Deretan Jenderal TNI yang Menjadi Pahlawan Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyandang gelar pahlawan nasional . Gelar diberikan bukan saja atas jasa mereka mengorbankan jiwa raga untuk merebut tetapi juga untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut deretan jenderal TNI yang menjadi pahlawan nasional.
1. Soedirman
Foto/ist
Jenderal Soedirman merupakan salah satu pahlawan nasional yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman dikenal sebagai panglima besar pertama Tentara Indonesia, dalam usia yang terbilang muda, yaitu 31 tahun.
Soedirman lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916. Ia memulai karier militernya dengan menjadi tentara Pembela Tanah Air (Peta) setelah menyelesaikan pendidikannya. Ia pun langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Kemudian Soedirman menjadi Panglima Divisi V/Banyumas setelah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk.
Pada 2 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima TKR. Ia mendapat pangkat jenderal melalui pelantikan presiden pada 18 Desember 1945.
Soedirman terkenal dengan perang gerilya pada Agresi Militer II yang dilakukan Belanda di Yogyakarta. Saat itu, Soekarno, Hatta dan beberapa anggota kabinet ditawan penjajah. Sebagai pemimpin militer, Soedirman bertanggung jawab untuk memimpin pasukan guna melakukan perang gerilya.
Selama kurang lebih tujuh bulan, Soedirman harus berpindah-pindah tempat meski dalam kondisi sakit dan lemah. Pasukannya pun tetap memberi semangat ke Soedirman. Namun akhirnya, ia harus pulang dari medan gerilya. Pada 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
2. AH Nasution
Foto/ist
Jenderal Abdul Haris Nasution berasal dari keluarga petani. Dia lahir di Tapanuli Selatan, 3 Desember 1918.
Karier militernya dimulai pada 1940 saat Belanda membuka sekolah perwira cadangan untuk pemuda Indonesia. Nasution pun mendaftar lalu menjadi pembantu letnan di Surabaya.
Pada 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi III Siliwangi. Dua tahun kemudian, ia menjabat sebagai Wakil Panglima Besar TNI dan Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pada 1949, Nasution dipercaya menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Nasution menuangkan gagasan perang gerilya dalam buku berjudul “Statregy of Guerrilla Warfare.”
Nasution pernah menjadi target penculikan pada peristiwa G30S/PKI 1965. Beruntung dia lolos namun Kapten Anumerta Pierre Tendean, ajudannya, dan sang putri Ade Irma Nasution justru yang menjadi korban kekejaman G30S/PKI.
Pada 5 Oktober 1997, Nasution dianugerahi Presiden Soeharto gelar Jenderal Besar yang ditandai dengan bintang lima di pundak. Pada 6 September 2000, Jenderal Abdul Haris Nasution meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
3. TB Simatupang
Foto/ist
Jenderal Tahi Bonar Simatupang atau yang dikenal TB Simatupang mengawali karier militer saat masuk KMA (Koninklijke Militaire Academie) Bandung pada 1940. Setelah kemerdekaan Indonesia, Simatupang bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan ikut bergerilya bersama Jenderal Soedirman.
Semasa Perang Kemerdekaan, Simatupang diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang pada 1948-1949. Setelah Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 1950, Simatupang diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang Indonesia (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal.
Pada 1954, Simatupang diangkat menjadi Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Ia pernah berseteru dengan Presiden Soekarno. Pada 1959, Simatupang pensiun secara dini.
Setelah pensiun, ia aktif dalam kegiatan gereja serta menulis buku, Simatupang meninggal dunia Pada 1990 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberinya gelar pahlawan nasional pada 2013.
4. Basuki Rahmat
Foto/ist
Jenderal Basuki Rahmat lahir di Tuban, 4 November 1923. Ia merupakan seorang tokoh militer, politikus, dan pahlawan nasional. Basuki Rahmat adalah jenderal yang menjadi saksi penandatanganan Supersemar.
