Masalah Bebasnya Napi Koruptor
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
BERITA bebasnya 23 napi koruptor baru-baru ini ditanggapi serius oleh berbagai pihak. Seolah-olah para napi koruptor tersebut tidak berhak untuk bertobat atau menghirup udara bebas. Padahal kebebasan mereka sungguh-sungguh didasarkan pada hukum yang sah dan berlaku.
Konvensi internasional tentang HAM dan The Standard Minimum of the Treatment of Prisoners tahun 1955 (SMR) telah menegaskan bahwa negara tidak berhak memperlakukan seorang narapidana melebihi ketentuan undang-undang (UU) yang berlaku dan setiap orang tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang tanpa pembatasan yang diatur dalam UU.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala sesuatu pernyataan ataupun sikap masyarakat hanya diperbolehkan sebatas yang diperkenankan berdasarkan UU yang berlaku. Di luar itu termasuk overcriminalization atau overpenalization atau miscarriage of justice atau dalam bahasa sehari-hari bertindak zalim. Itu berarti mereka termasuk kaum zalimin.
Dalam agama apa pun yang dianut di Indonesia, bagi kaum beragama, Allah Swt membuka pintu tobat seluas-luasnya kepada umatnya yang bertobat kecuali sakaratulmaut menjemputnya.
Prihatin melihat reaksi masyarakat yang menolak kebebasan 23 napi koruptor yang demi hukum harus dibebaskan berdasarkan UU yang sah dan berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Masa lalu memang tidak dapat dilupakan, tetapi juga tidak dapat dimaafkan dan dipermainkan.
Jika kita hitung, rata-rata lamanya hukuman napi koruptor lebih dari rata-rata 4 tahun dikelilingi jumlah hari menjalani masa penahanan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas). Mungkin di antara kita sendiri tidak akan ada yang mampu dan sanggup menjalaninya dengan baik sekalipun hukuman yang diterima merupakan konsekuensi dari perbuatan mereka.
Menteri Hukum dan HAM telah lama menyampaikan masalah over-capacity hunian lapas, antara 17.000 hingga 20.000 narapidana. Biaya makan narapidana per hari sebesar Rp71.000, total biaya yang diperlukan untuk sejumlah napi tersebut adalah Rp1.207.000.000 (satu miliar dua ratus tujuh juta rupiah) per hari. Jika koruptor dihukum 4 tahun, negara menanggung beban anggaran sebesar (4×12) × Rp2.550.000000= Rp122.400.000.000 (seratus dua puluh dua miliar empat ratus juta rupiah).
Merujuk pada perhitungan anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk biaya makan napi tersebut selama menjalani hukuman, sangat naif jika kelompok masyarakat tertentu masih menuntut atau meminta pemerintah menghapuskan revisi, asimilasi atau bebas bersyarat. Keadaan lain yang harus menjadi perhatian adalah baik SMR maupun ICCPR di atas memiliki karakteristik kemanusiaan yang adil dan beradab sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila.
Di dalam Surat Al-Maidah ayat 2 telah dikatakan, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan sikapmu menjadi tidak adil.” Reaksi negatif orang per orang atau kelompok tertentu dalam masyarakat terhadap napi koruptor yang bebas bersyarat tersebut menampakkan kebencian yang tidak terkira sehingga sebaiknya dihentikan. Pameo “sekali lancung ke ujian seumur hidup tak dipercaya” benar untuk suatu hal, tetapi tidak selamanya benar untuk lain hal, terutama terhadap keputusan hukum/hakim.
Ayat suci Surat Al-Maidah di dalam Alquran dan Pancasila sejalan dengan dua ketentuan konvensi internasional PBB tersebut. SMR yang telah diakui sejumlah negara merupakan parameter perlakuan minimum bagi narapidana selama menjalani hukumannya dengan beranggapan bahwa narapidana adalah manusia yang masih memiliki hak-hak asasi, termasuk perlindungan hak untuk memperoleh perlakuan yang bermartabat selama menjalani masa hukumannya.
Perkembangan terkini mengenai perlakuan terhadap narapidana, SMR justru merupakan cermin dari peradaban umat manusia abad ke-20–21 yang telah dimulai dengan ICCPR yang telah diberlakukan dengan UU Nomor 12 Tahun 2005.
Pemidanaan terhadap narapidana hanya terjadi setelah narapidana menjalani proses kriminalisasi sebagai tersangka dan terdakwa selama 480 hari sejak tahap penyidikan sampai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan segala risikonya bagi tersangka/terdakwa.
Tampak luar dari perlakuan negara cc pemerintah dengan hak remisi, cuti bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, dan lepas bersyarat merupakan perlakuan “istimewa” terhadap narapidana yang diperoleh secara mudah seolah tanpa persyaratan tertentu, sedangkan di balik hal tersebut terkandung “penderitaan/penjeraan” dalam setiap menit/detik kehidupan narapidana menjalani hukumannya.
