Mengenal Xinjiang dan Permasalahan yang Tersisa di China
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno
Ph.D Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang
Wasekjen VI Bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo
Daerah Otonomi Uygur Xinjiang (XUAR) terletak di barat laut China , dan berbatasan dengan delapan negara yaitu Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Sama seperti Indonesia, China adalah negara multietnis atau suku, dan semua kelompok etnis di Xinjiang adalah bangsa dan warga negara China.
Dalam proses pembentukan negara China, sejarah Xinjiang tidak terlepas dari sejarah China. Namun, kelompok separatis dengan sengaja menyangkal bahwa Xinjiang adalah wilayah yang tak terpisahkan dari China, menyangkal fakta bahwa Xinjiang adalah sebuah wilayah di China yang terdiri dari multietnis, multibudaya, dan multiagama sejak zaman sebelum adanya Republik. Kelompok separatis selalu menggaungkan bahwa Xinjiang adalah "Turkestan Timur" dan mempropagandakan "kemerdekaan" Xinjiang.
Sejarah China menjelaskan bahwa awal adanya bangsa China berasal dari dinasti Xia, Shang, dan Zhou yang lahir di China bagian tengah. Kelompok etnis yang secara bertahap bergabung dengan dinasti-dinasti tersebut secara umum sering disebut sebagai Zhuxia atau Huaxia. Sampai saat ini pun, para cendikiawan masih ada yang menyebut China sebagai Huaxia. Dari zaman sebelum Samkok atau tiga negara, wilayah atau negara Qi, Chu, Yan, Han, Zhao, Wei, dan Qin telah menyebut diri mereka sebagai Huaxia. Pada 221 SM, Kaisar Qin Shihuang mendirikan dinasti feodal pertama yang bersatu dan berdaulat di China. Pada tahun 202 SM, nenek moyang Dinasti Han, Liu Bang, mendirikan Dinasti Han.
Dari Dinasti Han hingga akhir Dinasti Qing, Xinjiang, termasuk utara dan selatan Pegunungan Tianshan di Xinjiang, disebut sebagai Wilayah Barat. Sejak Dinasti Han, Xinjiang resmi menjadi bagian dari wilayah China. Dalam sejarah berdirinya Republik China pada tahun 1911, suku-suku di Xinjiang dan suku-suku lainnya turut berjuang bersama mendirikan Republik China yang sekarang masih memerintah di Taipei.
Republik Rakyat China, nama resmi negara China, berdiri pada tahun 1949 dan yang berhak mewakili China saat ini di dunia internasional, dan Daerah Otonomi Uigur Xinjiang dibentuk pada tahun 1955. Dalam proses sejarah China, wilayah China telah mengalami periode separatism, pemberontakan maupun persatuan secara bergantian. Seperti gerakan separatis atau pemberontakan untuk memisahkan diri dari dinasti dan mendirikan Republik.
Sejarah China sangat kompleks, dimana wilayah China pernah menjadi jajahan maupun pernah disewakan kepada bangsa barat. Jadi dalam sejarah China, tidak hanya terjadi konflik internal antara Xinjiang dan pemerintah pusat, kita tahu jelas konflik yang belum berakhir adalah perang saudara antara pemerintah Nasionalis yang berbasis di Taipei dan pemerintah Komunis yang berbasis di Beijing.
Masih dalam konflik internal, sepanjang tahun 2019, kita dikejutkan dengan demonstrasi di Hong Kong yang konon menuntut kebebasan demokrasi dan hak menentukan nasib sendiri seperti yang dijanjikan oleh para pemimpin Komunis sebelum Hong Kong kembali ke China. Kembali ke masalah Xinjiang, apa yang sebenarnya terjadi di Xinjiang? Konflik antar suku yang berbeda? Atau penindasan terhadap etnis minoritas dan agama minoritas?
