Gagal Jadi Penerbang, Pria Berdarah Batak Ini Melejit Jadi Jenderal Kopassus yang Disegani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nama Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan patut diperhitungkan dalam tubuh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) . Hampir 30 tahun berkarier sebagai prajurit Baret Merah, jenderal yang lahir di Sigompulon, Tarutung ini merupakan personifikasi yang memiliki daya juang, kecerdasan, keberanian, taat aturan, integritas, dan solidaritas.
Selama karier militernya, Sintong tak kurang terlibat dalam 20 operasi penting yang dibebankan di pundaknya. Sintong Panjaitan sudah menyabung nyawa di berbagai pertempuran, mulai dari operasi penumpasan DI/TII di Sulawesi, operasi mengatasi pemberontakan Mandatjan di Irian Barat, operasi penumpasan TNKU di Kalimantan, operasi pembebasan pesawat Woyla, dan masih banyak yang lainnya.
Dikutip dari buku "Sang Prajurit Pemberani (Biografi Lengkap Sintong Panjaitan)", Kamis (26/10/2022), Sintong Panjaitan kebanyakan melaksanakan operasi dalam satuan nonreguler ketika masih menjadi prajurit. Jika sebuah operasi dilaksanakan oleh satuan nonreguler, maka operasi tersebut bersifat tertutup atau rahasia; pelaksana operasi tidak akan menggunakan tanda pengenal apa pun yang mengaitkannya dengan kesatuannya. Ia tidak akan menggunakan seragam, tanda kepangkatan, dan tanda pengenal satuannya.
Misalnya, ia pernah ditugaskan untuk diterjunkan di Semenanjung Malaya dalam operasi konfrontasi dengan Malaysia. Saat itu, seragam yang dikenakan hanya celana dan kaos hijau hijau dengan topi rimba bertuliskan TNKU. Jika ia tewas dalam operasi tersebut, maka Pemerintah Indonesia dan TNI tidak akan mengakuinya sebagai prajurit TNI. Ia akan dikenang sebagai anggota TNKU, gerombolan bersenjata yang berhaluan komunis.
Seandainya Sintong Panjaitan berpolitik dan tidak sepakat dengan paham komunis, tentunya ia akan menolak penugasan tersebut. Akan tetapi, karena perintah itu merupakan perintah dari atasan, sebagaimana tradisi dalam dunia militer, maka jawabannya jelas; "Siap Laksanakan!"
Ketertarikan Sintong Panjaitan terhadap dunia militer sudah terlihat sejak kecil. Minat besar itu muncul saat ia berumur tujuh tahun ketika rumahnya hancur terkena bom yang dijatuhkan oleh pesawat P-51 Mustang milik Angkatan Udara Kerajaan Belanda. Rumahnya memang berdekatan dengan sebuah tangsi tentara RI. Sejak peristiwa itu, Sintong pun bercita-cita menjadi penerbang pesawat tempur.
Sintong Panjaitan mulai memanggul senjata ketika masih duduk di bangku SMA dan bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Pemberontakan PRRI ini disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terutama di wilayah, terkait masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sikap tidak puas tersebut mendapat dukungan dari sejumlah perwira militer.
Sebenarnya, awal pemberontakan tersebut sudah muncul menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949. Pada saat bersamaan, Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TTIBB.
Hal ini memunculkan kekecewaan dari pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut memicu terbentuknya dewan militer daerah, seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956 oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein, Dewan Garuda di Sumatera Selatan pada pertengahan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian, dan Dewan Gajah di Sumatera Utara pada 22 Desember 1956 oleh Kolonel Maludin Simbolon, seorang Panglima Tentara dan Teritorium I.
Saat itu, melalui RRI Medan, Kolonel Simbolon mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama Kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Karena keterbatasan dana, Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri untuk membangun asrama dan perumahan prajurit.
Dia mencari dana sendiri, sayangnya cara yang digunakan ilegal. Ia menjual secara ilegal hasil perkebunan di wilayah Sumatera Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan, Tanjung Balai.
