Potensial Timbulkan Fitnah, MUI Minta Pasal Santet dalam RKUHP Dihapus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Neng Djubaedah meminta pasal santet dalam RUU KUHP dihapus. Pasal itu dikhawatirkan menimbulkan fitnah sejumlah kepada ulama dipercaya masyarakat setempat dapat mengobati.
Hal ini disampaikan saat menggelar Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam, membahas 14 isu krusial RUU KUHP pada hari Rabu (12/10/2022) di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta.
“MUI khawatir ulama tersebut justru dituduh sebagai tukang sihir, padahal dalam Surat Yunus ayat 57 dan Al-Isra’ ayat 82 ditegaskan bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh,” ujar Bunda Neng dikutip dalam laman resmi MUI, Kamis (13/10/2022).
Diketahui,pasal santet tertuang dalam Pasal 252 draf RKUHP terbaru dan membuat dua ayat. Pada ayat pertama menerangkan bahwa, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Lalu, pada ayat kedua tertulis "Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)."
Selain itu, MUI mengusulkan Pasal 302 RKUHP mengenai penodaan agama tetap ada. Diketahui pasal tersebut memberikan hukuman kurungan hingga 5 tahun dan sanksi denda bagi penista agama.
"MUI mengusulkan pasal ini tetap karena banyak muslim yang masih merasa tidak enak hati bila agamanya dinoda," ujar dia.
MUI, juga mendukung pasal perzinaan tetap diatur dalam KUHP dengan perubahan menjadi delik aduan. Artinya, orang yang berhak mengadu tidak hanya orang tua, anak, suami dan atau istri, melainkan juga perlu ada tambahan anggota masyarakat yang rasa keadilan dan rasa kesusilaannya terganggu, terutama misalnya aduan tokoh masyarakat setempat.
Selain itu, terkait kohebitasi (kumpul kebo), MUI mengusulkan agar hukumannya yang diatur dalam RKUP diperberat. MUI menilai hukuman 6 bulan untuk kohebitasi, sedangkan pelaku zina dijerat satu tahun.
"Itu akan membuat masyarakat lebih memilih melakukan kohebitasi daripada zina karena hukumannya lebih ringan," ujarnya.
Selain poin-poin di atas, MUI juga menambahkan usulan tentang persetubuhan menyimpang yang belum ada hukum pidananya. Beberapa contohnya antara lain persetubuhan dengan mayat, binatang, anal seks, lesbian, biseksual, maupun homosektual.
“MUI berusaha agar setiap pasal yang ada di dalam undang-undang RUU KUHP itu adalah sesuai agar sesuai dengan hukum Islam. Mari kita bersama-sama berusaha agar nilai agama Islam tetap bertahan di RUU KUHP dengan memberikan masukan kepada pemerintah maupun DPR,"ujar dia.
Hal ini disampaikan saat menggelar Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam, membahas 14 isu krusial RUU KUHP pada hari Rabu (12/10/2022) di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta.
“MUI khawatir ulama tersebut justru dituduh sebagai tukang sihir, padahal dalam Surat Yunus ayat 57 dan Al-Isra’ ayat 82 ditegaskan bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh,” ujar Bunda Neng dikutip dalam laman resmi MUI, Kamis (13/10/2022).
Diketahui,pasal santet tertuang dalam Pasal 252 draf RKUHP terbaru dan membuat dua ayat. Pada ayat pertama menerangkan bahwa, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Lalu, pada ayat kedua tertulis "Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)."
Selain itu, MUI mengusulkan Pasal 302 RKUHP mengenai penodaan agama tetap ada. Diketahui pasal tersebut memberikan hukuman kurungan hingga 5 tahun dan sanksi denda bagi penista agama.
"MUI mengusulkan pasal ini tetap karena banyak muslim yang masih merasa tidak enak hati bila agamanya dinoda," ujar dia.
MUI, juga mendukung pasal perzinaan tetap diatur dalam KUHP dengan perubahan menjadi delik aduan. Artinya, orang yang berhak mengadu tidak hanya orang tua, anak, suami dan atau istri, melainkan juga perlu ada tambahan anggota masyarakat yang rasa keadilan dan rasa kesusilaannya terganggu, terutama misalnya aduan tokoh masyarakat setempat.
Selain itu, terkait kohebitasi (kumpul kebo), MUI mengusulkan agar hukumannya yang diatur dalam RKUP diperberat. MUI menilai hukuman 6 bulan untuk kohebitasi, sedangkan pelaku zina dijerat satu tahun.
"Itu akan membuat masyarakat lebih memilih melakukan kohebitasi daripada zina karena hukumannya lebih ringan," ujarnya.
Selain poin-poin di atas, MUI juga menambahkan usulan tentang persetubuhan menyimpang yang belum ada hukum pidananya. Beberapa contohnya antara lain persetubuhan dengan mayat, binatang, anal seks, lesbian, biseksual, maupun homosektual.
“MUI berusaha agar setiap pasal yang ada di dalam undang-undang RUU KUHP itu adalah sesuai agar sesuai dengan hukum Islam. Mari kita bersama-sama berusaha agar nilai agama Islam tetap bertahan di RUU KUHP dengan memberikan masukan kepada pemerintah maupun DPR,"ujar dia.
(muh)