Perjuangan Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa hingga Wafat di Bumi Celebes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perjuangan Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa hingga wafat di Bumi Celebes diulas dalam artikel ini. Pangeran Diponegoro merupakan simbol perlawanan Indonesia dalam melawan penjajah Belanda di Tanah Jawa.
Pangeran Diponegoro dikenal karena memimpin Perang Jawa untuk mengusir para penjajah. Putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dan RA Mangkarawati lahir dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo memimpin Perang Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro ini mulai tahun 1825 hingga 1830.
Berdasarkan catatan sejarah, Perang Diponegoro merupakan perang yang paling banyak memakan korban jiwa dalam sejarah perjuangan Indonesia yakni 7.000 korban pribumi dan 8.000 korban Belanda. Tidak hanya itu, tercatat ada lebih dari 200 ribu orang mengalami kerugian materi.
Perang Diponegoro bermula ketika Pangeran tidak sepakat adanya campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan, hingga pada 1821 banyak petani yang menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh Belanda dan beberapa negara lain seperti Prancis, Jerman, hingga Inggris.
Saat itu, Godert van der Cappelen yang menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda mengeluarkan dekrit 6 Mei 1823 yang berbunyi tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya, namun sang pemilik wajib memberikan kompensasi kepada para penyewa lahan.
Keputusan tersebut tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro dan memutuskan untuk melakukan perlawanan agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Tidak sampai di situ, amarah Pangeran Diponegoro memuncak dipicu setelah Patih Danureja memasang tonggak untuk membuat rel kereta api di atas makam leluhurnya atas perintah Belanda.
Penyerangan Belanda di Tegalrejo menjadi tanda peperangan Diponegoro dimulai, hingga pada 1827 Belanda melakukan penyerangan kepada Pangeran Diponegoro dan membuat pasukannya terjepit. Kondisi tersebut membuat Kiai Mojo dan Pangeran Mangkubumi serta Panglimanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda pada 1829.
Melihat kondisi tersebut, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk menyerahkan diri ke pihak Belanda, dengan syarat sisa anggotanya dilepas oleh Belanda. Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dan mendapatkan pengasingan ke Manado.
Namun setelah itu, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. "Waktu beliau diasingkan di sini, itu tempatnya di Benteng Forr Rotterdam, beliau diasingkan bersama istri dan anak-anaknya," kata juru kunci makam Raden Hamzah Diponegoro, Minggu (13/11/2022).
Pangeran Diponegoro diasingkan di Kota Anging Mamiri bersama istri dan anak-anaknya, hingga akhirnya wafat pada 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Kota Makassar. "Setelah beliau mengembuskan napas barulah Belanda memberikan kawasan ini sebagai makam sekaligus juga tempat tinggal untuk istri dan anak-anak beliau," lanjutnya.
Pangeran Diponegoro dimakamkan di Kompleks Jawa, tepatnya di Jalan Diponegoro Nomor 55, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo Kota Makassar. "Belanda memberikan area pemakaman untuk beliau sekaligus juga tempat tinggal istri dan anak-anak beliau. dan akhirnya anak-anak beliau beranak pinak di sini," sambungnya.
Di kompleks pemakaman seluas 500 M persegi tersebut juga turut dimakamkan istri, anak-anak, laskar pengikut pangeran hingga anak cucu Pangeran Diponegoro. Raden Hamzah menyebutkan, kebanyakan para peziarah yang ada ke makam Pangeran Diponegoro dari Pulau Jawa, hal itu juga terlihat dari buku tamu yang disediakan untuk para tamu berkunjung ke kawasan pemakaman Pangeran Diponegoro.
"Karena pertama kultur budaya beda, kalau di sini biasa-biasa tidak terlalu fenomenal, beda kalau di Jawa. Di Jawa dijadikan slogan wisata religi, kalau di Jawa sangat memuliakan sesepuh, orang tua, kalau bahasa Pak Karno, bahasa nasionalismenya itu Jas Merah (Jangan sekali-sekali melupakan sejarah) tapi kalau bahasa Jawa ‘nguri-nguri leluhur’ artinya ingat-ingat sesepuh orang tua kita," jelas Raden Hamzah.