Saat terjadi pemberontakan PRRI inilah, Sintong Panjaitan dilatih kemiliteran selama 3 bulan oleh anak buah Kolonel Maludin Simbolon. Kendati pernah bergabung dengan PRRI, Sintong tidak pernah ikut bertempur di pihak pemberontak. Sebab, ketika pasukan pemerintah pusat melancarkan operasi militer di Sumatera, ia harus menunggui ayahnya yang sedang sakit keras, yang kemudian meninggal dunia.
Dalam operasi militer tersebut, pemerintah pusat mengirim peleton RPKAD yang dipimpin oleh Letnan LB Moerdani. Sedangkan pihak PRRI dikomandani oleh Kapten Fritz Hutabarat. Dalam pertempuran sengit yang terjadi di Pematang Siantar itu, PRRI menderita banyak korban jiwa.
Enam orang teman sekelas Sintong di SMA, termasuk teman karibnya, Pintoa Panjaitan juga tewas dalam pertempuran. Di kemudian hari, diketahui bahwa seorang anggota RPKAD yang ikut serta dalam pertempuran tersebut, menjadi anggota Peleton 1 Kompi Tandjung/Yon 3 RPKAD di bawah pimpinan Sintong Panjaitan dalam penumpasan G30S pada tahun 1965.
Sebagai remaja yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap dunia militer, setelah lulus SMA pada tahun 1959, Sintong Panjaitan pun mendaftar untuk menjadi prajurit. Akan tetapi, yang ia pilih saat itu bukanlah Akademi Militer Nasional (AMN), melainkan Akademi Angkatan Udara (AAU).
Ia mengikuti tes AAU, pada akhir tahun 1959. Di antara pelamar dari Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, hanya empat orang yang dinyatakan lulus ketika itu, Sintong merupakan salah satunya.
Kemudian, tes lanjutan pantukhir (pantauan akhir) dilangsungkan di Ibu Kota Jakarta. Meskipun Sintong dinyatakan lulus, namun dokter AURI memberi syarat kepadanya agar amandel yang dideritanya segera diambil sebagai persyaratan kesehatan.
Namun, Sintong Panjaitan merasa tidak puas dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter AURI tersebut. Sebab, ia merasa sangat sehat dan siap untuk mengikuti pendidikan.
Lalu, ia pergi ke Mabes AURI di Tanah Abang untuk menghadap KSAU Suryadharma. Akan tetapi, kedatangannya ditolak oleh piket penjaga depan. Begitu pula dengan kedatangannya untuk kedua kalinya, ia tetap tidak diizinkan menemui KSAU.
Akan tetapi, Sintong tidak menyerah. Ia kembali mendatangi Mabes AURI untuk ketiga kalinya dan mengatakan bahwa dirinya merupakan Calon Kadet Penerbang AURI. Akhirnya, perwira jaga menghadapkan Sintong kepada KSAU yang menerimanya dengan simpatik. Kemudian, KSAU memanggil Letkol Udara dr Salamun, Kepala Jawatan Kesehatan AURI untuk memeriksa kondisi kesehatan Sintong di Jalan Kesehatan, daerah Bilangan, Tanah Abang, yang kemudian mengantarnya kembali ke Mabes AURI.
Setelah bertemu KSAU Suryadharma untuk kedua kalinya, Sintong dijanjikan akan dipanggil tetapi setelah ia melakukan operasi amandel. Kemudian, Sintong kembali ke Medan sambil menunggu surat panggilan dari AURI. Namun, setelah ditunggu hingga beberapa waktu, surat panggilan yang diharapkan tidak jua datang. Konon, surat tersebut sebenarnya sudah datang, namun disembunyikan oleh ibunya.
Karena panggilan dari AURI tidak kunjung datang, akhirnya Sintong mencoba mengikuti tes masuk taruna AMN. Beserta kelima orang temannya, Sintong dinyatakan lulus tes dan diterima menjadi taruna AMN. Selanjutnya, ia berangkat ke Magelang untuk mengikuti pendidikan. Ia merupakan Taruna AMN Angkatan V yang saat itu berjumlah 117 orang.
Setelah lulus pada tanggal 27 Juni 1964, Sintong Panjaitan kemudian ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite ABRI Angkatan Darat (kini bernama Kopassus) di Cijantung, Jakarta Timur.