Dalam memahami konflik yang terjadi di Xinjiang, seharusnya para pengamat tidak hanya mengamati dari kacamata media barat, tetapi harus seimbang. Artinya juga harus membaca dari sumber yang berbahasa China, terutama media lokal baik dari kelompok pro pemerintah maupun media sosial milik gerakan pro kemerdekaan. Akademisi maupun pengamat harusnya memilih referensi yang memiliki bukti ilmiah dan sumber yang dapat dipercaya, bukan artikel atau kabar burung yang tendensius dengan propaganda politik. Kalau media tidak bisa netral, seharusnya pembaca harus memiliki sikap kritis dan netral dalam memahami situasi di Xinjiang.
Kasus di Xinjiang murni bukan kasus penindasan terhadap agama minoritas, mengingat agama Islam dan pemeluk agama Islam bukan hanya tersebar di wilayah Xinjiang, tetapi juga di wilayah lainnya di China. Kita harus mengakui, agama selalu dijadikan isu untuk mendiskriminasi atau katakanlah etnis Uighur yang sebagian besar beragama Islam selalu merasa terdiskriminasi karena mereka beragama Islam. Namun, etnis Hui yang notabene beragama Islam tidak merasa menjadi sasaran diskriminasi dalam hal budaya maupun agama dengan etnis mayoritas di China, yaitu etnis Han.
Isu Xinjiang yang dikatakan adalah tindakan menekan minoritas dan agama minoritas mulai bertambah sensitif ketika media barat mulai menuduh bahwa kasus di Xinjiang adalah penindasan terhadap Hak Asasi Manusia oleh pemerintah China terhadap etnis minoritas Uighur dan umat Islam. Tentu saja, tidak sepenuhnya benar tuduhan dari media barat karena mengingat Amerika serikat yang mewakili barat sudah mulai kwatir akan posisinya sebagai super power di dunia digantikan oleh China. Mereka khawatir akan kebangkitan China dan mulai mencuatkan isu tentang berbagai pelanggaran terutama pelanggaran yang menyangkut Hak hidup dan Hak-hak Minoritas di Xinjiang. Selain itu juga, Amerika juga turut ikut campur tangan dalam demonstrasi di Hongkong maupun masalah antara Taiwan dan China yang selalu terkait dengan satu kata, yaitu penindasan.
Media Barat lebih tertarik untuk memberitakan sisi negarif China daripada pembangunan dan kemajuan ekonomi di China. Para wartawan ini sebenarnya tidak melihat dan mengamati sendiri situasi sebenarnya di Xinjiang dan dengan asal-asalan memberitakan situasi China terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan demonstrasi dan hak asasi manusia, media juga telah mengabaikan sebab-musabab dan kenyataan yang menyebabkan sebuah kerusuhan di China. Ada pemberitaan yang mengatakan bahwa bahwa Pusat Pendidikan Keahlian atau yang sering disebut sebagai re-education center di Xinjiang bagaikan penjara.
Sebenarnya tujuan didirikannya pusat pendidikan ini adalah untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat miskin dan kurang mampu serta warga yang pernah terlibat aksi terorisme namun belum dikategorikan berat, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bekerja dan memulai hidup baru agar mereka bisa lepas dari radikalisme. Situasi aktual atau fakta yang bertolak belakang dengan pemberitaan miring media barat tentang Xinjiang terbukti melalui beberapa wawancara dan liputan yang dilakukan oleh beberapa media di Indonesia, dan beberapa pernyataan yang dibuat oleh tokoh-tokoh Indonesia yang datang langsung dan menyaksikan bagaimana kondisi di Xinjiang dan keadaan negara tersebut terutama di Pusat Pelatihan di Xinjiang.
Bagi kebanyakan orang, terutama non bangsa atau warga negara China yang tidak memahami budaya maupun sejarah China akan mengatakan bahwa Islam dan etnis minoritas itu seperti agama dan etnis asing di China dengan sentuhan oriental yang eksotis. Tetapi bagi yang mehami sejarah dan budaya China akan merasakan bahwa sebenarnya komposisi etnis dan agama di China sama dengan di Indonesia yang multietnis dan agama juga.
