Urun Rembug untuk RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
loading...
A
A
A
Abdul Mongid
Senior Economist pada Segara Institut
Gurubesar UHW Perbanas Surabaya
Beberapa waktu lalu para ekonom khususnyafinancial economist diundang hadir pada suatu forum yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Di publik RUU ini lebih populer sebagai Omnibus Law Sektor Keuangan.
Pada acara yang diberi “merek” Konsultasi Publik itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa keuangan (OJK) bersatu dalam forum itu. Mungkin karena RUU ini inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sudah masuk sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas), maka Kemenkeu, BI dan OJK bersatu dalam satu kubu menghadapi DPR.
RUU P2SK sangat strategis karena akan memberi fondasi bagi operasionaliasi visi sistem keuangan 20 tahun ke depan. Pasalnya, perkembangan ekonomi global dipastikan mengubah struktur dan proses kerja ekonomi dan keuangan. Ini memerlukan landasan yang sifatnya antisipatif dan memberi ruang fleksible untuk merespons kebijakan yang cepat. RUU P2SK akan mengamandemen berbagai UU baik ketentuan yang mengatur otoritas maupun yang mengatur industri keuangan.
Ada dua tantangan yang harus mampu dijawab RUU P2SK.Pertama, perkembangan ekonomi dunia ke depan yang dicirikan dengan VUCA yaituVolatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguitydi mana lingkungan ekonomi berubah total dengan potensi risiko krisis kian besar. Kedua, dengan kian berkembang dan majunya industri jasa keuangan, maka otomatis risiko dan tantangan yang dihadapi semakin berat. Ini ditambah dengan terjadinya disrupsi di mana teknologi keuangan (fintech),shadow bankingdan internasionalisasi jasa keuangan bisa membuat kerawanan terjadinya krisis meningkat.
Para ahli menyatakan, akan ada perubahan besar di jagad keuangan dengan adanya praktik berbasis pasar dan dominasi lembaga keuangan non bank. Ini tentu perlu pengaturan ulang mengingat Indonesia adalah sistem keuangan berbasis bank. Diperlukan memerlukan model pengaturan yang baru khususnya melalui UU P2SK. Apalagi daya tahan sistem keuangan berbasis pasar ditentukan secara khusus oleh sistem itu sendiri bukan oleh individu lembaga keuangan.
Melihat tren saat ini, teknologi menggantikan banyak peran, seperti berkembangnya aset kripto dan terjadinya interkoneksi yang tinggi. Ini berarti risiko bisa muncul dari teknologi dan lembaga yang mengendalikan teknologi keuangan. Masalahnya, sejauh mana teknologi diterapkan di sektor keuangan dan bagaimana akan diatur, semuanya masih “gelap”.
Untuk itu, perkembangan ini perlu diwaspadai karena berimplikasi serius. Misalnya saja, proses transmisi menujugreeneconomyyang berpotensi menimbulkan problem besar bagi perusahaan yang sudah memberi kredit khususnya bank dan investor di sektor “black economy” seperti batubara.
Semangat Renovasi
Inisitif DPR untuk melakukan perubahan komprehensif pengaturan dan pengelolaan sistem keuangan nasional patut diapresiasi karena memang diperlukan mengingat perkembangan lingkungan dan sudah cukup lamanya UU terkait ini dibuat. Idealnya, apa yang diatur dalam RUU P2SK mampu mengantisipasi keadaan 30 tahun ke depan. Artinya RUU P2SK bukan sekedar memberi jawaban atas kondisi saat ini saja.
Memang tidak mudah memperkirakan apa yang akan terjadi di kemudian hari, sehingga kalaupun RUU ini hanya mampu mengimbangi kebutuhan atas perkembangan jangka 10 tahun ke depan, RUU ini sudah bagus dibandingkan tetap menggunakan aturan lama yang terlalu ketinggalan (obsolete).
Namun demikian catatan yang harus dipegang DPR dan pemerintah adalah tetap harus memperhatikan praktik-praktik baik yang selama ini telah berjalan. Artinya jangan mengubah “bangunan” legislasi yang baik dan berfungsi efektif dengan sesuatu yang baru yang dapat menimbulkan problem baru.
Yang patut diwaspadai adalah risiko perubahan independensi BI dan OJK karena RUU ini disusun DPR yang secara alamiah diisi politisi. Secara teori dialektika, ada konflik kepentingan antara bank sentral yang independen dengan politisi.