Satu tahun setelah menyelesaikan pendidikan militernya di Magelang, tepatnya pada pertengahan Agustus 1964, Sintong Panjaitan bersama 15 orang perwira AMN yang satu angkatan dengannya ditugaskan di Sulawesi Selatan dan Tenggara untuk memperoleh pengalaman tempur. Bersama dengan Abdulrachman dan Iding Suwardi, Sintong di B/P pada Batalion Infanteri 321/Galuh, Taruna Brigade Infanteri (Brigif) 13/Galuh, Kodam VI/Siliwangi yang pada waktu itu sedang melaksanakan Operasi Kilat untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar. Sementara, dua Batalion Brigif-13/Galuh lainnya, yaitu Yonif 332/Buaya Putih dan Yonif 303/Setia Perlaya, dioperasikan di sisi barat kaki Gunung Latimojong.
Empat kompi dalam Yonif 321 merupakan pasukan infanteri biasa yang tidak memiliki kualifikasi para. Brigif-13/Galuh merupakan brigade pertama yang dikirim oleh Brigjen TNI Ibrahim Adjie, Panglima Siliwangi untuk melaksanakan operasi di Sulawesi Selatan. Dua brigade Siliwangi lainnya, masing-masing Brigif-11 dan Brigif-12 menyusul kemudian. Pada waktu Sintong ditempatkan di Yonif 321, Brigif-13 telah beroperasi selama 1 tahun di palagan Sulawesi Selatan.
Di antara 15 perwira remaja yang diikutkan ke dalam Operasi Kilat, hanya Sintong Panjaitan yang ditunjuk menjadi memimpin operasi tempur pada garis paling depan dan paling berat dari Yonif 321. Di batalion tersebut, Sintong menunjukkan kemampuannya sebagai seorang komandan dalam memimpin pertempuran.
Atas prestasinya itu, 4 bulan kemudian, ia diangkat menjadi Komandan Peleton 1 Kompi Suryo/Yon 3 RPKAD di palagan Sulawesi Tenggara. Dari 15 perwira remaja lulusan AMN Angkatan 63 yang menimba pengalaman tempur dalam Operasi Kilat, hanya Sintong Panjaitan dan Abdulrachman yang ditunjuk dan dipilih menjadi pemimpin peleton RPKAD. Padahal, keduanya masih belum mengikuti pendidikan prajurit komando.
Adapun teman seangkatan Sintong Panjaitan, di antaranya adalah Idroes (Mayjen TNI Purn), Sinung Karjo S (Letjen TNI Purn), Wismoyo Arismunandar (Jenderal TNI Purn), Kilian Sidabutar (Letjen TNI Purn), Toga Tampubolon (Mayjen TNI Purn), Sukarno (Mayjen TNI Purn), Kuntara (Jenderal TNI Purn), dan Basofi Sudirman (Letjen TNI Purn).
Adapun beberapa seniornya di AMN Angkatan I, di antaranya ialah Eddi Sudradjat (Jenderal TNI Purn), Hasudungan Simanjuntak (Mayjen TNI Purn), dan Sembiring Meliala (Mayjen TNI Purn), dan Soekarto (Mayjen TNI Purn). Sedangkan dari AMN Angkatan II, di antaranya ialah ZA Mualani (Letjen TNI Purn), Faisal Tandjung (Jenderal TNI Purn), Soetedjo (Mayjen TNI Purn), dan Ketot Harsono (Letjen TNI Purn).
Sementara, dari AMN Angkatan III, di antaranya ialah GW Soedhiksa (Mayjen TNI Purn), Surjadi Sudirja (Letjen TNI Purn), Warsito (Mayjen TNI Purn), Sarmono (Mayjen TNI Purn), Djoko Lelono (Letjen TNI Purn), dan Manoppo (Mayjen TNI Purn).
Sintong Panjaitan dan para alumni AMN Angkatan Tahun 1960 sampai dengan Angkatan Tahun 1964, telah bertugas sejak era Orde Lama, Orde Baru, dan dikenali sebagai para perwira peralihan. Seiring berjalannya waktu, di antara para alumni AMN tersebut, hanya dua orang yang masih aktif berkecimpung dalam bidang pertahanan keamanan pada masa Reformasi, yaitu Jenderal TNI Purn Faisal Tandjung yang menjabat sebagai Menko Polkam RI, dan Letjen TNI Purn Sintong Panjaitan yang menjabat sebagai Penasihat Presiden RI Bidang Hankam.
