Guru Besar UIII: Peraturan Menag 73/2022 Lebih Inklusif, tapi....
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Profesor Nina Nurmila menyambut positif diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di Kementerian Agama.
Menurut Nina, PMA Nomor 73 Tahun 2022 lebih tinggi derajatnya dari SK Dirjen Pendis tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Kekerasan Seksual di PTKI yang dikeluarkan pada Oktober 2019 lalu. PMA tersebut dinilai lebih terbuka bagi setiap lembaga pendidikan agama di Indonesia.
"Saya senang sekali pada tahun 2022 ini, dari Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan baru yang lebih tinggi dari SK Dirjen Pendis. Ini (PMA) lebih inklusif meliputi semua agama," kata Nina saat menjadi pembicara di webinar Partai Perindo bertajuk 'Kriteria Kekerasan Seksual Versi Kementerian Agama Mempertegas Atau Membingungkan?' pada Jumat (28/10/2022).
Namun, ia menyoroti Pasal 5d dalam PMA Nomor 73 Tahun 2022 yakni 'menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman masuk kategori kekerasan seksual'. Menurutnya, pasal tersebut perlu dijabarkan lebih jelas agar tidak terjadi pertanyaan besar di masyarakat.
"Kata-kata di dalam peraturan itu (seharusnya) tidak seperti itu. Masa sih menatap korban dengan nuansa seksual saja masuk kategori kekerasan seksual. Saya usul perlu perbaikan supaya kata-katanya itu lebih jelas," katanya.
Dirinya mengaku mendukung penuh langkah Kemenag dalam mengatasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Karenanya, PMA perlu diimplementasikan dan dijadikan sebagai cantolan di Satuan Pendidikan dengan menyusun SOP dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang lebih adaktif dan kontekstual sesuai dengan lingkup masing-masing.
Baca juga: Kemenag Sebut Bersiul dan Menatap Kategori Kekerasan Seksual Masuk Piramida Budaya Perkosaan
"PMA mungkin tidak sepenuhnya ideal, namun merupakan langkah positif yang perlu didukung semua pihak. Dalam hal implementasinya, menyusun standard operating procedure untuk pencegahan dan penangan kekerasan seksual," katanya.
Menurut Nina, PMA Nomor 73 Tahun 2022 lebih tinggi derajatnya dari SK Dirjen Pendis tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Kekerasan Seksual di PTKI yang dikeluarkan pada Oktober 2019 lalu. PMA tersebut dinilai lebih terbuka bagi setiap lembaga pendidikan agama di Indonesia.
"Saya senang sekali pada tahun 2022 ini, dari Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan baru yang lebih tinggi dari SK Dirjen Pendis. Ini (PMA) lebih inklusif meliputi semua agama," kata Nina saat menjadi pembicara di webinar Partai Perindo bertajuk 'Kriteria Kekerasan Seksual Versi Kementerian Agama Mempertegas Atau Membingungkan?' pada Jumat (28/10/2022).
Namun, ia menyoroti Pasal 5d dalam PMA Nomor 73 Tahun 2022 yakni 'menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman masuk kategori kekerasan seksual'. Menurutnya, pasal tersebut perlu dijabarkan lebih jelas agar tidak terjadi pertanyaan besar di masyarakat.
"Kata-kata di dalam peraturan itu (seharusnya) tidak seperti itu. Masa sih menatap korban dengan nuansa seksual saja masuk kategori kekerasan seksual. Saya usul perlu perbaikan supaya kata-katanya itu lebih jelas," katanya.
Dirinya mengaku mendukung penuh langkah Kemenag dalam mengatasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Karenanya, PMA perlu diimplementasikan dan dijadikan sebagai cantolan di Satuan Pendidikan dengan menyusun SOP dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang lebih adaktif dan kontekstual sesuai dengan lingkup masing-masing.
Baca juga: Kemenag Sebut Bersiul dan Menatap Kategori Kekerasan Seksual Masuk Piramida Budaya Perkosaan
"PMA mungkin tidak sepenuhnya ideal, namun merupakan langkah positif yang perlu didukung semua pihak. Dalam hal implementasinya, menyusun standard operating procedure untuk pencegahan dan penangan kekerasan seksual," katanya.
(abd)