Menimbang Pilkada di Era New Normal

Senin, 06 Juli 2020 - 06:40 WIB
loading...
Menimbang Pilkada di...
Adi Prayitno
A A A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta

SETELAH melalui dinamika politik yang melelahkan, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, akhirnya sepakat menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang. Meski banyak kritik karena kurva pandemi korona belum landai, tapi ritual lima tahunan itu diputuskan tetap diselenggarakan serentak. Sepertinya tak ada lagi ruang bernegoisasi untuk menunda atau memundurkan pilkada yang bakal dilaksanakan di 270 wilayah itu.

Layar sudah terkembang, pantang surut ke belakang. Begitulah kira-kira filsafat politik pilkada di era new normal. Satu fase kehidupan baru dalam menghadapi pandemi virus korona. Tak ada pilihan lain kecuali menerima kebijakan itu sebagai keniscayaan politik terbaik. Memang sulit mencari solusi pilkada di tengah wabah. Selama vaksin virus belum ditemukan, selama itu pula pilkada terjebak dalam kubangan ketidakpastian. Karenanya, pilihan melanjutkan pilkada serentak mesti dimaknai sebagai ikhtiar win-win solution. Satu sisi diniatkan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di level daerah, tapi di sisi lainnya, kesehatan masyarakat mesti prioritas dengan protokol kesehatan saat pencoblosan.

Meski begitu, dalam politik tak ada keputusan hitam putih yang abadi. Segala sesuatu serba mungkin bisa berubah setiap saat. Apalagi jika kurva korona terus membumbung tinggi, tentu perlu evaluasi akademik terukur untuk melanjutkan pilkada serentak atau tidak. Sebab, di setiap daerah lonjakan pandeminya variatif. Di daerah yang laju pandeminya menurun layak dilaksanakan pilkada. Sementara itu, daerah yang masih meratap zona merah perlu ditinjau ulang. Misalnya, diundur ke Maret 2021 tahun depan. Toh, ada klausul regulasi yang mengatur mundurnya pilkada. Cukup berisiko jika pilkada serentak dipaksakan di wilayah yang wabahnya terus melambung.

Dalam konteks inilah sepertinya pemerintah, anggota dewan, dan penyelenggara pemilu, perlu menimbang ulang pelaksanaan pilkada serentak di era new normal yang kurva pandeminya tak kunjung landai. Setidaknya memilah dan memetakan wilayah mana saja yang masuk kategori lanjut atau diundur. Ini penting dilakukan sebagai upaya mencari solusi terbaik. Misalnya, daerah zona hijau boleh lanjut, sedangkan zona merah pilkada ditunda tahun depan.

Keharusan Inovasi
Andai pilkada serentak tetap lanjut di 270 daerah atau hanya di sebagian wilayah, tetap saja pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu inovasi tambahan untuk menjaga kualitas pilkada. Karena cukup potensial terjadi hambatan, baik dari segi substansi maupun teknis. Dalam kondisi normal saja politik elektoral daerah kerap menyimpan sejuta catatan kritis. Apalagi pilkada di tengah pandemi, tentu bakal dihantui begitu banyak kesulitan yang mungkin bisa merusak kredibilitas demokrasi.

Banyak hal perlu inovasi baru. Pertama, soal model kampanye. Setelah kampanye akbar dilarang, tentu harus ada medium lain yang disiapkan untuk menyampaikan gagasan kandidat. Penyelenggara maupun kontestan perlu berpikir keras memeras otak. Misalnya, metode kampanye melalui media sosial diutamakan meski tak semua daerah terpapar teknologi informasi. Atau metode door to door campaign dengan meminimalisasikan risiko penularan virus melalui alat pelindung diri.

Jika tak ada kreativitas merekayasa model kampanye, bisa dipastikan kualitas demokrasi buruk karena visi-misi kandidat tak akan sampai kepada pemilih (voter). Lalu apa yang akan menjadi preferensi pilihan politik jika pemilih tak kenal visi besar kandidat. Tentu semua pihak tak mau pilkada sebatas seremonial. Ritus tak bermakna. Kering substansi karena yang terjadi sebatas mobilisasi artifisial bukan partisipasi politik yang sehat.

Kedua, memperbanyak tempat pemungutan suara (TPS) untuk mengurangi penumpukan massa. Jika selama ini ada opsi maksimal satu TPS berkapasitas 500 orang, di pilkada nanti setiap TPS maksimal 250 hingga 300 orang. Atau berupaya memperpanjang waktu pencoblosan mulai dari pagi hingga jelang petang menghindari kerumunan. Rekayasa semacam ini penting untuk mengamputasi sebaran korana yang kian agresif. Tak mudah memang, tapi inovasi baru perlu dilakukan jika pilkada tetap diselenggarakan di era new normal yang pandemi koronanya belum usai.

Jangan pernah melakukan perjudian. Karena menyangkut nyawa dan keselamatan warga. Jangan cuma karena urusan politik elektoral. protokol kesehatan pemilih diabaikan. Apa pun harus dilakukan untuk memangkas sebaran korona. Masih banyak inovasi lain yang masih bisa dilakukan demi merawat kualitas pilkada serta menjaga kesehatan pemilih. Misalnya, masa kampanye diringkus menjadi 30 atau 40 hari saja, yang penting bisa menggairahkan pemilih.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0972 seconds (0.1#10.140)