Karier militernya dimulai saat ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) pada 1943 dan diangkat menjadi komandan kompi. Pada Oktober 1945, ia ditugaskan dalam TKR di Kota Ngawi yang bertugas di Kodam VII/Brawijaya.
Pada 1956, Basuki bertugas sebagai Atase Militer di Australia. Kemudian pada 1959, sekembalinya dari Australia, Basuki menjabat sebagai Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat. Tiga tahun kemudian, Basuki menjabat sebagai Panglima Komando Militer VIII/Brawijaya dengan pangkat mayor jenderal.
Pada 1964-1966, Basuki menjadi Menteri Veteran Letnan Dalam Negeri Kabinet Dwikora III. Pada 11 Maret 1966, Basuki mendatangi rapat kabinet di Istana Kepresidenan. Dari hasil pertemuan tersebut, keluar Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang memberi kuasa kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi yang sedang genting. Basuki merupakan salah satu tokoh kunci peristiwa Supersemar, bersama Jenderal Amirmachmud serta Jenderal M. Jusuf.
Beberapa jabatan pernah diemban Jenderal Basuki Rahmat, seperti Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri Kabinet Pembangunan I. Pada 8 Januari 1969, Jenderal Basuki Rahmat meninggal dunia akibat serangan jantung. Atas jasanya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada 9 Januari 1969.
5. DI Panjaitan
Foto/ist
Jenderal Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, Sumatera Utara, Juni 1925. Ia adalah salah satu jenderal yang ikut tewas dalam G30S/PKI. Pada masa pendudukan Jepang, Panjaitan masuk pendidikan militer Gyugun. Setelah itu, ia ditugaskan di Pekanbaru hingga Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, ia bersama pemuda lainnya membentuk TKR.
Pada 1948, Panjaitan menjabat Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi. Selain itu, sejumlah jabatan pernah diembannya, seperti Kepala Staf Umum IV Komandan Tentara Sumatera, Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di Medan, Kepala Staf Tentara dan Teritorium II Sriwijaya, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Pada peristiwa G30S/PKI, DI Panjaitan tewas ditembak. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia bersama jenderal dan perwira TNI yang menjadi korban G30S/PKI dianugerahi gelar pahlawan revolusi pada 1965, yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
1. Soedirman
Foto/ist
Jenderal Soedirman merupakan salah satu pahlawan nasional yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman dikenal sebagai panglima besar pertama Tentara Indonesia, dalam usia yang terbilang muda, yaitu 31 tahun.
Soedirman lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916. Ia memulai karier militernya dengan menjadi tentara Pembela Tanah Air (Peta) setelah menyelesaikan pendidikannya. Ia pun langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Kemudian Soedirman menjadi Panglima Divisi V/Banyumas setelah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk.
Pada 2 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima TKR. Ia mendapat pangkat jenderal melalui pelantikan presiden pada 18 Desember 1945.
Soedirman terkenal dengan perang gerilya pada Agresi Militer II yang dilakukan Belanda di Yogyakarta. Saat itu, Soekarno, Hatta dan beberapa anggota kabinet ditawan penjajah. Sebagai pemimpin militer, Soedirman bertanggung jawab untuk memimpin pasukan guna melakukan perang gerilya.
Selama kurang lebih tujuh bulan, Soedirman harus berpindah-pindah tempat meski dalam kondisi sakit dan lemah. Pasukannya pun tetap memberi semangat ke Soedirman. Namun akhirnya, ia harus pulang dari medan gerilya. Pada 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
2. AH Nasution
Foto/ist
Jenderal Abdul Haris Nasution berasal dari keluarga petani. Dia lahir di Tapanuli Selatan, 3 Desember 1918.
Karier militernya dimulai pada 1940 saat Belanda membuka sekolah perwira cadangan untuk pemuda Indonesia. Nasution pun mendaftar lalu menjadi pembantu letnan di Surabaya.
Pada 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi III Siliwangi. Dua tahun kemudian, ia menjabat sebagai Wakil Panglima Besar TNI dan Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pada 1949, Nasution dipercaya menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Nasution menuangkan gagasan perang gerilya dalam buku berjudul “Statregy of Guerrilla Warfare.”