Selama karier militernya, Sintong tak kurang terlibat dalam 20 operasi penting yang dibebankan di pundaknya. Sintong Panjaitan sudah menyabung nyawa di berbagai pertempuran, mulai dari operasi penumpasan DI/TII di Sulawesi, operasi mengatasi pemberontakan Mandatjan di Irian Barat, operasi penumpasan TNKU di Kalimantan, operasi pembebasan pesawat Woyla, dan masih banyak yang lainnya.
Dikutip dari buku "Sang Prajurit Pemberani (Biografi Lengkap Sintong Panjaitan)", Kamis (26/10/2022), Sintong Panjaitan kebanyakan melaksanakan operasi dalam satuan nonreguler ketika masih menjadi prajurit. Jika sebuah operasi dilaksanakan oleh satuan nonreguler, maka operasi tersebut bersifat tertutup atau rahasia; pelaksana operasi tidak akan menggunakan tanda pengenal apa pun yang mengaitkannya dengan kesatuannya. Ia tidak akan menggunakan seragam, tanda kepangkatan, dan tanda pengenal satuannya.
Misalnya, ia pernah ditugaskan untuk diterjunkan di Semenanjung Malaya dalam operasi konfrontasi dengan Malaysia. Saat itu, seragam yang dikenakan hanya celana dan kaos hijau hijau dengan topi rimba bertuliskan TNKU. Jika ia tewas dalam operasi tersebut, maka Pemerintah Indonesia dan TNI tidak akan mengakuinya sebagai prajurit TNI. Ia akan dikenang sebagai anggota TNKU, gerombolan bersenjata yang berhaluan komunis.
Seandainya Sintong Panjaitan berpolitik dan tidak sepakat dengan paham komunis, tentunya ia akan menolak penugasan tersebut. Akan tetapi, karena perintah itu merupakan perintah dari atasan, sebagaimana tradisi dalam dunia militer, maka jawabannya jelas; "Siap Laksanakan!"
Ketertarikan Sintong Panjaitan terhadap dunia militer sudah terlihat sejak kecil. Minat besar itu muncul saat ia berumur tujuh tahun ketika rumahnya hancur terkena bom yang dijatuhkan oleh pesawat P-51 Mustang milik Angkatan Udara Kerajaan Belanda. Rumahnya memang berdekatan dengan sebuah tangsi tentara RI. Sejak peristiwa itu, Sintong pun bercita-cita menjadi penerbang pesawat tempur.
Sintong Panjaitan mulai memanggul senjata ketika masih duduk di bangku SMA dan bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Pemberontakan PRRI ini disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terutama di wilayah, terkait masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sikap tidak puas tersebut mendapat dukungan dari sejumlah perwira militer.
Sebenarnya, awal pemberontakan tersebut sudah muncul menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949. Pada saat bersamaan, Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TTIBB.
Hal ini memunculkan kekecewaan dari pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut memicu terbentuknya dewan militer daerah, seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956 oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein, Dewan Garuda di Sumatera Selatan pada pertengahan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian, dan Dewan Gajah di Sumatera Utara pada 22 Desember 1956 oleh Kolonel Maludin Simbolon, seorang Panglima Tentara dan Teritorium I.
Saat itu, melalui RRI Medan, Kolonel Simbolon mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama Kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Karena keterbatasan dana, Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri untuk membangun asrama dan perumahan prajurit.
Dia mencari dana sendiri, sayangnya cara yang digunakan ilegal. Ia menjual secara ilegal hasil perkebunan di wilayah Sumatera Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan, Tanjung Balai.
Saat terjadi pemberontakan PRRI inilah, Sintong Panjaitan dilatih kemiliteran selama 3 bulan oleh anak buah Kolonel Maludin Simbolon. Kendati pernah bergabung dengan PRRI, Sintong tidak pernah ikut bertempur di pihak pemberontak. Sebab, ketika pasukan pemerintah pusat melancarkan operasi militer di Sumatera, ia harus menunggui ayahnya yang sedang sakit keras, yang kemudian meninggal dunia.
