Menindaklanjuti Kasus Gagal Ginjal Akut

Senin, 31 Oktober 2022 - 17:51 WIB
loading...
Menindaklanjuti Kasus Gagal Ginjal Akut
Kasus gagal ginjal pada anak harus terus dikawal agar tidak terulang di masa mendatang. FOTO/WAWAN BASTIAN
A A A
Menyedihkan. Hanya inilah kalimat paling tepat untuk menggambarkan kasus gagal ginjal akut yang menimpa banyak balita di Tanah Air. Betapa tidak, kasus tersebut sudah mengorbankan lebih dari 150 orang anak. Jumlah itu merupakan 57,6% dari kasus yang ditemukan. Dengan demikianfatality rate-nya terbilang sangat tinggi. Anak yang mengalami gagal ginjal akut di Tanah Air melebihi Gambia yang juga tertimpa kasus sama, yakni 70 kasus.

Musibah yang terdeteksi di 26 provinsi itu tentu sangat mengagetkan. Anak yang awalnya sehat, tetiba mengalami kerusakan organ yang berakibat fatal. Kasus yang awalnya sempat misterius tersebut akhirnya terungkap. Pemicunya, ada kandungan zat kimia berupa etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil ether (EGBE). Ketiganya merupakan cemaran dari zat pelarut dalam proses pembuatan obat.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun telah menemukan sejumlah obat yang tercemar zat kimia berbahaya tersebut. Obat dimaksud adalah Termorex Sirup, obat demam yang diproduksi PT Konimex; Flurin DMP Sirup, obat batuk dan flu produksi PT Yarindo Farmatama. Tiga lainnya hasil produksi Universal Pharmaceutical Industries, yakniUnibebi Cough Sirup, obat batuk dan flu; Unibebi Demam Sirup, obat demam; Unibebi Demam Drops, obat demam.

Temuan adanya lima obat yang menjadi pemicu gagal ginjal pada anak tentu harus dtindaklanjuti dengan penarikanobat di pasaran secara cepat dan masif. Jangan sampai ada sisa obat yang tercecer di pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, praktik mandiri tenaga kesehatan, dan tempat-tempat obat lainnya.

Sementara ini masyarakat sudah bisa sedikit lega. Selain biang penyebab kasus sudah ditemukan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah menemukan obat yang efektif dan relevan untuk menyembuhkan penyakit gagal ginjal akut progresif atipikal (acute kidney injury/AKI), yakni antidotum berupa Fompizole. Obat tersebut didatangkan dari Singapura, Jepang, Amerika Serikat dan Australia.

Kendati sudah ada harapan masalah terselesaikan, perhatian terhadap kasus ini hendaknya tidak serta merta berhenti. Hal yang harus dibongkar sekarang, mengapa perusahaan farmasi bisa begitu teledor menggunakan senyawa berbahaya dan dengan kadar melampaui ambangbatas aman hingga berdampak sangat fatal? Bukan hanya itu, siapa pun yang terkait munculnya kasus tersebut harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito telah melaporkan secara pidana dua perusahaan farmasi yang mengedarkan produk obat sirop tercemar senyawa EG dan DEG. Parahnya, kadar senyawa tersebutsangat tinggi hingga menjadi sangat toksik dan mengakibatkan gagal ginjal akut. BPOM pun sudah berkoordinasi dengan kepolisian dan telah melakukan penyidikan untuk perkara pidananya. BPOM tidak menyebut dua perusahaan dimaksud, tapi publik sudah mafhum ada perusahaan farmasi yang merilis obat yang kini telah dilarang tersebut.

Dugaan sementara, dua perusahaan farmasi itu menggunakan senyawa EG dan DEG yang sangat berbahaya akibat kelangkaan bahan zat pelarut atau polietilen glikol yang dinilai aman digunakan. Namun, BPOM menggariskan, setiap industri farmasi harus melaporkan perubahan bahan baku pembuatan obat. Pasalnya, perubahan spesifikasi bahan baku obat harus memenuhi persyaratan dan menjalani mendapatkancertificate of analysis(COA). COA merupakan dokumen yang menyatakan suatu produk telah diuji di laboratorium.

Di sisi lain, BPOM harus mengevaluasi sistem pengawasan obat-obatan, dari bahan baku yang digunakan hingga obat yang beredar di pasaran. Fakta yang terjadi pada kasus gagal ginjal akut pada anak mengindikasikan adanya titik lemah pengawasan sehingga pihak perusahaan farmasi berani merilis obat yang belum mendapatkan sertifikasi COA. Bisa jadi kelemahan inilah yang dimanfaatkan perusahaaan yang tidak tertib aturan.

Bukan hanya terkait kasus gagal ginjal akut, peningkatan kapasitas pengawasan juga harus dilakukan lebih intensif hingga BPOM bisa merespons lebih dini peredaran obat-obatan, makanan, hingga kosmetik yang berbahaya. Terutama, di jajanan yang banyak beredar di sekolah-sekolah. Sejauh ini BPOM hanya terlihat proaktif saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Hanya dengan progresivitas BPOM, di kemudian hari tidak muncul lagi ledakan kasus seperti gagal ginjal akut pada anak.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2008 seconds (0.1#10.140)