Nasution pernah menjadi target penculikan pada peristiwa G30S/PKI 1965. Beruntung dia lolos namun Kapten Anumerta Pierre Tendean, ajudannya, dan sang putri Ade Irma Nasution justru yang menjadi korban kekejaman G30S/PKI.
Pada 5 Oktober 1997, Nasution dianugerahi Presiden Soeharto gelar Jenderal Besar yang ditandai dengan bintang lima di pundak. Pada 6 September 2000, Jenderal Abdul Haris Nasution meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
3. TB Simatupang
Foto/ist
Jenderal Tahi Bonar Simatupang atau yang dikenal TB Simatupang mengawali karier militer saat masuk KMA (Koninklijke Militaire Academie) Bandung pada 1940. Setelah kemerdekaan Indonesia, Simatupang bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan ikut bergerilya bersama Jenderal Soedirman.
Semasa Perang Kemerdekaan, Simatupang diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang pada 1948-1949. Setelah Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 1950, Simatupang diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang Indonesia (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal.
Pada 1954, Simatupang diangkat menjadi Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Ia pernah berseteru dengan Presiden Soekarno. Pada 1959, Simatupang pensiun secara dini.
Setelah pensiun, ia aktif dalam kegiatan gereja serta menulis buku, Simatupang meninggal dunia Pada 1990 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberinya gelar pahlawan nasional pada 2013.
4. Basuki Rahmat
Foto/ist
Jenderal Basuki Rahmat lahir di Tuban, 4 November 1923. Ia merupakan seorang tokoh militer, politikus, dan pahlawan nasional. Basuki Rahmat adalah jenderal yang menjadi saksi penandatanganan Supersemar.
Karier militernya dimulai saat ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) pada 1943 dan diangkat menjadi komandan kompi. Pada Oktober 1945, ia ditugaskan dalam TKR di Kota Ngawi yang bertugas di Kodam VII/Brawijaya.
Pada 1956, Basuki bertugas sebagai Atase Militer di Australia. Kemudian pada 1959, sekembalinya dari Australia, Basuki menjabat sebagai Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat. Tiga tahun kemudian, Basuki menjabat sebagai Panglima Komando Militer VIII/Brawijaya dengan pangkat mayor jenderal.
Pada 1964-1966, Basuki menjadi Menteri Veteran Letnan Dalam Negeri Kabinet Dwikora III. Pada 11 Maret 1966, Basuki mendatangi rapat kabinet di Istana Kepresidenan. Dari hasil pertemuan tersebut, keluar Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang memberi kuasa kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi yang sedang genting. Basuki merupakan salah satu tokoh kunci peristiwa Supersemar, bersama Jenderal Amirmachmud serta Jenderal M. Jusuf.
Beberapa jabatan pernah diemban Jenderal Basuki Rahmat, seperti Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri Kabinet Pembangunan I. Pada 8 Januari 1969, Jenderal Basuki Rahmat meninggal dunia akibat serangan jantung. Atas jasanya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada 9 Januari 1969.
5. DI Panjaitan
Foto/ist
Jenderal Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, Sumatera Utara, Juni 1925. Ia adalah salah satu jenderal yang ikut tewas dalam G30S/PKI. Pada masa pendudukan Jepang, Panjaitan masuk pendidikan militer Gyugun. Setelah itu, ia ditugaskan di Pekanbaru hingga Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, ia bersama pemuda lainnya membentuk TKR.
Pada 1948, Panjaitan menjabat Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi. Selain itu, sejumlah jabatan pernah diembannya, seperti Kepala Staf Umum IV Komandan Tentara Sumatera, Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di Medan, Kepala Staf Tentara dan Teritorium II Sriwijaya, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Pada peristiwa G30S/PKI, DI Panjaitan tewas ditembak. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia bersama jenderal dan perwira TNI yang menjadi korban G30S/PKI dianugerahi gelar pahlawan revolusi pada 1965, yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
(muh)