Swasembada Gula, Quo Vadis

Kamis, 27 Oktober 2022 - 12:17 WIB
loading...
Swasembada Gula, Quo Vadis
Khudori (Foto: Ist)
A A A
Khudori
Pegiat Komite Pendayagunaan Petani (KPP) dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula”

DI kalangan pemangku kepentingan gula telah beredar draf Perpres Swasembada Gula. Draf berisi 18 pasal itu menjadi bahan diskusi seru. Di petani, peraturan presiden (perpres) ini diyakini sebagai muslihat untuk memuluskan impor, terutama bagi pabrik gula BUMN. Bahkan, BUMN dicurigai akan memonopoli.

Karena itu, mereka menolak draf perpres. Sementara di pelaku pergulaan swasta mempertanyakan apa alasan dan urgensi perpres ini. Apalagi, perpres kental keberpihakannya kepada BUMN gula. Baik gula kristal putih atau gula konsumsi maupun gula rafinasi untuk industri. Eksistensi swasta seperti dinegasikan.

Baca Juga: koran-sindo.com

Pada intinya, draf perpres ini berisi, pertama, mempercepat swasembada gula. Swasembada gula konsumsi dicapai pada 2025, dan swasembada gula industri pada 2030. Ini dimaksudkan untuk menjaga ketahanan pangan dan jaminan bahan baku dan bahan penolong industri.

Kedua, percepatan swasembada gula dilakukan kementerian/lembaga, pemerintah daerah (pemda), BUMN, BUMD, dan/atau badan usaha swasta sesuai bidang tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Dari sini lalu diurai rincian tugas: siapa melakukan apa.

Selain mengoordinasikan dan mengevaluasi pelaksanaan, Menko Perekonomian bertugas menetapkan langkah-langkah penyelesaian apabila ada masalah dan hambatan. Menteri Pertanian bertugas membina petani tebu guna menggenjot produksi dan produktivitas serta mutu tebu giling. Juga bimbingan teknis dan pendampingan petani tebu dalam penyediaan bibit, pupuk, bongkar ratoon, dan rawat ratoon serta sarana produksi lain, dan memastikan akses petani tebu pada pendanaan lembaga keuangan.

Menteri Keuangan, selain memberikan fasilitas dan dukungan penganggaran bagi kementerian/lembaga (K/L), memberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan yang diperlukan, juga memberikan fasilitas dan dukungan percepatan penyelesaian status Barang Milik Negara menjadi Penyertaan Modal Negara kepada PT Perkebunan Nusantara III (Persero).

Menteri PUPR mendukung infrastuktur pendukung pada areal perkebunan tebu, sedangkan Menteri Investasi/Kepala BKPM memberikan dukungan izin usaha dan kemudahan investasi.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertugas menetapkan persetujuan perubahan peruntukan lahan yang semula kawasan hutan, mendukung jumlah areal tebu lewat perhutanan sosial dan sistem pertanian tanaman pangan dan tanaman kehutanan yang ditanam di lahan yang sama (agroforestry), dan kemudahan perizinan penggunaan kawasan hutan untuk kebun tebu.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN bertugas menyesuaikan rencana tata ruang wilayah untuk lahan kebun tebu dan/atau pabrik gula.

Menteri Perindustrian bertugas mengusulkan alokasi impor gula untuk industri, mendukung peningkatan produktivitas pabrik gula, menetapkan dan menyempurnakan kebijakan terkait fasilitas untuk memperoleh bahan baku baik untuk pembanguna pabrik gula baru, peningkatan kapasitas, revitalisasi pabrik dan perkebunan tebu maupun perluasan lahan kebun tebu.

Menteri Perdagangan bertugas menerbitkan persetujuan impor gula untuk konsumsi dan industri. Menteri BUMN membina dan mengawasi korporasi BUMN, dan Badan Pangan Nasional menetapkan alokasi impor gula konsumsi.

Terakhir, tugas gubernur dan wali kota/bupati: mendukung perizinan kebun tebu dan pabrik gula, penyesuaian rencana tata ruang, dan bimbingan teknis pada petani tebu.

