Subsidi BBM dan Moralitas Kita
loading...
A
A
A
Bawono Kumoro
Peneliti Indikator Politik Indonesia
KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi meletupkan polemik di ruang publik. Berbagai elemen kelompok melakukan aksi unjuk rasa demonstrasi menentang hal tersebut. Narasi-narasi mengenai ketidakberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah bawah pun digaungkan secara terus-menerus di ruang publik.
Sebagaimana diketahui, harga solar mengalami kenaikan dari semula Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Harga pertalite naik dari semula Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Adapun pertamax naik dari semula Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
Baca Juga: koran-sindo.com
Keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi memang bukan kebijakan populis, tetapi langkah tidak mudah tersebut harus ditempuh demi meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Beberapa hari sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah telah memberikan tanda-tanda akan menaikkan harga BBM bersubsidi melalui pengurangan jumlah alokasi anggaran subsidi energi dalam APBN 2023. Pemerintah memangkas nilai subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp336,7 triliun.
Nilai itu jauh lebih rendah apabila dibandingkan nilai subsidi dan kompensasi dalam APBN 2022 senilai Rp502,4 triliun. Pemerintah memutuskan langkah kebijakan pengurangan subsidi energi atas dasar pertimbangan apabila tidak dilakukan, besar kemungkinan alokasi anggaran subsidi akan jebol.
Sebelum mengalami kenaikan harga, pertalite Rp7.650 jauh dari harga keekonomian Rp13.150. Sedangkan harga solar sebelum mengalami kenaikan Rp5.150, sangat jauh di bawah harga keekonomian Rp18.000. Selama ini selisih harga tersebut ditanggung oleh negara dijaga agar tetap rendah melalui mekanisme subsidi. Namun, seberapa jauh APBN mampu terus bertahan dengan kebijakan subsidi sangat membebani anggaran negara tersebut?
Padahal, harga BBM di Indonesia saat ini jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga. Sebagai contoh, di Thailand sejenis pertalite dibanderol Rp19.500 per liter. Kemudian, di Vietnam sejenis pertalite dipatok Rp16.645 per liter. Bahkan, BBM sejenis pertalite di Filipina dijual dengan harga Rp21.352 per liter.
Hal yang menarik berdasarkan temuan hasil survei Indikator Politik Indonesia, seberapa besar pengetahuan publik mengenai harga BBM di Indonesia jauh lebih rendah dari harga BBM di negara-negara tetangga menjadi salah satu variabel yang memengaruhi sikap publik terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Indikator Politik Indonesia menggali pengetahuan publik mengenai harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM berlaku di negara-negara lain, seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hasilnya menunjukkan 44,8% responden mengaku mengetahui hal itu. Sedangkan 55,2% responden mengaku tidak mengetahui.
Kemudian saat dilakukan tabulasi silang antara variabel pengetahuan publik terhadap harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga BBM di negara-negara lain, dengan variabel sikap publik terhadap kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM terungkap temuan menarik.
Dari 44,8% responden yang mengetahui harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM di negara-negara lain, 30,7% menyatakan setuju/sangat setuju terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, 68,2% kurang setuju/tidak setuju, dan 1,1% tidak jawab/tidak tahu.
Sedangkan dari 55,2% responden yang tidak mengetahui harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM di negara-negara lain, 18,7% menyatakan setuju/sangat setuju terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Ada 79,2% kurang setuju/tidak setuju, dan 2,1% tidak tahu/tidak jawab. Jadi, tingkat resistensi terhadap kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM lebih rendah terjadi pada kelompok yang memiliki pengetahuan harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM di negara-negara lain.
Dalam hal konsumsi BBM bersubsidi, data Pertamina menunjukkan hingga Juli 2022, pertalite sudah terjual 16,8 juta kiloliter dari kuota 23 juta kiloliter. Kemudian, solar bersubsidi telah terjual 9,9 juta kiloliter dari kuota 14,9 juta kiloliter.
Dari data-data itu diperkirakan kuota pertalite dan solar bersubsidi sudah akan habis pada akhir Oktober mendatang. Hal ini juga menjadi alasan lain mengapa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi sebuah hal tidak terhindarkan.
Subsidi BBM dan kompensasi energi selama ini dialokasikan lebih cenderung dinikmati oleh kelompok tidak berhak atau kelas menengah atas. Hal itu juga terekam dalam survei Indikator Politik Indonesia periode 25 - 21 Agustus 2022.
Melalui survei itu responden diminta untuk memilih salah satu dari dua pendapat. Pendapat pertama adalah meskipun harga BBM dunia mengalami kenaikan pemerintah perlu berusaha agar harga BBM di dalam negeri tidak dinaikkan meskipun itu berisiko kepada kenaikan subsidi atau utang negara.