Perlu disadari kebijakan moneter yang dilakukan BI adalah salah satu dari dua pilar utama kebijakan ekonomi makro selain kebijakan fiskal. Kebijakan moneter harus bersaing dengan kepentingan politik-ekonomi dalam menghadapi inflasi. Artinya pemerintah (baca politisi) memiliki insentif untuk menyimpang dari komitmen ekonomi jangka panjang.
Politisi cederung secara naluriah mengikuti kepentingan untuk kemenangan dalam pemilu (siklus lima tahunan) dengan kebijakan populis yaitu anggaran yang ekspansif dengan dampak inflatoir. Tujuanya, memperluas output/pertumbuhan dan menurunkan pengangguran sebagai “keberhasilan”. Sebaliknya, tindakan ini tidak boleh dilakukan bank sentral karena inkonsistensi kebijakan moneter akan dipersepsi negatif. Maka, menempatkan bank sentral yang independen dan bebas dari tekanan politik atas pelaksanaan kebijakan moneter adalah “harga mati”.
Demikian juga dengan OJK. Lembaga ini harus independen baik itu dari pengaruh politis maupun independen dari kepentingan industri. Sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan, kredibilitas menjadi taruhan nomor satu. Kepentingan industri dan konsumen dalam jangka panjang harus dikedepankan agar fungsi intermediasi terjaga dan integritas industri keuangan dapat ditegakan.
OJK dalam melakukan pengaturan tidak boleh “didikte” oleh kepentingan politik jangka pendek seperti kebijakan relaksasi kredit untuk mendukung kepentingan atau program politik tertentu karena mendekati Pemilu. Pengaturan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Karena itu diharapkan agar Dewan Gubernur BI dan Dewan Komisioner OJK menyadari peran strategis dan menentukan dalam membawa perekonomian nasional ke arah yang tumbuh, dinamis dan bersih dari anasir “tidak bersih”. Ingat,public policyyang terbaik adalah melindungi kepentingan orang banyak khususnya rakyat kecil dan yang belum paham dengan berbagai “hengky-pengky”. Pemihakan kepada publik akan memberi manfaat jangka panjang dibandingkanpublic policyyang melindungi kepentingan segelintir pengusaha.
Kemudian, guna menjagaelement of the continuity,maka proses pemilihan Dewan Komisioner OJK juga harus diubah. Praktik selama ini ibarat “Tumpes Kelor” di mana seluruh komisioner diganti baru semua. Sekarang, staf internal OJK sudah cukup senior dengan keahlian dan pengalaman tinggi sehingga calon dari dalam OJK sudah tersedia. Usulanya adalah makanisme panitia seleksi (Pansel) yang selama ini dilakukan diganti seperti mekanisme dalam pemilihan Gubernur dan Deputi Gubernur BI.
Terkait usulan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dengan hak suara, rasanya berlebihan. Usulan ini menimbulkan rasa ketidakadilan karena menyamakan seolah LPS setara dengan BI dan OJK. Ini karena LPS dalam kaitan dengan menjaga stabilitas sistem keuangan adalah sebagai eksekutor. Artinya, memperlakukan LPS dengan regulator tidak tepat karena diliht dari peran dan fungsinya, LPS sebenarnya lebih sebagai pelaksana dari kebijakan KSSK.
Adapun KSSK, sangat diperlukan dan mereka harus diberi kewenangan koordinasi yang cukup untuk melakukan tindakan ketika potensi krisis akan terjadi. Namun, perlu menjadi catatan bahwa KSSK bukanlah otoritas. Otoritas moneter dan keuangan ada di lembaga terpisah dan independen dari pemerintah.
Implikasinya adalah ketika KSSK membuat keputusan “maha penting” dan berimplikasi pada keuangan negara, KSSK tidak boleh memutuskan sendiri namun harus diputuskan oleh Presiden.
RUU P2SK juga harus mengkaji ulang mandat LPS menangani klaim atas kerugian nasabah perusahaan asuransi. Penjaminan polis asuransi oleh LPS tidaklah tepat karena dana cadangan yang ada di LPS adalah premi dari nasabah perbankan. Karena itu kalau memang ada tujuan menjamin nasabah perusahaan asuransi sebaiknya ditetapkan perusahaan baru Lembaga Penjamainan Nasabah Asuransi (LPNA).