Sama seperti di China, Indonesia saat ini juga menghadapi masalah yang berkaitan dengan agama. Mau tidak mau, kita harus mengakui, bahwa intoleransi masih ada baik di Indonesia maupun China, tetapi dari Budaya dan Sejarah China maupun Indonesia, itu tidak akan dikaitkan dengan pelanggaran atau penindasan Hak Asasi Manusia, karena negara tidak mungkin melakukan diskriminasi terhadap bangsa dan warganya sendiri. Selain itu juga, China dan Indonesia sudah mulai menghadapi krisis identitas, terutama di kalangan generasi muda. Sehingga dengan gampang kita menemukan masalah seperti di Hongkong maupun di Papua yang ingin melepaskan diri dari China dan Indonesia.
Penelitian tentang Xinjiang memang rumit dan menantang. Akademisi Barat yang diwakili oleh Amerika dan akademi dari China saling berhadapan untuk mempresentasikan dan berargumentasi tentang realitas di Xinjiang, termasuk akademis dari negara mayoritas Muslim, Indonesia. Berbagai faktor ditengarai menjadi penyebab munculnya konflik antara suku Uighur di Xinjiang dengan pemerintah pusat di Beijing, yaitu disparitas ekonomi. Beberapa akademisi bahkan mengatakan bahwa terjadi penganiayaan di Xinjiang karena perbedaan etnis di Xinjiang dengan penguasa yang berasal dari etnis Han. Akan tetapi apabila kita mau mempelajari sejarah Xinjiang dengan serius dan tidak hanya melihat film dokumenter yang sengaja dibuat karena kepentingan politik. Dalam hal ini, kita akan menemukan fakta bahwa ada hubungan historis antara etnis Uighur, Mongol, dan etnis lain di China jauh sebelum China menjadi negara republik.
Sejarah kerja sama antara etnis Uighur di Xinjiang dan kelompok etnis lain di China sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Xinjiang juga mengambil bagian dalam revolusi untuk mengubah kekaisaran di China menjadi sebuah Republik; Tentu saja, sebagai bagian dari sejarah dan sebagai satu bagian yang ikut mempersatukan China, Xinjiang adalah wilayah China yang tidak dapat diganggu gugat. Kesulitan yang dihadapi Partai Komunis China atau pemerintah pusat China saat ini adalah menghadapi berbagai pemberontakan yang mengarah pada separatisme.
Selain isu Xinjiang, ada kasus penolakan undang-undang ekstradisi ke China di Hongkong juga menjadi sorotan, dan kasus lama, yaitu unifikasi dengan Taiwan terus fluktuatif. Tentu saja, ada banyak kepentingan di balik ini; Amerika Serikat, sebagai negara adidaya saat ini, mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi China yang pesat dan menjadikan isu-isu yang terjadi di wilayah China dengan pelanggaran HAM. Amerika lupa bahwa konteks HAM Amerika adalah konsep HAM Barat yang tidak bisa diterapkan di negara berbudaya Konfusianisme.
Di satu sisi, China juga harus menyadari bahwa pusat pendidikan keahlian atau re-education center sangat tidak cocok untuk era ini. Globalisasi telah membuat manusia memiliki hak untuk hidup lebih damai sesuai dengan keyakinan hidupnya. Negara tidak dapat mengatur lagi semuanya yang berkaitan dengan hak memilih dari manusia.
Di sisi lain, para demonstran pada umumnya, khususnya di Xinjiang, perlu menyadari bahwa masalah individu atau konflik individu antar etnis yang berbeda seringkali dimanipulasi dan berubah menjadi gerakan untuk mengganggu kehidupan masyarakat Xinjiang dan menghancurkan tatanan kehidupan bernegara secara umum.
Pada akhirnya, pemerintah China perlu mengoreksi diri juga, mengakui bahwa pusat re-edukasi tidak lagi cocok untuk semua wilayah China seperti di era revolusi. Selain itu masyarakat Xinjiang juga perlu menyadari bahwa upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup etnis minoritas terus menjadi perhatian yang signifikan dan tidak akan berhenti karena masalah di Xinjiang. Karena walau bagaimanapun juga minoritas yang tinggal di dalamnya adalah bagian dari China.
