini siapa yang tak kenal Muhammadiyah ? Semuanya kenal dan pasti tahu dengan baik tentang Muhammadiyah. Muhammadiyah itu menurut bahasa marketing adalah brand yang sudah menjadi agama.
Ciri brand menjadi agama menurut para ahli marketing, brand tersebut memberi dampak yang besar bagi penggunanya. Ada kebanggaan memakai brand tersebut karena bisa mengangkat leveling seseorang dalam kehidupan sosial, sehingga ke mana-mana brand tersebut selalu menempel atau ditempelkan menjadi inheren dengan pribadi seseorang tersebut.
Seperti dalam masyarakat metro seksual, ketika memakai merek branded, apakah itu jam tangan bermerek Rolex, mobil merek Mercy, BMW, dan berbagai aksesori yang menempel di badan dari mulai merek Louis Vuitton, Gucci, Prada, Burberry, dan sejenisnya, bagi pemakainya bisa merasakan sendiri betapa brand-brand tersebut bisa menyulap penampilannya menjadi lebih gagah, berwibawa, terhormat, dan tentu dilihat sangat menarik.
Karena terhormatnya brand-brand tersebut, sampai-sampai masyarakat yang kelas sosialnya masih di bawah rela menggunakan imitasinya. Bagi mereka yang penting terlihat brand yang dipakai mereknya branded meskipun itu sesungguhnya barang tiruan. Begitulah realitas sosial dalam masyarakat kita bahwa brand itu saat ini sudah menjadi key factor dalam menentukan status sosial seseorang.
Begitu pun merek Muhammadiyah karena kelasnya branded, siapa pun yang berada dalam komunitas brand Muhammadiyah akan merasakan terhormat, gagah, dan tidak disadari tiba tiba naik kelas status sosialnya.
Namun jangan salah, bahwa merek yang masuk katagori branded akan terus bertahan sepanjang masa. Tidak juga. Liat saja brand Coca-Cola, yang tadinya sangat dominan di market dan menjadi simbol kebanggaan bagi siapa pun yang meminum soft drink tersebut, kini masyarakat tidak lagi menjadikannya sebagai pilihan utama.
Begitu pula merek-merek mobil yang sebelumnya sangat didominasi brand-brand Jepang, kini perilaku masyarakat mulai berani beralih ke brand non-Jepang. Bahkan vehicle utama yang menjadi fasilitas antarjemput para pemimpin dunia yang hadir di even G-20 di Bali, tidak lagi brand Jepang, tetapi brand Korea; Hyundai.
Hal yang sama kini juga dialami brand Starbuck Coffee, di mana masyarakat tidak lagi menjadikan kedainya sebagai tujuan utama para peminum kopi, karena masyarakat sudah mendapatkan banyak pilihan kedai-kedai kopi lain yang lebih menarik dalam berbagai perspektif. Masih banyak brand lagi yang sebelumnya masuk jajaran branded seperti merek Adidas, Seven Eleven (7-Eleven), Fuji Film kini meredup bahkan hilang di market.
Bagaimana brand Muhammadiyah? Tentu pertanyaan ini kembali kepada para kreator Muhammadiyah. Apakah para kreatornya bisa mempertahankan brand tersebut tetap berada di level atas seperti halnya beberapa merek lain (Louis Vuitton, Gucci, Prada, Mercy, BMW, Rolex) yang berhasil mendoktrin masyarakat harus menggunakan mereknya. Tentu Muhammadiyah perlu lebih terbuka dan jernih melihat perkembangan kemajuan yang terjadi Indonesia dan juga global.
Bisa dilihat sendiri saat ini, Muhammadiyah harus menghadapi persaingan brand. Sebut saja brand pendidikan, brand-brand pendidikan di luar merek Muhammadiyah kini tumbuh cepat dan tersebar di mana-mana, brand rumah sakit, brand-brand lain mulai mengepung di berbagai sudut, bahkan kini juga tumbuh brand mini rumah sakit seperti pasar retail yang menjamur di setiap lorong.
Brand pesantren kini mulai merambah luas brand-brand lain yang terus tumbuh seiring meningkatnya pertumbuhan kelas kiai dan ulama produk dari pendidikan luar negeri (Middle East). Bahkan ada beberapa brand yang kini belum dimiliki atau sudah dimiliki Muhammadiyah tapi masih tanggung. Sebut saja brand lembaga keuangan sekelas bank, media, minimarket sekelas Alfamart/Indomaret. Padahal, Muhammadiyah memiliki kemampuan besar untuk membangun brand-brand minimarket, media, dan lembaga keuangan.
