Pneumonia: Pembunuh Bayi dan Balita yang Terlupakan
loading...
A
A
A
Sebagian besar kematian pada pneumonia disebabkan oleh kondisi hipoksemia, yang sebenarnya dapat dicegah jika anak tidak terlambat diobati. Oleh karena itu pengenalan dini gejala pneumonia oleh orang tua dan tenaga kesehatan menjadi salah satu kunci penting untuk menghindarkan anak dari kematian akibat pneumonia. Gejala utama pneumonia, yaitu batuk dan napas cepat, merupakan gejala yang dapat dikenali oleh orang tua. Orang tua dapat diajari cara menghitung laju napas anak dalam satu menit, dan diberikan informasi tentang batasan napas cepat pada anak.
MenasIhati orang tua untuk segera membawa anaknya ke fasilitas kesehatan terdekat jika terdapat napas cepat atau tanda bahaya lainnya, juga merupakan hal penting untuk mencegah keterlambatan penanganan pneumonia. Upaya-upaya sederhana tersebut tertuang dalam manajemen terpadu balita sakit (MTBS) yang dibuat oleh WHO dan UNICEF dan telah diperkenalkan sejak tahun 1996.
Implementasi MTBS di Puskesmas di Indonesia telah diadakan sejak awal 2000. Pemeriksaan untuk semua bayi dan balita sakit yang berkunjung ke Puskesmas seharusnya dilakukan dengan pendekatan MTBS dan dokter/perawat mengisi form pemeriksaan MTBS untuk masing-masing bayi/balita tersebut.
Dengan pendekatan MTBS, bayi/balita yang datang berobat ke Puskesmas akan dievaluasi secara komprehensif terkait beberapa hal dan penyakit yang sering menyebabkan kesakitan dan kematian pada bayi dan balita. Misalnya ada seorang anak yang dibawa ke Puskesmas karena batuk, dengan pendekatan MTBS, dokter/perawat akan melakukan pemeriksaan lengkap dan menanyakan gejala dan tanda demam, diare, infeksi telinga, masalah gizi, kelengkapan imunisasi dan lain-lain.
Tata laksana bayi dan balita sakit dengan menggunakan pendekatan MTBS telah terbukti efektif untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan balita di dunia. Pada 2020 dilaporkan bahwa presentase kabupaten/kota di Indonesia yang 50% puskesmasnya melaksanakan pemeriksaan dan tata laksana pneumonia sesuai standar pneumonia mencapai 60,7%, telah melampaui target Renstra tahun 2020 yaitu sebesar 50%.
Jika kita hanya melihat angka yang dilaporkan, kita akan merasa bahwa program MTBS telah berjalan dengan baik. Pada tahun ini penulis mengikuti kunjungan lapangan ke beberapa kabupaten/kota untuk mengevaluasi program penanggulangan pneumonia di fasilitas pelayanan kesehatan dan di komunitas, dan menemukan bahwa walaupun laporan yang diberikan oleh Puskesmas bagus, tetapi pelaksanaan MTBS masih belum sesuai dengan yang seharusnya.
Pelatihan MTBS bagi petugas kesehatan di Puskesmas telah lama tidak dilakukan. Masih ada dokter dan perawat Puskesmas yang belum paham tentang MTBS, termasuk gejala pneumonia dan tata laksananya.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) di bidang kesehatan, yang salah satunya adalah mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada balita menjadi 25 per 1.000 kelahiran pada 2030. Jika kita bisa menurunkan angka kematian akibat pneumonia secara bermakna, hal ini akan berkontribusi besar untuk mencapai target SDGs tersebut.