Ph.D Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang
Wasekjen VI Bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo
Daerah Otonomi Uygur Xinjiang (XUAR) terletak di barat laut China , dan berbatasan dengan delapan negara yaitu Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Sama seperti Indonesia, China adalah negara multietnis atau suku, dan semua kelompok etnis di Xinjiang adalah bangsa dan warga negara China.
Dalam proses pembentukan negara China, sejarah Xinjiang tidak terlepas dari sejarah China. Namun, kelompok separatis dengan sengaja menyangkal bahwa Xinjiang adalah wilayah yang tak terpisahkan dari China, menyangkal fakta bahwa Xinjiang adalah sebuah wilayah di China yang terdiri dari multietnis, multibudaya, dan multiagama sejak zaman sebelum adanya Republik. Kelompok separatis selalu menggaungkan bahwa Xinjiang adalah "Turkestan Timur" dan mempropagandakan "kemerdekaan" Xinjiang.
Sejarah China menjelaskan bahwa awal adanya bangsa China berasal dari dinasti Xia, Shang, dan Zhou yang lahir di China bagian tengah. Kelompok etnis yang secara bertahap bergabung dengan dinasti-dinasti tersebut secara umum sering disebut sebagai Zhuxia atau Huaxia. Sampai saat ini pun, para cendikiawan masih ada yang menyebut China sebagai Huaxia. Dari zaman sebelum Samkok atau tiga negara, wilayah atau negara Qi, Chu, Yan, Han, Zhao, Wei, dan Qin telah menyebut diri mereka sebagai Huaxia. Pada 221 SM, Kaisar Qin Shihuang mendirikan dinasti feodal pertama yang bersatu dan berdaulat di China. Pada tahun 202 SM, nenek moyang Dinasti Han, Liu Bang, mendirikan Dinasti Han.
Dari Dinasti Han hingga akhir Dinasti Qing, Xinjiang, termasuk utara dan selatan Pegunungan Tianshan di Xinjiang, disebut sebagai Wilayah Barat. Sejak Dinasti Han, Xinjiang resmi menjadi bagian dari wilayah China. Dalam sejarah berdirinya Republik China pada tahun 1911, suku-suku di Xinjiang dan suku-suku lainnya turut berjuang bersama mendirikan Republik China yang sekarang masih memerintah di Taipei.
Republik Rakyat China, nama resmi negara China, berdiri pada tahun 1949 dan yang berhak mewakili China saat ini di dunia internasional, dan Daerah Otonomi Uigur Xinjiang dibentuk pada tahun 1955. Dalam proses sejarah China, wilayah China telah mengalami periode separatism, pemberontakan maupun persatuan secara bergantian. Seperti gerakan separatis atau pemberontakan untuk memisahkan diri dari dinasti dan mendirikan Republik.
Sejarah China sangat kompleks, dimana wilayah China pernah menjadi jajahan maupun pernah disewakan kepada bangsa barat. Jadi dalam sejarah China, tidak hanya terjadi konflik internal antara Xinjiang dan pemerintah pusat, kita tahu jelas konflik yang belum berakhir adalah perang saudara antara pemerintah Nasionalis yang berbasis di Taipei dan pemerintah Komunis yang berbasis di Beijing.
Masih dalam konflik internal, sepanjang tahun 2019, kita dikejutkan dengan demonstrasi di Hong Kong yang konon menuntut kebebasan demokrasi dan hak menentukan nasib sendiri seperti yang dijanjikan oleh para pemimpin Komunis sebelum Hong Kong kembali ke China. Kembali ke masalah Xinjiang, apa yang sebenarnya terjadi di Xinjiang? Konflik antar suku yang berbeda? Atau penindasan terhadap etnis minoritas dan agama minoritas?
