Menimbang Pilkada di Era New Normal
loading...
A
A
A
Masih Ada Harapan
Di tengah kesulitan pasti terselip sebuah harapan. Menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi bukan perkara mudah. Butuh tekad, keseriusan, dan ‘manuver tak biasa’ untuk tetap menjaga keadaban berdemokrasi. Inilah ujian sesungguhnya bangsa saat ini. Segala daya upaya ditantang untuk bisa mewujudkan perhelatan pilkada berkualitas di masa wabah korona. Kekuatan intelektual serta kreativitas ilmu pengetahuan dipaksa melahirkan inovasi baru dalam merekayasa pilkada serentak kali ini.
Semua pihak paham, memaksakan pilkada serentak di tengah pandemi korona bukan sebatas regenerasi kepemimpinan daerah, tapi melainkan juga sebagai upaya menstimulasi ekonomi yang luluh lantak akibat terpaan badai korona. Roda ekonomi dipastikan kembali berdenyut saat pilkada. Kandidat, tim sukses, serta partai politik tentu mengapitalisasi segala sumber daya ekonomi mereka untuk memenangkan pertarungan meski harus berjibaku dengan wabah.
Istilah new normal sebenarnya mengacu pada pelonggaran aktivitas di bidang ekonomi. Pilkada sebagai medium politik elektoral yang diyakini sebagai salah satu instrumen untuk bisa menggerakkan kembali roda ekonomi daerah setelah sekian purnama dihantam prahara korona. Kandidat pasti belanja aksesori kampanye, memobilisasi tim sukses, dan sosialisasi lewat ‘serangan udara dan darat’, membutuhkan cadangan logistik yang tak sedikit. Aktivitas ekonomi pilkada semacam ini setidaknya menyasar pelaku usaha kelas ekonomi menengah, usia produktif yang bisa bekerja politik, dan seterusnya.
Tentu suasa kebatinan politik campur aduk. Antara kehendak baik melanjutkan estafet kepemimpinan, menggairahkan kembali roda ekonomi, hingga pertaruhan keselamatan warga. Karena itu, harapan paling mungkin bisa digelayutkan ialah memilih wilayah paling mungkin atau tidak menyelenggarakan pilkada serentak. Semua wilayah tak bisa digeneralisasikan kondisi pandeminya. Ada yang mulai melandai, zona hijau, dan tetap merah.
Ibarat pepatah bijak, sekali dayung tiga pulau terlampaui. Regenerasi politik jalan terus, sektor ekonomi kembali berdenyut, dan kesehatan masyarakat terjamin. Kuncinya cuma satu, yakni menimbang ulang pilkada yang didasarkan pada kategorisasi daerah berbasis sebaran korona. Zona hijau bisa melaksanakan pilkada, sedangkan zona merah bisa mundur tahun depan. Ini namanya ikhtiar mencari titik keseimbangan baru dalam pelaksanaan pilkada. Semoga!
Di tengah kesulitan pasti terselip sebuah harapan. Menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi bukan perkara mudah. Butuh tekad, keseriusan, dan ‘manuver tak biasa’ untuk tetap menjaga keadaban berdemokrasi. Inilah ujian sesungguhnya bangsa saat ini. Segala daya upaya ditantang untuk bisa mewujudkan perhelatan pilkada berkualitas di masa wabah korona. Kekuatan intelektual serta kreativitas ilmu pengetahuan dipaksa melahirkan inovasi baru dalam merekayasa pilkada serentak kali ini.
Semua pihak paham, memaksakan pilkada serentak di tengah pandemi korona bukan sebatas regenerasi kepemimpinan daerah, tapi melainkan juga sebagai upaya menstimulasi ekonomi yang luluh lantak akibat terpaan badai korona. Roda ekonomi dipastikan kembali berdenyut saat pilkada. Kandidat, tim sukses, serta partai politik tentu mengapitalisasi segala sumber daya ekonomi mereka untuk memenangkan pertarungan meski harus berjibaku dengan wabah.
Istilah new normal sebenarnya mengacu pada pelonggaran aktivitas di bidang ekonomi. Pilkada sebagai medium politik elektoral yang diyakini sebagai salah satu instrumen untuk bisa menggerakkan kembali roda ekonomi daerah setelah sekian purnama dihantam prahara korona. Kandidat pasti belanja aksesori kampanye, memobilisasi tim sukses, dan sosialisasi lewat ‘serangan udara dan darat’, membutuhkan cadangan logistik yang tak sedikit. Aktivitas ekonomi pilkada semacam ini setidaknya menyasar pelaku usaha kelas ekonomi menengah, usia produktif yang bisa bekerja politik, dan seterusnya.
Tentu suasa kebatinan politik campur aduk. Antara kehendak baik melanjutkan estafet kepemimpinan, menggairahkan kembali roda ekonomi, hingga pertaruhan keselamatan warga. Karena itu, harapan paling mungkin bisa digelayutkan ialah memilih wilayah paling mungkin atau tidak menyelenggarakan pilkada serentak. Semua wilayah tak bisa digeneralisasikan kondisi pandeminya. Ada yang mulai melandai, zona hijau, dan tetap merah.
Ibarat pepatah bijak, sekali dayung tiga pulau terlampaui. Regenerasi politik jalan terus, sektor ekonomi kembali berdenyut, dan kesehatan masyarakat terjamin. Kuncinya cuma satu, yakni menimbang ulang pilkada yang didasarkan pada kategorisasi daerah berbasis sebaran korona. Zona hijau bisa melaksanakan pilkada, sedangkan zona merah bisa mundur tahun depan. Ini namanya ikhtiar mencari titik keseimbangan baru dalam pelaksanaan pilkada. Semoga!
(ras)