Potensi masalah muncul ketika tugas pencapaian swasembada gula konsumsi dan gula industri itu ditumpukan pada PTPN III. Swasembada gula konsumsi dicapai dengan menggenjot produktivitas tebu hingga 87 ton/hektare lewat perbaikan praktik agrikultur, dari pembibitan, pemeliharaan hingga tebang muat angkut.

Lalu memperluas lahan tebu hingga 80.000 hektare dari lahan perkebunan, perhutanan sosial, agroforestry, dan tebu rakyat. Selain mendongkrak kesejahteran petani tebu, juga efisiensi dan utilisasi kapasitas pabrik gula hingga rendemen 8,05%. PTPN III bisa bekerja sama badan usaha lain sesuai kaidah bisnis, termasuk membentuk usaha patungan dengan melego 49% saham.

Untuk melaksanakan tugas itu, PTPN III diberi fasilitas berupa alokasi impor gula kristal putih dan/atau gula kristal mentah (raw sugar) sesuai kebutuhan. PTPN III wajib menyusun dan menyampaikan peta jalan, termasuk rencana investasi, guna mencapai swasembada itu kepada K/L terkait.

Juga melaporkan hasil secara berkala. Menumpukan tugas pencapaian swasembada gula (konsumsi dan industri) kepada PTPN III dengan sendirinya telah menafikan peran swasta. Apalagi, dalam penugasan itu terang-terangan PTPN diberikan fasilitas impor gula. Ini dicurigai sebagai modus legalisasi impor gula.

Diakui atu tidak, peran swasta dalam industri gula semakin dominan. Di industri gula konsumsi, sejak 2019, luas panen, produksi tebu dan gula, produktivitas tebu dan kapasitas giling terpakai pabrik gula BUMN menurun dan kalah dari swasta.

Bahkan, di industri gula rafinasi, yang kini berjumlah 11 pabrik gula, semuanya swasta. Menafikan peran swasta sama saja menegasikan realitas hari ini. Adalah benar keterlibatan swasta dibuka, tapi bagaimana peran dan fasilitasi oleh para K/L sama sekali tak disinggung.

Di sisi lain, ada inkonsistensi langkah percepatan pencapaian swasembada gula. Di satu sisi, percepatan selain ditempuh dengan mendongkrak produktivitas tebu hingga 93 ton/hektare lewat perbaikan praktik agrikultur dari pembibitan, pemeliharaan hingga tebang muat angkut, juga perluasan lahan tebu hingga 700.000 hektare, peningkatan efisiensi, utilisasi kapasitas pabrik gula hingga rendeman 11,2%, dan menaikkan kesejahteraan petani tebu. Di sisi lain, beban yang ditumpukan ke PTPN III lebih ringan.

Pertanyaannya: Apakah diperlukan perpres swasembada gula? Bisa ya, bisa juga tidak. Saat ini banyak beleid di industri gula yang saling konflik dan saling menegasikan. Ini antara lain disumbang oleh kebijakan yang pragmatis, inkonsisten dan berubah-ubah.

Koordinasi K/L tidak jalan. Masing-masing K/L jalan sendiri dengan peta jalan sendiri. Egosektoral membuat industri pergulaan seperti autopilot. Petani sebagai garda terdepan dalam industri pergulaan tidak ada yang mengurus nasibnya secara serius. Jika di negara lain petani dijamin untung, di sini setiap saat mereka harus berjuang agar negara hadir dengan cara tak lazim: berdemonstrasi. Dari sisi ini, aturan berbentuk perpres diperlukan.

Perpres tidak perlu jika aturan yang telah dibuat dievaluasi untuk dilihat bagaimana hasilnya. Ada banyak aturan di industri ini. Salah satunya soal wajib membangun kebun sendiri.

Sejak 2014 ada 11 aturan, dari UU hingga peraturan menteri, yang mewajibkan industri gula berbasis tebu menyediakan 20% bahan baku dari kebun sendiri, 80% sisanya lewat kemitraan. Tapi ini tak pernah diawasi dan dievaluasi. Riil luas panen tebu saat ini hanya 440-an ribu hektare dengan rendemen 7,7% dan produktivitas tebu 71 ton/hektare.

Dari mana tambahan lahan hingga jadi 700 ribu hektare, bagaimana mendongkrak rendeman dan produktivitas tebu? Tanpa rincian jelas peta jalan ke depan, swasembada hanya utopia.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2462 seconds (0.1#10.140)