Dalam memahami konflik yang terjadi di Xinjiang, seharusnya para pengamat tidak hanya mengamati dari kacamata media barat, tetapi harus seimbang. Artinya juga harus membaca dari sumber yang berbahasa China, terutama media lokal baik dari kelompok pro pemerintah maupun media sosial milik gerakan pro kemerdekaan. Akademisi maupun pengamat harusnya memilih referensi yang memiliki bukti ilmiah dan sumber yang dapat dipercaya, bukan artikel atau kabar burung yang tendensius dengan propaganda politik. Kalau media tidak bisa netral, seharusnya pembaca harus memiliki sikap kritis dan netral dalam memahami situasi di Xinjiang.
Kasus di Xinjiang murni bukan kasus penindasan terhadap agama minoritas, mengingat agama Islam dan pemeluk agama Islam bukan hanya tersebar di wilayah Xinjiang, tetapi juga di wilayah lainnya di China. Kita harus mengakui, agama selalu dijadikan isu untuk mendiskriminasi atau katakanlah etnis Uighur yang sebagian besar beragama Islam selalu merasa terdiskriminasi karena mereka beragama Islam. Namun, etnis Hui yang notabene beragama Islam tidak merasa menjadi sasaran diskriminasi dalam hal budaya maupun agama dengan etnis mayoritas di China, yaitu etnis Han.
Isu Xinjiang yang dikatakan adalah tindakan menekan minoritas dan agama minoritas mulai bertambah sensitif ketika media barat mulai menuduh bahwa kasus di Xinjiang adalah penindasan terhadap Hak Asasi Manusia oleh pemerintah China terhadap etnis minoritas Uighur dan umat Islam. Tentu saja, tidak sepenuhnya benar tuduhan dari media barat karena mengingat Amerika serikat yang mewakili barat sudah mulai kwatir akan posisinya sebagai super power di dunia digantikan oleh China. Mereka khawatir akan kebangkitan China dan mulai mencuatkan isu tentang berbagai pelanggaran terutama pelanggaran yang menyangkut Hak hidup dan Hak-hak Minoritas di Xinjiang. Selain itu juga, Amerika juga turut ikut campur tangan dalam demonstrasi di Hongkong maupun masalah antara Taiwan dan China yang selalu terkait dengan satu kata, yaitu penindasan.
Media Barat lebih tertarik untuk memberitakan sisi negarif China daripada pembangunan dan kemajuan ekonomi di China. Para wartawan ini sebenarnya tidak melihat dan mengamati sendiri situasi sebenarnya di Xinjiang dan dengan asal-asalan memberitakan situasi China terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan demonstrasi dan hak asasi manusia, media juga telah mengabaikan sebab-musabab dan kenyataan yang menyebabkan sebuah kerusuhan di China. Ada pemberitaan yang mengatakan bahwa bahwa Pusat Pendidikan Keahlian atau yang sering disebut sebagai re-education center di Xinjiang bagaikan penjara.
Sebenarnya tujuan didirikannya pusat pendidikan ini adalah untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat miskin dan kurang mampu serta warga yang pernah terlibat aksi terorisme namun belum dikategorikan berat, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bekerja dan memulai hidup baru agar mereka bisa lepas dari radikalisme. Situasi aktual atau fakta yang bertolak belakang dengan pemberitaan miring media barat tentang Xinjiang terbukti melalui beberapa wawancara dan liputan yang dilakukan oleh beberapa media di Indonesia, dan beberapa pernyataan yang dibuat oleh tokoh-tokoh Indonesia yang datang langsung dan menyaksikan bagaimana kondisi di Xinjiang dan keadaan negara tersebut terutama di Pusat Pelatihan di Xinjiang.
Bagi kebanyakan orang, terutama non bangsa atau warga negara China yang tidak memahami budaya maupun sejarah China akan mengatakan bahwa Islam dan etnis minoritas itu seperti agama dan etnis asing di China dengan sentuhan oriental yang eksotis. Tetapi bagi yang mehami sejarah dan budaya China akan merasakan bahwa sebenarnya komposisi etnis dan agama di China sama dengan di Indonesia yang multietnis dan agama juga.
