MPR Sebut Pentingnya Kolaborasi Semua Pihak dalam Mengurangi Risiko Bencana
loading...
A
A
A
Penyebab bencana, kata Agus, karena adanya potensi bahaya dan kerentanan di suatu wilayah. Kerentanan muncul, tambah dia, biasanya karena infrastruktur yang ada tidak memadai dalam menghadapi potensi bencana. Sebagai contoh, ungkap Agus, kawasan rawan banjir, namun masih banyak pemukiman di tepi sungai atau di kawasan rawan gempa, tetapi rumahnya tidak didesain tahan gempa.
Diakui Agus, pola kepemimpinan di setiap daerah sangat menentukan dalam keberhasilan menghadapi ancaman bencana. Komitmen politik setiap pemimpin daerah sangat penting dalam upaya penanggulangannya.
Namun, sesungguhnya lebih dari 96% masyarakatlah yang sangat berperan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehingga penting untuk diupayakan pemberdayaan masyarakat agar tangguh dalam menghadapi bencana. ”Pemahaman terkait ancaman bencana di setiap wilayah akan mengurangi potensi kerentanan suatu kawasan untuk mendorong pengurangan risiko bencana,” katanya.
Anggota Komisi VIII DPR RI Sri Wulan mengungkapkan data BNPB menyebutkan per 1 Januari 2022 hingga 27 Maret 2022 tercatat 1.081 bencana di Indonesia. Sebagian besar bencana terjadi di Pulau Jawa seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor. Bencana alam itu, berdampak terhadap 1,6 juta warga.
”Tingginya risiko bencana itu, mendorong upaya pengurangan risiko bencana yang harus dilihat sebagai upaya investasi untuk mencegah kehilangan masa depan kita,” katanya.
Menurut dia, kearifan lokal dalam pencegahan bencana harus diapresiasi. Karena, sesungguhnya Indonesia bisa melakukan upaya pencegahan bencana dengan cara-cara atau budaya yang telah dipahami secara turun temurun.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA RI, Ratna Susianawati berpendapat tingginya risiko bencana di Indonesia juga menimbulkan kerentanan baru terhadap perempuan dan anak yang dalam kondisi normal pun sudah berhadapan dengan kerentanan dalam keseharian.
”Risiko terbesar dari bencana masih dialami oleh perempuan dan anak. Perlu didorong upaya bagaimana perempuan mampu berdaya dalam suatu kondisi bencana, sehingga perempuan juga bisa sebagai relawan,” katanya.
Menurut Ratna, semua pihak harus membuka ruang-ruang pemberdayaan perempuan pascabencana. Selain itu, ketersediaan data terpilah menjadi sangat penting dalam upaya pemulihan kawasan pascabencana.
Kepala Pusat Studi Bencana, LPPM IPB, Doni Yusri berpendapat dengan keberagaman yang dimiliki negeri ini pasti banyak memiliki pengetahuan lokal untuk mencegah bencana. Namun, kendala saat ini masyarakat lokal kerap termarginalkan. "Sehingga kita seringkali hanya mengedepankan pemanfaatan teknologi sebagai sumber informasi dalam memitigasi bencana," ujarnya.
Diakui Agus, pola kepemimpinan di setiap daerah sangat menentukan dalam keberhasilan menghadapi ancaman bencana. Komitmen politik setiap pemimpin daerah sangat penting dalam upaya penanggulangannya.
Namun, sesungguhnya lebih dari 96% masyarakatlah yang sangat berperan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehingga penting untuk diupayakan pemberdayaan masyarakat agar tangguh dalam menghadapi bencana. ”Pemahaman terkait ancaman bencana di setiap wilayah akan mengurangi potensi kerentanan suatu kawasan untuk mendorong pengurangan risiko bencana,” katanya.
Anggota Komisi VIII DPR RI Sri Wulan mengungkapkan data BNPB menyebutkan per 1 Januari 2022 hingga 27 Maret 2022 tercatat 1.081 bencana di Indonesia. Sebagian besar bencana terjadi di Pulau Jawa seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor. Bencana alam itu, berdampak terhadap 1,6 juta warga.
”Tingginya risiko bencana itu, mendorong upaya pengurangan risiko bencana yang harus dilihat sebagai upaya investasi untuk mencegah kehilangan masa depan kita,” katanya.
Menurut dia, kearifan lokal dalam pencegahan bencana harus diapresiasi. Karena, sesungguhnya Indonesia bisa melakukan upaya pencegahan bencana dengan cara-cara atau budaya yang telah dipahami secara turun temurun.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA RI, Ratna Susianawati berpendapat tingginya risiko bencana di Indonesia juga menimbulkan kerentanan baru terhadap perempuan dan anak yang dalam kondisi normal pun sudah berhadapan dengan kerentanan dalam keseharian.
”Risiko terbesar dari bencana masih dialami oleh perempuan dan anak. Perlu didorong upaya bagaimana perempuan mampu berdaya dalam suatu kondisi bencana, sehingga perempuan juga bisa sebagai relawan,” katanya.
Menurut Ratna, semua pihak harus membuka ruang-ruang pemberdayaan perempuan pascabencana. Selain itu, ketersediaan data terpilah menjadi sangat penting dalam upaya pemulihan kawasan pascabencana.
Kepala Pusat Studi Bencana, LPPM IPB, Doni Yusri berpendapat dengan keberagaman yang dimiliki negeri ini pasti banyak memiliki pengetahuan lokal untuk mencegah bencana. Namun, kendala saat ini masyarakat lokal kerap termarginalkan. "Sehingga kita seringkali hanya mengedepankan pemanfaatan teknologi sebagai sumber informasi dalam memitigasi bencana," ujarnya.