Lihat Juga: Tarif PPN Jadi 12 Persen, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan: Utamakan Prinsip Keadilan
Senior Economist pada Segara Institut
Gurubesar UHW Perbanas Surabaya
Beberapa waktu lalu para ekonom khususnyafinancial economist diundang hadir pada suatu forum yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Di publik RUU ini lebih populer sebagai Omnibus Law Sektor Keuangan.
Pada acara yang diberi “merek” Konsultasi Publik itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa keuangan (OJK) bersatu dalam forum itu. Mungkin karena RUU ini inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sudah masuk sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas), maka Kemenkeu, BI dan OJK bersatu dalam satu kubu menghadapi DPR.
RUU P2SK sangat strategis karena akan memberi fondasi bagi operasionaliasi visi sistem keuangan 20 tahun ke depan. Pasalnya, perkembangan ekonomi global dipastikan mengubah struktur dan proses kerja ekonomi dan keuangan. Ini memerlukan landasan yang sifatnya antisipatif dan memberi ruang fleksible untuk merespons kebijakan yang cepat. RUU P2SK akan mengamandemen berbagai UU baik ketentuan yang mengatur otoritas maupun yang mengatur industri keuangan.
Ada dua tantangan yang harus mampu dijawab RUU P2SK.Pertama, perkembangan ekonomi dunia ke depan yang dicirikan dengan VUCA yaituVolatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguitydi mana lingkungan ekonomi berubah total dengan potensi risiko krisis kian besar. Kedua, dengan kian berkembang dan majunya industri jasa keuangan, maka otomatis risiko dan tantangan yang dihadapi semakin berat. Ini ditambah dengan terjadinya disrupsi di mana teknologi keuangan (fintech),shadow bankingdan internasionalisasi jasa keuangan bisa membuat kerawanan terjadinya krisis meningkat.
Para ahli menyatakan, akan ada perubahan besar di jagad keuangan dengan adanya praktik berbasis pasar dan dominasi lembaga keuangan non bank. Ini tentu perlu pengaturan ulang mengingat Indonesia adalah sistem keuangan berbasis bank. Diperlukan memerlukan model pengaturan yang baru khususnya melalui UU P2SK. Apalagi daya tahan sistem keuangan berbasis pasar ditentukan secara khusus oleh sistem itu sendiri bukan oleh individu lembaga keuangan.
Melihat tren saat ini, teknologi menggantikan banyak peran, seperti berkembangnya aset kripto dan terjadinya interkoneksi yang tinggi. Ini berarti risiko bisa muncul dari teknologi dan lembaga yang mengendalikan teknologi keuangan. Masalahnya, sejauh mana teknologi diterapkan di sektor keuangan dan bagaimana akan diatur, semuanya masih “gelap”.
Untuk itu, perkembangan ini perlu diwaspadai karena berimplikasi serius. Misalnya saja, proses transmisi menujugreeneconomyyang berpotensi menimbulkan problem besar bagi perusahaan yang sudah memberi kredit khususnya bank dan investor di sektor “black economy” seperti batubara.
Semangat Renovasi
Inisitif DPR untuk melakukan perubahan komprehensif pengaturan dan pengelolaan sistem keuangan nasional patut diapresiasi karena memang diperlukan mengingat perkembangan lingkungan dan sudah cukup lamanya UU terkait ini dibuat. Idealnya, apa yang diatur dalam RUU P2SK mampu mengantisipasi keadaan 30 tahun ke depan. Artinya RUU P2SK bukan sekedar memberi jawaban atas kondisi saat ini saja.
Memang tidak mudah memperkirakan apa yang akan terjadi di kemudian hari, sehingga kalaupun RUU ini hanya mampu mengimbangi kebutuhan atas perkembangan jangka 10 tahun ke depan, RUU ini sudah bagus dibandingkan tetap menggunakan aturan lama yang terlalu ketinggalan (obsolete).
Namun demikian catatan yang harus dipegang DPR dan pemerintah adalah tetap harus memperhatikan praktik-praktik baik yang selama ini telah berjalan. Artinya jangan mengubah “bangunan” legislasi yang baik dan berfungsi efektif dengan sesuatu yang baru yang dapat menimbulkan problem baru.
Yang patut diwaspadai adalah risiko perubahan independensi BI dan OJK karena RUU ini disusun DPR yang secara alamiah diisi politisi. Secara teori dialektika, ada konflik kepentingan antara bank sentral yang independen dengan politisi.