Dalam operasi militer tersebut, pemerintah pusat mengirim peleton RPKAD yang dipimpin oleh Letnan LB Moerdani. Sedangkan pihak PRRI dikomandani oleh Kapten Fritz Hutabarat. Dalam pertempuran sengit yang terjadi di Pematang Siantar itu, PRRI menderita banyak korban jiwa.
Enam orang teman sekelas Sintong di SMA, termasuk teman karibnya, Pintoa Panjaitan juga tewas dalam pertempuran. Di kemudian hari, diketahui bahwa seorang anggota RPKAD yang ikut serta dalam pertempuran tersebut, menjadi anggota Peleton 1 Kompi Tandjung/Yon 3 RPKAD di bawah pimpinan Sintong Panjaitan dalam penumpasan G30S pada tahun 1965.
Sebagai remaja yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap dunia militer, setelah lulus SMA pada tahun 1959, Sintong Panjaitan pun mendaftar untuk menjadi prajurit. Akan tetapi, yang ia pilih saat itu bukanlah Akademi Militer Nasional (AMN), melainkan Akademi Angkatan Udara (AAU).
Ia mengikuti tes AAU, pada akhir tahun 1959. Di antara pelamar dari Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, hanya empat orang yang dinyatakan lulus ketika itu, Sintong merupakan salah satunya.
Kemudian, tes lanjutan pantukhir (pantauan akhir) dilangsungkan di Ibu Kota Jakarta. Meskipun Sintong dinyatakan lulus, namun dokter AURI memberi syarat kepadanya agar amandel yang dideritanya segera diambil sebagai persyaratan kesehatan.
Namun, Sintong Panjaitan merasa tidak puas dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter AURI tersebut. Sebab, ia merasa sangat sehat dan siap untuk mengikuti pendidikan.
Lalu, ia pergi ke Mabes AURI di Tanah Abang untuk menghadap KSAU Suryadharma. Akan tetapi, kedatangannya ditolak oleh piket penjaga depan. Begitu pula dengan kedatangannya untuk kedua kalinya, ia tetap tidak diizinkan menemui KSAU.
Akan tetapi, Sintong tidak menyerah. Ia kembali mendatangi Mabes AURI untuk ketiga kalinya dan mengatakan bahwa dirinya merupakan Calon Kadet Penerbang AURI. Akhirnya, perwira jaga menghadapkan Sintong kepada KSAU yang menerimanya dengan simpatik. Kemudian, KSAU memanggil Letkol Udara dr Salamun, Kepala Jawatan Kesehatan AURI untuk memeriksa kondisi kesehatan Sintong di Jalan Kesehatan, daerah Bilangan, Tanah Abang, yang kemudian mengantarnya kembali ke Mabes AURI.
Setelah bertemu KSAU Suryadharma untuk kedua kalinya, Sintong dijanjikan akan dipanggil tetapi setelah ia melakukan operasi amandel. Kemudian, Sintong kembali ke Medan sambil menunggu surat panggilan dari AURI. Namun, setelah ditunggu hingga beberapa waktu, surat panggilan yang diharapkan tidak jua datang. Konon, surat tersebut sebenarnya sudah datang, namun disembunyikan oleh ibunya.
Karena panggilan dari AURI tidak kunjung datang, akhirnya Sintong mencoba mengikuti tes masuk taruna AMN. Beserta kelima orang temannya, Sintong dinyatakan lulus tes dan diterima menjadi taruna AMN. Selanjutnya, ia berangkat ke Magelang untuk mengikuti pendidikan. Ia merupakan Taruna AMN Angkatan V yang saat itu berjumlah 117 orang.
Setelah lulus pada tanggal 27 Juni 1964, Sintong Panjaitan kemudian ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite ABRI Angkatan Darat (kini bernama Kopassus) di Cijantung, Jakarta Timur.