Brand lain yang masih terabaikan adalah brand politik. Muhammadiyah sepertinya cenderung ragu membangun brand politik karena sebagian merasa brand politik memiliki banyak mudaratnya, ketimbang positifnya. Dalam konteks brand politik ini, Muhammadiyah seharusnya bisa lebih jernih dan bisa melihat jauh ke depan. Brand politik yang dibangun ini bukan dalam konteks kepartaian tetapi membangun brand politik yang santun untuk penguatan brand-brand Muhammadiyah agar tetap berada di level atas karena memiliki akses yang luas di setiap struktur birokrasi kekuasaan.
Yang harus menjadi pertimbangan adalah brand Muhammadiyah tidak sendirian, kini banyak brand lain yang telah mengepung market Muhammadiyah. Jika tidak terjaga, brand Muhammadiyah bisa dalam himpitan brand-brand lain yang terus membangun brand awareness dan rebranding yang sangat gencar untuk menjadi market leader di setiap kelasnya.
Melihat berbagai fenomena brand di luar Muhammadiyah yang sangat agresif, super kreatif, bersamaan dengan momentum Muktamar Muhammadiyah di Solo, persyarikatan ini perlu memilih CEO/nakhoda yang bisa adaptif dengan kemajuan global agar Muhammadiyah bisa menjadi brand yang tidak hanya dominan di market lokal tetapi dominan di level nasional dan juga market global.
Dari kacamata luar Muhammadiyah, melihat ada dua figur yang sudah menjadi brand untuk bisa di-promote menjadi CEO Muhammadiyah; DR Haedar Nashir dan Prof Dr Abdul Mu'ti M.Ed. Keduanya memiliki kemampuan yang sudah teruji. Namun, tergantung goal yang akan disasar Muhammadiyah ke depan seperti apa; ingin bertahan sebagai brand lokal dan membiarkan dikepung brand-brand lain yang terus tumbuh, atau Muhammadiyah didorong menjadi brand lokal yang dominan secara nasional dan berkembang menjadi brand global.
Tentu warga Muhammadiyah yang cerdas bisa membanding-bandingkan kedua kandidat CEO Muhammadiyah tersebut dari berbagai perspektif yang luas untuk dipilih menjadi CEO Muhammadiyah yang definitif. Selamat bermuktamar.
Wartawan Senior
HARI gini siapa yang tak kenal Muhammadiyah ? Semuanya kenal dan pasti tahu dengan baik tentang Muhammadiyah. Muhammadiyah itu menurut bahasa marketing adalah brand yang sudah menjadi agama.
Ciri brand menjadi agama menurut para ahli marketing, brand tersebut memberi dampak yang besar bagi penggunanya. Ada kebanggaan memakai brand tersebut karena bisa mengangkat leveling seseorang dalam kehidupan sosial, sehingga ke mana-mana brand tersebut selalu menempel atau ditempelkan menjadi inheren dengan pribadi seseorang tersebut.
Seperti dalam masyarakat metro seksual, ketika memakai merek branded, apakah itu jam tangan bermerek Rolex, mobil merek Mercy, BMW, dan berbagai aksesori yang menempel di badan dari mulai merek Louis Vuitton, Gucci, Prada, Burberry, dan sejenisnya, bagi pemakainya bisa merasakan sendiri betapa brand-brand tersebut bisa menyulap penampilannya menjadi lebih gagah, berwibawa, terhormat, dan tentu dilihat sangat menarik.
Karena terhormatnya brand-brand tersebut, sampai-sampai masyarakat yang kelas sosialnya masih di bawah rela menggunakan imitasinya. Bagi mereka yang penting terlihat brand yang dipakai mereknya branded meskipun itu sesungguhnya barang tiruan. Begitulah realitas sosial dalam masyarakat kita bahwa brand itu saat ini sudah menjadi key factor dalam menentukan status sosial seseorang.
Begitu pun merek Muhammadiyah karena kelasnya branded, siapa pun yang berada dalam komunitas brand Muhammadiyah akan merasakan terhormat, gagah, dan tidak disadari tiba tiba naik kelas status sosialnya.
Namun jangan salah, bahwa merek yang masuk katagori branded akan terus bertahan sepanjang masa. Tidak juga. Liat saja brand Coca-Cola, yang tadinya sangat dominan di market dan menjadi simbol kebanggaan bagi siapa pun yang meminum soft drink tersebut, kini masyarakat tidak lagi menjadikannya sebagai pilihan utama.
