KUHP Tak Memadai, Bivitri Sesalkan RUU PKS Dicabut dari Prolegnas

Selasa, 07 Juli 2020 - 07:40 WIB
loading...
KUHP Tak Memadai, Bivitri...
Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyesalkan keputusan DPR yang mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Menurut dia, masalahnya bukan hanya pemindahan pembahasan ke tahun 2021, akan tetapi pemindahan prioritas ini semakin menunjukkan tidak seriusnya Komisi VIII DPR terhadap pembahasan RUU PKS. "Kedua alasannya juga menunjukkan ketidakseriusan itu, dengan mengatakan 'sulit'," kata Bivitri saat dihubungi SINDOnews, Selasa (7/7/2020).

Bivitri menyatakan bahwa dicabutnya RUU PKS dari Prolegnas 2020 berbahaya karena kasus kekerasan seksual terus meningkat. Bedasarkan data Komnas Perempuan pada rilis awal 2020, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%).

(Baca: Darurat Kekerasan Seksual, Susahnya Melindungi Alat Reproduksi)

Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. "Itu baru yang dilaporkan, belum lagi yang tidak lapor," tutur aktivis perempuan ini.

Selain itu, data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga menunjukkan hal yang sama. Selama 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual, kemudian, naik menjadi 111 permohonan pada tahun 2017. Lalu, melonjak ke angka 284 pada tahun 2018, terus naik pada tahun 2019 menyentuh angka 373.

Menurut Bivitri, hingga 15 Juni 2020 jumlah korban terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual sebanyak 501 orang. Ia melihat banyak sekali dari laporan ini yang tidak mendapat tindak lanjut yang baik.

Di sisi lain, Bivitri menganggap, peraturan perundang-undangan yang ada yakni KUHP dan KUHAP tidak memadai untuk bisa mengatasi kasus kekerasan seksual. Misalnya pasal perkosaan di KUHP saja, masih jauh dari memadai.

(Baca: Aliansi GERAK Perempuan Kecam Pencabutan RUU PKS dari Prolegnas 2020)

Untuk itu, pegiat HAM ini meminta wakil rakyat di Senayan harus memahami bahwa RUU PKS ini secara signifikan mengubah paradigma UU yang telah eksis, agar upaya lebih bisa menangani kasus kekerasan seksual. Misalnya untuk mengatur konseling, agar penegak hukum yang bertugas memahami dampak psikologis pada korban dan dampak lain yang ditimbulkan dari kasus kekerasan seksual.

"Karena KUHP dan segala UU yang ada masih jauh dari harapan, juga tidak ada efek jera makanya berlansung terus. RUU PKS juga bicara pencegahan, sebelum kasus terjadi. Jadi bahayanya korban akan semakin banyak dan negara tidak mampu menangani. RUU ini harus secepatnya dibahas dan disahkan," pungkas dia.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2055 seconds (0.1#10.140)