Pangeran Diponegoro dikenal karena memimpin Perang Jawa untuk mengusir para penjajah. Putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dan RA Mangkarawati lahir dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo memimpin Perang Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro ini mulai tahun 1825 hingga 1830.
Berdasarkan catatan sejarah, Perang Diponegoro merupakan perang yang paling banyak memakan korban jiwa dalam sejarah perjuangan Indonesia yakni 7.000 korban pribumi dan 8.000 korban Belanda. Tidak hanya itu, tercatat ada lebih dari 200 ribu orang mengalami kerugian materi.
Perang Diponegoro bermula ketika Pangeran tidak sepakat adanya campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan, hingga pada 1821 banyak petani yang menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh Belanda dan beberapa negara lain seperti Prancis, Jerman, hingga Inggris.
Saat itu, Godert van der Cappelen yang menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda mengeluarkan dekrit 6 Mei 1823 yang berbunyi tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya, namun sang pemilik wajib memberikan kompensasi kepada para penyewa lahan.
Keputusan tersebut tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro dan memutuskan untuk melakukan perlawanan agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Tidak sampai di situ, amarah Pangeran Diponegoro memuncak dipicu setelah Patih Danureja memasang tonggak untuk membuat rel kereta api di atas makam leluhurnya atas perintah Belanda.
Baca Juga
Penyerangan Belanda di Tegalrejo menjadi tanda peperangan Diponegoro dimulai, hingga pada 1827 Belanda melakukan penyerangan kepada Pangeran Diponegoro dan membuat pasukannya terjepit. Kondisi tersebut membuat Kiai Mojo dan Pangeran Mangkubumi serta Panglimanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda pada 1829.
Melihat kondisi tersebut, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk menyerahkan diri ke pihak Belanda, dengan syarat sisa anggotanya dilepas oleh Belanda. Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dan mendapatkan pengasingan ke Manado.
Namun setelah itu, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. "Waktu beliau diasingkan di sini, itu tempatnya di Benteng Forr Rotterdam, beliau diasingkan bersama istri dan anak-anaknya," kata juru kunci makam Raden Hamzah Diponegoro, Minggu (13/11/2022).
Pangeran Diponegoro diasingkan di Kota Anging Mamiri bersama istri dan anak-anaknya, hingga akhirnya wafat pada 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Kota Makassar. "Setelah beliau mengembuskan napas barulah Belanda memberikan kawasan ini sebagai makam sekaligus juga tempat tinggal untuk istri dan anak-anak beliau," lanjutnya.
Pangeran Diponegoro dimakamkan di Kompleks Jawa, tepatnya di Jalan Diponegoro Nomor 55, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo Kota Makassar. "Belanda memberikan area pemakaman untuk beliau sekaligus juga tempat tinggal istri dan anak-anak beliau. dan akhirnya anak-anak beliau beranak pinak di sini," sambungnya.
Di kompleks pemakaman seluas 500 M persegi tersebut juga turut dimakamkan istri, anak-anak, laskar pengikut pangeran hingga anak cucu Pangeran Diponegoro. Raden Hamzah menyebutkan, kebanyakan para peziarah yang ada ke makam Pangeran Diponegoro dari Pulau Jawa, hal itu juga terlihat dari buku tamu yang disediakan untuk para tamu berkunjung ke kawasan pemakaman Pangeran Diponegoro.
"Karena pertama kultur budaya beda, kalau di sini biasa-biasa tidak terlalu fenomenal, beda kalau di Jawa. Di Jawa dijadikan slogan wisata religi, kalau di Jawa sangat memuliakan sesepuh, orang tua, kalau bahasa Pak Karno, bahasa nasionalismenya itu Jas Merah (Jangan sekali-sekali melupakan sejarah) tapi kalau bahasa Jawa ‘nguri-nguri leluhur’ artinya ingat-ingat sesepuh orang tua kita," jelas Raden Hamzah.
(rca)