Oleh karena itu, pneumonia pada anak perlu mendapat perhatian yang lebih serius dan menjadi salah satu prioritas. Walaupun telah rutin dilakukan, capaian program-program terkait “lindungi, cegah dan obati” pneumonia pada anak di Indonesia masih belum semuanya baik, dan kualitas pelaksanaan di lapangan perlu ditingkatkan.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan capaian, tetapi pneumonia masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada bayi dan anak. Pandemi Covid-19 telah memberikan pembelajaran yang sangat berarti dalam penanggulangan suatu penyakit. Upaya komprehensif, inovatif, masif dan melibatkan berbagai sektor sangat diperlukan untuk mengentaskan masalah pneumonia di Indonesia.
MenasIhati orang tua untuk segera membawa anaknya ke fasilitas kesehatan terdekat jika terdapat napas cepat atau tanda bahaya lainnya, juga merupakan hal penting untuk mencegah keterlambatan penanganan pneumonia. Upaya-upaya sederhana tersebut tertuang dalam manajemen terpadu balita sakit (MTBS) yang dibuat oleh WHO dan UNICEF dan telah diperkenalkan sejak tahun 1996.
Implementasi MTBS di Puskesmas di Indonesia telah diadakan sejak awal 2000. Pemeriksaan untuk semua bayi dan balita sakit yang berkunjung ke Puskesmas seharusnya dilakukan dengan pendekatan MTBS dan dokter/perawat mengisi form pemeriksaan MTBS untuk masing-masing bayi/balita tersebut.
Dengan pendekatan MTBS, bayi/balita yang datang berobat ke Puskesmas akan dievaluasi secara komprehensif terkait beberapa hal dan penyakit yang sering menyebabkan kesakitan dan kematian pada bayi dan balita. Misalnya ada seorang anak yang dibawa ke Puskesmas karena batuk, dengan pendekatan MTBS, dokter/perawat akan melakukan pemeriksaan lengkap dan menanyakan gejala dan tanda demam, diare, infeksi telinga, masalah gizi, kelengkapan imunisasi dan lain-lain.
Tata laksana bayi dan balita sakit dengan menggunakan pendekatan MTBS telah terbukti efektif untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan balita di dunia. Pada 2020 dilaporkan bahwa presentase kabupaten/kota di Indonesia yang 50% puskesmasnya melaksanakan pemeriksaan dan tata laksana pneumonia sesuai standar pneumonia mencapai 60,7%, telah melampaui target Renstra tahun 2020 yaitu sebesar 50%.
Jika kita hanya melihat angka yang dilaporkan, kita akan merasa bahwa program MTBS telah berjalan dengan baik. Pada tahun ini penulis mengikuti kunjungan lapangan ke beberapa kabupaten/kota untuk mengevaluasi program penanggulangan pneumonia di fasilitas pelayanan kesehatan dan di komunitas, dan menemukan bahwa walaupun laporan yang diberikan oleh Puskesmas bagus, tetapi pelaksanaan MTBS masih belum sesuai dengan yang seharusnya.
Pelatihan MTBS bagi petugas kesehatan di Puskesmas telah lama tidak dilakukan. Masih ada dokter dan perawat Puskesmas yang belum paham tentang MTBS, termasuk gejala pneumonia dan tata laksananya.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) di bidang kesehatan, yang salah satunya adalah mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada balita menjadi 25 per 1.000 kelahiran pada 2030. Jika kita bisa menurunkan angka kematian akibat pneumonia secara bermakna, hal ini akan berkontribusi besar untuk mencapai target SDGs tersebut.
Oleh karena itu, pneumonia pada anak perlu mendapat perhatian yang lebih serius dan menjadi salah satu prioritas. Walaupun telah rutin dilakukan, capaian program-program terkait “lindungi, cegah dan obati” pneumonia pada anak di Indonesia masih belum semuanya baik, dan kualitas pelaksanaan di lapangan perlu ditingkatkan.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan capaian, tetapi pneumonia masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada bayi dan anak. Pandemi Covid-19 telah memberikan pembelajaran yang sangat berarti dalam penanggulangan suatu penyakit. Upaya komprehensif, inovatif, masif dan melibatkan berbagai sektor sangat diperlukan untuk mengentaskan masalah pneumonia di Indonesia.