Satu tahun setelah menyelesaikan pendidikan militernya di Magelang, tepatnya pada pertengahan Agustus 1964, Sintong Panjaitan bersama 15 orang perwira AMN yang satu angkatan dengannya ditugaskan di Sulawesi Selatan dan Tenggara untuk memperoleh pengalaman tempur. Bersama dengan Abdulrachman dan Iding Suwardi, Sintong di B/P pada Batalion Infanteri 321/Galuh, Taruna Brigade Infanteri (Brigif) 13/Galuh, Kodam VI/Siliwangi yang pada waktu itu sedang melaksanakan Operasi Kilat untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar. Sementara, dua Batalion Brigif-13/Galuh lainnya, yaitu Yonif 332/Buaya Putih dan Yonif 303/Setia Perlaya, dioperasikan di sisi barat kaki Gunung Latimojong.
Empat kompi dalam Yonif 321 merupakan pasukan infanteri biasa yang tidak memiliki kualifikasi para. Brigif-13/Galuh merupakan brigade pertama yang dikirim oleh Brigjen TNI Ibrahim Adjie, Panglima Siliwangi untuk melaksanakan operasi di Sulawesi Selatan. Dua brigade Siliwangi lainnya, masing-masing Brigif-11 dan Brigif-12 menyusul kemudian. Pada waktu Sintong ditempatkan di Yonif 321, Brigif-13 telah beroperasi selama 1 tahun di palagan Sulawesi Selatan.
Di antara 15 perwira remaja yang diikutkan ke dalam Operasi Kilat, hanya Sintong Panjaitan yang ditunjuk menjadi memimpin operasi tempur pada garis paling depan dan paling berat dari Yonif 321. Di batalion tersebut, Sintong menunjukkan kemampuannya sebagai seorang komandan dalam memimpin pertempuran.
Atas prestasinya itu, 4 bulan kemudian, ia diangkat menjadi Komandan Peleton 1 Kompi Suryo/Yon 3 RPKAD di palagan Sulawesi Tenggara. Dari 15 perwira remaja lulusan AMN Angkatan 63 yang menimba pengalaman tempur dalam Operasi Kilat, hanya Sintong Panjaitan dan Abdulrachman yang ditunjuk dan dipilih menjadi pemimpin peleton RPKAD. Padahal, keduanya masih belum mengikuti pendidikan prajurit komando.
Adapun teman seangkatan Sintong Panjaitan, di antaranya adalah Idroes (Mayjen TNI Purn), Sinung Karjo S (Letjen TNI Purn), Wismoyo Arismunandar (Jenderal TNI Purn), Kilian Sidabutar (Letjen TNI Purn), Toga Tampubolon (Mayjen TNI Purn), Sukarno (Mayjen TNI Purn), Kuntara (Jenderal TNI Purn), dan Basofi Sudirman (Letjen TNI Purn).
Adapun beberapa seniornya di AMN Angkatan I, di antaranya ialah Eddi Sudradjat (Jenderal TNI Purn), Hasudungan Simanjuntak (Mayjen TNI Purn), dan Sembiring Meliala (Mayjen TNI Purn), dan Soekarto (Mayjen TNI Purn). Sedangkan dari AMN Angkatan II, di antaranya ialah ZA Mualani (Letjen TNI Purn), Faisal Tandjung (Jenderal TNI Purn), Soetedjo (Mayjen TNI Purn), dan Ketot Harsono (Letjen TNI Purn).
Sementara, dari AMN Angkatan III, di antaranya ialah GW Soedhiksa (Mayjen TNI Purn), Surjadi Sudirja (Letjen TNI Purn), Warsito (Mayjen TNI Purn), Sarmono (Mayjen TNI Purn), Djoko Lelono (Letjen TNI Purn), dan Manoppo (Mayjen TNI Purn).
Sintong Panjaitan dan para alumni AMN Angkatan Tahun 1960 sampai dengan Angkatan Tahun 1964, telah bertugas sejak era Orde Lama, Orde Baru, dan dikenali sebagai para perwira peralihan. Seiring berjalannya waktu, di antara para alumni AMN tersebut, hanya dua orang yang masih aktif berkecimpung dalam bidang pertahanan keamanan pada masa Reformasi, yaitu Jenderal TNI Purn Faisal Tandjung yang menjabat sebagai Menko Polkam RI, dan Letjen TNI Purn Sintong Panjaitan yang menjabat sebagai Penasihat Presiden RI Bidang Hankam.
(kri)