Pendapat kedua adalah kenaikan harga BBM dunia dan risiko peningkatan subsidi dan utang dapat menjadi alasan untuk menaikkan harga BBM di dalam negeri. Temuan survei menunjukkan 56,2% responden memberikan dukungan terhadap pendapat pertama. Sedangkan 32,4% responden memberikan dukungan terhadap pendapat kedua. Kemudian 11,5% responden lain tidak jawab/tidak tahu.
Kemudian saat dilakukan tabulasi silang antara variabel sikap dukungan terhadap salah satu dari dua pendapat itu dengan variabel pendapatan responden diketahui bahwa dukungan terhadap pendapat pertama dominan datang dari responden berpendapatan menengah atas. Yaitu, responden berpendapatan Rp1.000.000 - < Rp2.000.000 (62,1%), responden berpendapatan Rp2.000.000 - < Rp4.000.000 (55,3%), dan responden berpendapatan > Rp4.000.000 (54,2%). Adapun responden berpendapatan < Rp 1.000.0000 setuju terhadap pendapat pertama sebesar 53,6% saja.
Moralitas
Ketidaktepatan sasaran subsidi BBM dan kompensasi energi selama ini juga menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam moralitas kita dalam berbangsa dan bernegara. Mengapa? Karena, tidak sedikit dari kita selama ini terlanjur ikut menikmati itu, padahal memiliki kemampuan ekonomi sangat baik. Ini adalah bentuk lain dari sebuah tindakan korupsi, mengambil sesuatu yang bukan hak.
Untuk itu, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi kali ini harus juga dijadikan sebagai sebuah momentum untuk memberikan seruan moral secara lebih lantang mengenai keharusan siapa yang berhak menikmati BBM bersubsidi.
Seruan moral ini tentu saja tidak bisa dilakukan seorang diri dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga harus dilakukan oleh akademisi, kaum intelektual, dan juga para ekonom. Kolaborasi bersama ini memiliki sebuah tujuan mulia berupa perbaikan moralitas berbangsa dan bernegara kita.
Seiring hal itu, pemerintah juga memiliki pekerjaan rumah besar untuk segera direalisasikan, yaitu memastikan tata kelola penyaluran BBM bersubsidi jauh lebih baik. Selama tata kelola penyaluran BBM bersubsidi tidak berjalan baik, maka selama itu juga penggunaan BBM bersubsidi tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan APBN terus menerus memikul beban subsidi.
Peneliti Indikator Politik Indonesia
KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi meletupkan polemik di ruang publik. Berbagai elemen kelompok melakukan aksi unjuk rasa demonstrasi menentang hal tersebut. Narasi-narasi mengenai ketidakberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah bawah pun digaungkan secara terus-menerus di ruang publik.
Sebagaimana diketahui, harga solar mengalami kenaikan dari semula Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Harga pertalite naik dari semula Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Adapun pertamax naik dari semula Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
Baca Juga: koran-sindo.com
Keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi memang bukan kebijakan populis, tetapi langkah tidak mudah tersebut harus ditempuh demi meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Beberapa hari sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah telah memberikan tanda-tanda akan menaikkan harga BBM bersubsidi melalui pengurangan jumlah alokasi anggaran subsidi energi dalam APBN 2023. Pemerintah memangkas nilai subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp336,7 triliun.
Nilai itu jauh lebih rendah apabila dibandingkan nilai subsidi dan kompensasi dalam APBN 2022 senilai Rp502,4 triliun. Pemerintah memutuskan langkah kebijakan pengurangan subsidi energi atas dasar pertimbangan apabila tidak dilakukan, besar kemungkinan alokasi anggaran subsidi akan jebol.
Sebelum mengalami kenaikan harga, pertalite Rp7.650 jauh dari harga keekonomian Rp13.150. Sedangkan harga solar sebelum mengalami kenaikan Rp5.150, sangat jauh di bawah harga keekonomian Rp18.000. Selama ini selisih harga tersebut ditanggung oleh negara dijaga agar tetap rendah melalui mekanisme subsidi. Namun, seberapa jauh APBN mampu terus bertahan dengan kebijakan subsidi sangat membebani anggaran negara tersebut?
Padahal, harga BBM di Indonesia saat ini jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga. Sebagai contoh, di Thailand sejenis pertalite dibanderol Rp19.500 per liter. Kemudian, di Vietnam sejenis pertalite dipatok Rp16.645 per liter. Bahkan, BBM sejenis pertalite di Filipina dijual dengan harga Rp21.352 per liter.
