Profil dr Raden Rubini Natawisastra: Dokter Aktivis Penerima Gelar Pahlawan Nasional
loading...
A
A
A
Menolak Dipindah
Pada tahun 1940-an, pemerintah kolonial Belanda evakuasi para pejabatnya ke Jawa menyusul mulai berkobarnya Perang Dunia II ke wiayah Asia Pasifik. Jepang yang sedang di atas angin segera masuk Hindia Belanda (Indonesia).
Tokoh-tokoh pejabat pribumi seperti Rubini pun ikut dievakuasi. Namun dia menolak. Rubini tetap memberikaan pelayanan kesehatan di wilayahh Kalimantan Barat kendati kedaan makin sulit. Tenaga kesehatan berkurang drastis setelah banyak dokter Belanda dievakuasi dari Kalimantan.
Dalam kondisi terdesak, Pemerintah Kolonial Belanda malah mengangkat Rubini menjadi perwira kesehatan cadangan berpangkat letnan dua. Tugasnya mengurusi rumah sakit militer yang ditinggalkan dokter-dokter Belanda. Bersama dokter-dokter pribumi lainnya yang menolak dievakuasi, Rubini merawat para pasien korban pemboman Jepang.
Sekitar bulan Februari 1942, Jepang akhirnya masuk Indonesia lalu membubarkan seluruh organisasi dan kegiatan politik, termasuk Parindra. Meski begitu, Rubini tetap melakukan kegiatan politik secara sembunyi-sembunyi.
Dia dan para aktivis mendirikan organisasi Nissinkwai yang awalnya mendukung Jepang. Namun setelah mengetahui perlaku Jepang terhadap rakyat, terutama kaum perempuan, dia bertekad melakukan perlawanan politik secara terbuka. Jepang menganggap pergerakan aktivis di Nissinkwai sebagai ancaman dan organisasi itu pun dibubarkan.
Para aktivis Nissinkwai lalu bergabung di Pemuda Muhammadiyah agar melanjutkan diskusi-diskusi politik lewat selubung kegiatan keagamaan. Dengan begitu, bara perjuangan Rubini dan rekan-rekannya tidak padam..
Awal tahun 1943, Rubini menerima informasi akan ada gerakan melawan Jepang di Banjarmasin. Dua aktivis yang membawa kabar, dr Susilo dan Makaliwey meminta Pontianak turut serta dalam gerakan tersebut. Rubini pun mulai mengadakan konsolidasi aktivis dan sejumlah tokoh kesultanan untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang yang rencananya pada Desember 1943.
Namun gerakan Rubini tercium intelijen Jepang. Rubini yang dianggap sebagai pemimpin gerakan itu dilaporkan membentuk pasukan bersenjata yang bernama "Soeka Rela". Kontan, rencana gerakan di Banjarmasin dan Pontianak gagal total.
Pada tahun 1940-an, pemerintah kolonial Belanda evakuasi para pejabatnya ke Jawa menyusul mulai berkobarnya Perang Dunia II ke wiayah Asia Pasifik. Jepang yang sedang di atas angin segera masuk Hindia Belanda (Indonesia).
Tokoh-tokoh pejabat pribumi seperti Rubini pun ikut dievakuasi. Namun dia menolak. Rubini tetap memberikaan pelayanan kesehatan di wilayahh Kalimantan Barat kendati kedaan makin sulit. Tenaga kesehatan berkurang drastis setelah banyak dokter Belanda dievakuasi dari Kalimantan.
Dalam kondisi terdesak, Pemerintah Kolonial Belanda malah mengangkat Rubini menjadi perwira kesehatan cadangan berpangkat letnan dua. Tugasnya mengurusi rumah sakit militer yang ditinggalkan dokter-dokter Belanda. Bersama dokter-dokter pribumi lainnya yang menolak dievakuasi, Rubini merawat para pasien korban pemboman Jepang.
Sekitar bulan Februari 1942, Jepang akhirnya masuk Indonesia lalu membubarkan seluruh organisasi dan kegiatan politik, termasuk Parindra. Meski begitu, Rubini tetap melakukan kegiatan politik secara sembunyi-sembunyi.
Dia dan para aktivis mendirikan organisasi Nissinkwai yang awalnya mendukung Jepang. Namun setelah mengetahui perlaku Jepang terhadap rakyat, terutama kaum perempuan, dia bertekad melakukan perlawanan politik secara terbuka. Jepang menganggap pergerakan aktivis di Nissinkwai sebagai ancaman dan organisasi itu pun dibubarkan.
Para aktivis Nissinkwai lalu bergabung di Pemuda Muhammadiyah agar melanjutkan diskusi-diskusi politik lewat selubung kegiatan keagamaan. Dengan begitu, bara perjuangan Rubini dan rekan-rekannya tidak padam..
Awal tahun 1943, Rubini menerima informasi akan ada gerakan melawan Jepang di Banjarmasin. Dua aktivis yang membawa kabar, dr Susilo dan Makaliwey meminta Pontianak turut serta dalam gerakan tersebut. Rubini pun mulai mengadakan konsolidasi aktivis dan sejumlah tokoh kesultanan untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang yang rencananya pada Desember 1943.
Namun gerakan Rubini tercium intelijen Jepang. Rubini yang dianggap sebagai pemimpin gerakan itu dilaporkan membentuk pasukan bersenjata yang bernama "Soeka Rela". Kontan, rencana gerakan di Banjarmasin dan Pontianak gagal total.