Perlu disadari kebijakan moneter yang dilakukan BI adalah salah satu dari dua pilar utama kebijakan ekonomi makro selain kebijakan fiskal. Kebijakan moneter harus bersaing dengan kepentingan politik-ekonomi dalam menghadapi inflasi. Artinya pemerintah (baca politisi) memiliki insentif untuk menyimpang dari komitmen ekonomi jangka panjang.
Politisi cederung secara naluriah mengikuti kepentingan untuk kemenangan dalam pemilu (siklus lima tahunan) dengan kebijakan populis yaitu anggaran yang ekspansif dengan dampak inflatoir. Tujuanya, memperluas output/pertumbuhan dan menurunkan pengangguran sebagai “keberhasilan”. Sebaliknya, tindakan ini tidak boleh dilakukan bank sentral karena inkonsistensi kebijakan moneter akan dipersepsi negatif. Maka, menempatkan bank sentral yang independen dan bebas dari tekanan politik atas pelaksanaan kebijakan moneter adalah “harga mati”.
Demikian juga dengan OJK. Lembaga ini harus independen baik itu dari pengaruh politis maupun independen dari kepentingan industri. Sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan, kredibilitas menjadi taruhan nomor satu. Kepentingan industri dan konsumen dalam jangka panjang harus dikedepankan agar fungsi intermediasi terjaga dan integritas industri keuangan dapat ditegakan.
OJK dalam melakukan pengaturan tidak boleh “didikte” oleh kepentingan politik jangka pendek seperti kebijakan relaksasi kredit untuk mendukung kepentingan atau program politik tertentu karena mendekati Pemilu. Pengaturan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Karena itu diharapkan agar Dewan Gubernur BI dan Dewan Komisioner OJK menyadari peran strategis dan menentukan dalam membawa perekonomian nasional ke arah yang tumbuh, dinamis dan bersih dari anasir “tidak bersih”. Ingat,public policyyang terbaik adalah melindungi kepentingan orang banyak khususnya rakyat kecil dan yang belum paham dengan berbagai “hengky-pengky”. Pemihakan kepada publik akan memberi manfaat jangka panjang dibandingkanpublic policyyang melindungi kepentingan segelintir pengusaha.
Kemudian, guna menjagaelement of the continuity,maka proses pemilihan Dewan Komisioner OJK juga harus diubah. Praktik selama ini ibarat “Tumpes Kelor” di mana seluruh komisioner diganti baru semua. Sekarang, staf internal OJK sudah cukup senior dengan keahlian dan pengalaman tinggi sehingga calon dari dalam OJK sudah tersedia. Usulanya adalah makanisme panitia seleksi (Pansel) yang selama ini dilakukan diganti seperti mekanisme dalam pemilihan Gubernur dan Deputi Gubernur BI.
Terkait usulan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dengan hak suara, rasanya berlebihan. Usulan ini menimbulkan rasa ketidakadilan karena menyamakan seolah LPS setara dengan BI dan OJK. Ini karena LPS dalam kaitan dengan menjaga stabilitas sistem keuangan adalah sebagai eksekutor. Artinya, memperlakukan LPS dengan regulator tidak tepat karena diliht dari peran dan fungsinya, LPS sebenarnya lebih sebagai pelaksana dari kebijakan KSSK.
Adapun KSSK, sangat diperlukan dan mereka harus diberi kewenangan koordinasi yang cukup untuk melakukan tindakan ketika potensi krisis akan terjadi. Namun, perlu menjadi catatan bahwa KSSK bukanlah otoritas. Otoritas moneter dan keuangan ada di lembaga terpisah dan independen dari pemerintah.
Implikasinya adalah ketika KSSK membuat keputusan “maha penting” dan berimplikasi pada keuangan negara, KSSK tidak boleh memutuskan sendiri namun harus diputuskan oleh Presiden.
RUU P2SK juga harus mengkaji ulang mandat LPS menangani klaim atas kerugian nasabah perusahaan asuransi. Penjaminan polis asuransi oleh LPS tidaklah tepat karena dana cadangan yang ada di LPS adalah premi dari nasabah perbankan. Karena itu kalau memang ada tujuan menjamin nasabah perusahaan asuransi sebaiknya ditetapkan perusahaan baru Lembaga Penjamainan Nasabah Asuransi (LPNA).
Lihat Juga: Tarif PPN Jadi 12 Persen, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan: Utamakan Prinsip Keadilan
(ynt)