Sama seperti di China, Indonesia saat ini juga menghadapi masalah yang berkaitan dengan agama. Mau tidak mau, kita harus mengakui, bahwa intoleransi masih ada baik di Indonesia maupun China, tetapi dari Budaya dan Sejarah China maupun Indonesia, itu tidak akan dikaitkan dengan pelanggaran atau penindasan Hak Asasi Manusia, karena negara tidak mungkin melakukan diskriminasi terhadap bangsa dan warganya sendiri. Selain itu juga, China dan Indonesia sudah mulai menghadapi krisis identitas, terutama di kalangan generasi muda. Sehingga dengan gampang kita menemukan masalah seperti di Hongkong maupun di Papua yang ingin melepaskan diri dari China dan Indonesia.
Penelitian tentang Xinjiang memang rumit dan menantang. Akademisi Barat yang diwakili oleh Amerika dan akademi dari China saling berhadapan untuk mempresentasikan dan berargumentasi tentang realitas di Xinjiang, termasuk akademis dari negara mayoritas Muslim, Indonesia. Berbagai faktor ditengarai menjadi penyebab munculnya konflik antara suku Uighur di Xinjiang dengan pemerintah pusat di Beijing, yaitu disparitas ekonomi. Beberapa akademisi bahkan mengatakan bahwa terjadi penganiayaan di Xinjiang karena perbedaan etnis di Xinjiang dengan penguasa yang berasal dari etnis Han. Akan tetapi apabila kita mau mempelajari sejarah Xinjiang dengan serius dan tidak hanya melihat film dokumenter yang sengaja dibuat karena kepentingan politik. Dalam hal ini, kita akan menemukan fakta bahwa ada hubungan historis antara etnis Uighur, Mongol, dan etnis lain di China jauh sebelum China menjadi negara republik.
Sejarah kerja sama antara etnis Uighur di Xinjiang dan kelompok etnis lain di China sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Xinjiang juga mengambil bagian dalam revolusi untuk mengubah kekaisaran di China menjadi sebuah Republik; Tentu saja, sebagai bagian dari sejarah dan sebagai satu bagian yang ikut mempersatukan China, Xinjiang adalah wilayah China yang tidak dapat diganggu gugat. Kesulitan yang dihadapi Partai Komunis China atau pemerintah pusat China saat ini adalah menghadapi berbagai pemberontakan yang mengarah pada separatisme.
Selain isu Xinjiang, ada kasus penolakan undang-undang ekstradisi ke China di Hongkong juga menjadi sorotan, dan kasus lama, yaitu unifikasi dengan Taiwan terus fluktuatif. Tentu saja, ada banyak kepentingan di balik ini; Amerika Serikat, sebagai negara adidaya saat ini, mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi China yang pesat dan menjadikan isu-isu yang terjadi di wilayah China dengan pelanggaran HAM. Amerika lupa bahwa konteks HAM Amerika adalah konsep HAM Barat yang tidak bisa diterapkan di negara berbudaya Konfusianisme.
Di satu sisi, China juga harus menyadari bahwa pusat pendidikan keahlian atau re-education center sangat tidak cocok untuk era ini. Globalisasi telah membuat manusia memiliki hak untuk hidup lebih damai sesuai dengan keyakinan hidupnya. Negara tidak dapat mengatur lagi semuanya yang berkaitan dengan hak memilih dari manusia.
Di sisi lain, para demonstran pada umumnya, khususnya di Xinjiang, perlu menyadari bahwa masalah individu atau konflik individu antar etnis yang berbeda seringkali dimanipulasi dan berubah menjadi gerakan untuk mengganggu kehidupan masyarakat Xinjiang dan menghancurkan tatanan kehidupan bernegara secara umum.
Pada akhirnya, pemerintah China perlu mengoreksi diri juga, mengakui bahwa pusat re-edukasi tidak lagi cocok untuk semua wilayah China seperti di era revolusi. Selain itu masyarakat Xinjiang juga perlu menyadari bahwa upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup etnis minoritas terus menjadi perhatian yang signifikan dan tidak akan berhenti karena masalah di Xinjiang. Karena walau bagaimanapun juga minoritas yang tinggal di dalamnya adalah bagian dari China.
(zik)