Hal yang menarik berdasarkan temuan hasil survei Indikator Politik Indonesia, seberapa besar pengetahuan publik mengenai harga BBM di Indonesia jauh lebih rendah dari harga BBM di negara-negara tetangga menjadi salah satu variabel yang memengaruhi sikap publik terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Indikator Politik Indonesia menggali pengetahuan publik mengenai harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM berlaku di negara-negara lain, seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hasilnya menunjukkan 44,8% responden mengaku mengetahui hal itu. Sedangkan 55,2% responden mengaku tidak mengetahui.
Kemudian saat dilakukan tabulasi silang antara variabel pengetahuan publik terhadap harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga BBM di negara-negara lain, dengan variabel sikap publik terhadap kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM terungkap temuan menarik.
Dari 44,8% responden yang mengetahui harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM di negara-negara lain, 30,7% menyatakan setuju/sangat setuju terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, 68,2% kurang setuju/tidak setuju, dan 1,1% tidak jawab/tidak tahu.
Sedangkan dari 55,2% responden yang tidak mengetahui harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM di negara-negara lain, 18,7% menyatakan setuju/sangat setuju terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Ada 79,2% kurang setuju/tidak setuju, dan 2,1% tidak tahu/tidak jawab. Jadi, tingkat resistensi terhadap kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM lebih rendah terjadi pada kelompok yang memiliki pengetahuan harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah bila dibandingkan harga BBM di negara-negara lain.
Dalam hal konsumsi BBM bersubsidi, data Pertamina menunjukkan hingga Juli 2022, pertalite sudah terjual 16,8 juta kiloliter dari kuota 23 juta kiloliter. Kemudian, solar bersubsidi telah terjual 9,9 juta kiloliter dari kuota 14,9 juta kiloliter.
Dari data-data itu diperkirakan kuota pertalite dan solar bersubsidi sudah akan habis pada akhir Oktober mendatang. Hal ini juga menjadi alasan lain mengapa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi sebuah hal tidak terhindarkan.
Subsidi BBM dan kompensasi energi selama ini dialokasikan lebih cenderung dinikmati oleh kelompok tidak berhak atau kelas menengah atas. Hal itu juga terekam dalam survei Indikator Politik Indonesia periode 25 - 21 Agustus 2022.
Melalui survei itu responden diminta untuk memilih salah satu dari dua pendapat. Pendapat pertama adalah meskipun harga BBM dunia mengalami kenaikan pemerintah perlu berusaha agar harga BBM di dalam negeri tidak dinaikkan meskipun itu berisiko kepada kenaikan subsidi atau utang negara.
Pendapat kedua adalah kenaikan harga BBM dunia dan risiko peningkatan subsidi dan utang dapat menjadi alasan untuk menaikkan harga BBM di dalam negeri. Temuan survei menunjukkan 56,2% responden memberikan dukungan terhadap pendapat pertama. Sedangkan 32,4% responden memberikan dukungan terhadap pendapat kedua. Kemudian 11,5% responden lain tidak jawab/tidak tahu.
Kemudian saat dilakukan tabulasi silang antara variabel sikap dukungan terhadap salah satu dari dua pendapat itu dengan variabel pendapatan responden diketahui bahwa dukungan terhadap pendapat pertama dominan datang dari responden berpendapatan menengah atas. Yaitu, responden berpendapatan Rp1.000.000 - < Rp2.000.000 (62,1%), responden berpendapatan Rp2.000.000 - < Rp4.000.000 (55,3%), dan responden berpendapatan > Rp4.000.000 (54,2%). Adapun responden berpendapatan < Rp 1.000.0000 setuju terhadap pendapat pertama sebesar 53,6% saja.
Moralitas
Ketidaktepatan sasaran subsidi BBM dan kompensasi energi selama ini juga menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam moralitas kita dalam berbangsa dan bernegara. Mengapa? Karena, tidak sedikit dari kita selama ini terlanjur ikut menikmati itu, padahal memiliki kemampuan ekonomi sangat baik. Ini adalah bentuk lain dari sebuah tindakan korupsi, mengambil sesuatu yang bukan hak.
Untuk itu, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi kali ini harus juga dijadikan sebagai sebuah momentum untuk memberikan seruan moral secara lebih lantang mengenai keharusan siapa yang berhak menikmati BBM bersubsidi.
Seruan moral ini tentu saja tidak bisa dilakukan seorang diri dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga harus dilakukan oleh akademisi, kaum intelektual, dan juga para ekonom. Kolaborasi bersama ini memiliki sebuah tujuan mulia berupa perbaikan moralitas berbangsa dan bernegara kita.
Seiring hal itu, pemerintah juga memiliki pekerjaan rumah besar untuk segera direalisasikan, yaitu memastikan tata kelola penyaluran BBM bersubsidi jauh lebih baik. Selama tata kelola penyaluran BBM bersubsidi tidak berjalan baik, maka selama itu juga penggunaan BBM bersubsidi tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan APBN terus menerus memikul beban subsidi.
(bmm)