Begitu pula merek-merek mobil yang sebelumnya sangat didominasi brand-brand Jepang, kini perilaku masyarakat mulai berani beralih ke brand non-Jepang. Bahkan vehicle utama yang menjadi fasilitas antarjemput para pemimpin dunia yang hadir di even G-20 di Bali, tidak lagi brand Jepang, tetapi brand Korea; Hyundai.
Hal yang sama kini juga dialami brand Starbuck Coffee, di mana masyarakat tidak lagi menjadikan kedainya sebagai tujuan utama para peminum kopi, karena masyarakat sudah mendapatkan banyak pilihan kedai-kedai kopi lain yang lebih menarik dalam berbagai perspektif. Masih banyak brand lagi yang sebelumnya masuk jajaran branded seperti merek Adidas, Seven Eleven (7-Eleven), Fuji Film kini meredup bahkan hilang di market.
Bagaimana brand Muhammadiyah? Tentu pertanyaan ini kembali kepada para kreator Muhammadiyah. Apakah para kreatornya bisa mempertahankan brand tersebut tetap berada di level atas seperti halnya beberapa merek lain (Louis Vuitton, Gucci, Prada, Mercy, BMW, Rolex) yang berhasil mendoktrin masyarakat harus menggunakan mereknya. Tentu Muhammadiyah perlu lebih terbuka dan jernih melihat perkembangan kemajuan yang terjadi Indonesia dan juga global.
Bisa dilihat sendiri saat ini, Muhammadiyah harus menghadapi persaingan brand. Sebut saja brand pendidikan, brand-brand pendidikan di luar merek Muhammadiyah kini tumbuh cepat dan tersebar di mana-mana, brand rumah sakit, brand-brand lain mulai mengepung di berbagai sudut, bahkan kini juga tumbuh brand mini rumah sakit seperti pasar retail yang menjamur di setiap lorong.
Brand pesantren kini mulai merambah luas brand-brand lain yang terus tumbuh seiring meningkatnya pertumbuhan kelas kiai dan ulama produk dari pendidikan luar negeri (Middle East). Bahkan ada beberapa brand yang kini belum dimiliki atau sudah dimiliki Muhammadiyah tapi masih tanggung. Sebut saja brand lembaga keuangan sekelas bank, media, minimarket sekelas Alfamart/Indomaret. Padahal, Muhammadiyah memiliki kemampuan besar untuk membangun brand-brand minimarket, media, dan lembaga keuangan.
Brand lain yang masih terabaikan adalah brand politik. Muhammadiyah sepertinya cenderung ragu membangun brand politik karena sebagian merasa brand politik memiliki banyak mudaratnya, ketimbang positifnya. Dalam konteks brand politik ini, Muhammadiyah seharusnya bisa lebih jernih dan bisa melihat jauh ke depan. Brand politik yang dibangun ini bukan dalam konteks kepartaian tetapi membangun brand politik yang santun untuk penguatan brand-brand Muhammadiyah agar tetap berada di level atas karena memiliki akses yang luas di setiap struktur birokrasi kekuasaan.
Yang harus menjadi pertimbangan adalah brand Muhammadiyah tidak sendirian, kini banyak brand lain yang telah mengepung market Muhammadiyah. Jika tidak terjaga, brand Muhammadiyah bisa dalam himpitan brand-brand lain yang terus membangun brand awareness dan rebranding yang sangat gencar untuk menjadi market leader di setiap kelasnya.
Melihat berbagai fenomena brand di luar Muhammadiyah yang sangat agresif, super kreatif, bersamaan dengan momentum Muktamar Muhammadiyah di Solo, persyarikatan ini perlu memilih CEO/nakhoda yang bisa adaptif dengan kemajuan global agar Muhammadiyah bisa menjadi brand yang tidak hanya dominan di market lokal tetapi dominan di level nasional dan juga market global.
Dari kacamata luar Muhammadiyah, melihat ada dua figur yang sudah menjadi brand untuk bisa di-promote menjadi CEO Muhammadiyah; DR Haedar Nashir dan Prof Dr Abdul Mu'ti M.Ed. Keduanya memiliki kemampuan yang sudah teruji. Namun, tergantung goal yang akan disasar Muhammadiyah ke depan seperti apa; ingin bertahan sebagai brand lokal dan membiarkan dikepung brand-brand lain yang terus tumbuh, atau Muhammadiyah didorong menjadi brand lokal yang dominan secara nasional dan berkembang menjadi brand global.
Tentu warga Muhammadiyah yang cerdas bisa membanding-bandingkan kedua kandidat CEO Muhammadiyah tersebut dari berbagai perspektif yang luas untuk dipilih menjadi CEO Muhammadiyah yang definitif. Selamat bermuktamar.
(abd)