Deretan Jenderal TNI yang Menjadi Pahlawan Nasional
loading...
A
A
A
Jenderal Basuki Rahmat lahir di Tuban, 4 November 1923. Ia merupakan seorang tokoh militer, politikus, dan pahlawan nasional. Basuki Rahmat adalah jenderal yang menjadi saksi penandatanganan Supersemar.
Karier militernya dimulai saat ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) pada 1943 dan diangkat menjadi komandan kompi. Pada Oktober 1945, ia ditugaskan dalam TKR di Kota Ngawi yang bertugas di Kodam VII/Brawijaya.
Pada 1956, Basuki bertugas sebagai Atase Militer di Australia. Kemudian pada 1959, sekembalinya dari Australia, Basuki menjabat sebagai Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat. Tiga tahun kemudian, Basuki menjabat sebagai Panglima Komando Militer VIII/Brawijaya dengan pangkat mayor jenderal.
Pada 1964-1966, Basuki menjadi Menteri Veteran Letnan Dalam Negeri Kabinet Dwikora III. Pada 11 Maret 1966, Basuki mendatangi rapat kabinet di Istana Kepresidenan. Dari hasil pertemuan tersebut, keluar Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang memberi kuasa kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi yang sedang genting. Basuki merupakan salah satu tokoh kunci peristiwa Supersemar, bersama Jenderal Amirmachmud serta Jenderal M. Jusuf.
Beberapa jabatan pernah diemban Jenderal Basuki Rahmat, seperti Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri Kabinet Pembangunan I. Pada 8 Januari 1969, Jenderal Basuki Rahmat meninggal dunia akibat serangan jantung. Atas jasanya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada 9 Januari 1969.
5. DI Panjaitan
Foto/ist
Jenderal Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, Sumatera Utara, Juni 1925. Ia adalah salah satu jenderal yang ikut tewas dalam G30S/PKI. Pada masa pendudukan Jepang, Panjaitan masuk pendidikan militer Gyugun. Setelah itu, ia ditugaskan di Pekanbaru hingga Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, ia bersama pemuda lainnya membentuk TKR.
Pada 1948, Panjaitan menjabat Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi. Selain itu, sejumlah jabatan pernah diembannya, seperti Kepala Staf Umum IV Komandan Tentara Sumatera, Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di Medan, Kepala Staf Tentara dan Teritorium II Sriwijaya, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Pada peristiwa G30S/PKI, DI Panjaitan tewas ditembak. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia bersama jenderal dan perwira TNI yang menjadi korban G30S/PKI dianugerahi gelar pahlawan revolusi pada 1965, yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Karier militernya dimulai saat ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) pada 1943 dan diangkat menjadi komandan kompi. Pada Oktober 1945, ia ditugaskan dalam TKR di Kota Ngawi yang bertugas di Kodam VII/Brawijaya.
Pada 1956, Basuki bertugas sebagai Atase Militer di Australia. Kemudian pada 1959, sekembalinya dari Australia, Basuki menjabat sebagai Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat. Tiga tahun kemudian, Basuki menjabat sebagai Panglima Komando Militer VIII/Brawijaya dengan pangkat mayor jenderal.
Pada 1964-1966, Basuki menjadi Menteri Veteran Letnan Dalam Negeri Kabinet Dwikora III. Pada 11 Maret 1966, Basuki mendatangi rapat kabinet di Istana Kepresidenan. Dari hasil pertemuan tersebut, keluar Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang memberi kuasa kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi yang sedang genting. Basuki merupakan salah satu tokoh kunci peristiwa Supersemar, bersama Jenderal Amirmachmud serta Jenderal M. Jusuf.
Beberapa jabatan pernah diemban Jenderal Basuki Rahmat, seperti Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri Kabinet Pembangunan I. Pada 8 Januari 1969, Jenderal Basuki Rahmat meninggal dunia akibat serangan jantung. Atas jasanya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada 9 Januari 1969.
5. DI Panjaitan
Foto/ist
Jenderal Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, Sumatera Utara, Juni 1925. Ia adalah salah satu jenderal yang ikut tewas dalam G30S/PKI. Pada masa pendudukan Jepang, Panjaitan masuk pendidikan militer Gyugun. Setelah itu, ia ditugaskan di Pekanbaru hingga Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, ia bersama pemuda lainnya membentuk TKR.
Pada 1948, Panjaitan menjabat Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi. Selain itu, sejumlah jabatan pernah diembannya, seperti Kepala Staf Umum IV Komandan Tentara Sumatera, Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di Medan, Kepala Staf Tentara dan Teritorium II Sriwijaya, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Pada peristiwa G30S/PKI, DI Panjaitan tewas ditembak. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia bersama jenderal dan perwira TNI yang menjadi korban G30S/PKI dianugerahi gelar pahlawan revolusi pada 1965, yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.