Dalam hal inilah kiranya pengamat, baik awam maupun ahli/pemerhati hukum, seyogianya dengan bijak dan atas dasar perikemanusiaan perlu merenungkan dan lebih sering mengunjungi lapas-lapas dan berdialog dengan narapidana sebelum secara bebas dan lepas melontarkan cemoohan kepada para narapidana.
Jargon yang diusung ketika awal reformasi tentang pemberantasan korupsi, zero tolerance to corruption tidak relevan dan bukan saatnya lagi untuk dikembangkan karena baik dari aspek finansial negara maupun aspek tujuan penjeraan selama 70 tahun merdeka tidak pernah tercapai dan sukses. Alih-alih berhasil, sebaliknya negara mengalami beban keuangan yang signifikan melebihi hasil pengembalian kerugian keuangan negara dari korupsi.
Selain itu telah terjadi kemerosotan moral dalam kehidupan narapidana, sedangkan kontribusi pemasyarakatan kepada negara selain tidak memberikan efek jera dalam kehidupan narapidana, juga tidak memberikan kontribusi riil, termasuk pemasukan keuangan negara.
Arah politik hukum pidana khususnya politik pemidanaan tidak lagi semata-mata penjeraan-keadilan retributif saat ini, melainkan pemulihan status harkat martabat narapidana-keadilan restoratif yang berbasis Pancasila.
Perkembangan terkini mengenai perlindungan hak asasi telah diakomodasi di dalam Naskah RUU KUHP/2019–2020 dengan maksud agar sistem hukum pidana mengalami perubahan mendasar mengenai pemidanaan, hak asasi tersangka/terdakwa dan terpidana serta perlakuan yang sama di muka hukum. Tujuannya adalah mencegah kriminalisasi dan penalisasi yang telah merugikan harkat dan martabat kemanusiaan sesama warga masyarakat.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
BERITA bebasnya 23 napi koruptor baru-baru ini ditanggapi serius oleh berbagai pihak. Seolah-olah para napi koruptor tersebut tidak berhak untuk bertobat atau menghirup udara bebas. Padahal kebebasan mereka sungguh-sungguh didasarkan pada hukum yang sah dan berlaku.
Konvensi internasional tentang HAM dan The Standard Minimum of the Treatment of Prisoners tahun 1955 (SMR) telah menegaskan bahwa negara tidak berhak memperlakukan seorang narapidana melebihi ketentuan undang-undang (UU) yang berlaku dan setiap orang tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang tanpa pembatasan yang diatur dalam UU.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala sesuatu pernyataan ataupun sikap masyarakat hanya diperbolehkan sebatas yang diperkenankan berdasarkan UU yang berlaku. Di luar itu termasuk overcriminalization atau overpenalization atau miscarriage of justice atau dalam bahasa sehari-hari bertindak zalim. Itu berarti mereka termasuk kaum zalimin.
Dalam agama apa pun yang dianut di Indonesia, bagi kaum beragama, Allah Swt membuka pintu tobat seluas-luasnya kepada umatnya yang bertobat kecuali sakaratulmaut menjemputnya.
Prihatin melihat reaksi masyarakat yang menolak kebebasan 23 napi koruptor yang demi hukum harus dibebaskan berdasarkan UU yang sah dan berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Masa lalu memang tidak dapat dilupakan, tetapi juga tidak dapat dimaafkan dan dipermainkan.
Jika kita hitung, rata-rata lamanya hukuman napi koruptor lebih dari rata-rata 4 tahun dikelilingi jumlah hari menjalani masa penahanan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas). Mungkin di antara kita sendiri tidak akan ada yang mampu dan sanggup menjalaninya dengan baik sekalipun hukuman yang diterima merupakan konsekuensi dari perbuatan mereka.
Menteri Hukum dan HAM telah lama menyampaikan masalah over-capacity hunian lapas, antara 17.000 hingga 20.000 narapidana. Biaya makan narapidana per hari sebesar Rp71.000, total biaya yang diperlukan untuk sejumlah napi tersebut adalah Rp1.207.000.000 (satu miliar dua ratus tujuh juta rupiah) per hari. Jika koruptor dihukum 4 tahun, negara menanggung beban anggaran sebesar (4×12) × Rp2.550.000000= Rp122.400.000.000 (seratus dua puluh dua miliar empat ratus juta rupiah).
Merujuk pada perhitungan anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk biaya makan napi tersebut selama menjalani hukuman, sangat naif jika kelompok masyarakat tertentu masih menuntut atau meminta pemerintah menghapuskan revisi, asimilasi atau bebas bersyarat. Keadaan lain yang harus menjadi perhatian adalah baik SMR maupun ICCPR di atas memiliki karakteristik kemanusiaan yang adil dan beradab sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila.
Di dalam Surat Al-Maidah ayat 2 telah dikatakan, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan sikapmu menjadi tidak adil.” Reaksi negatif orang per orang atau kelompok tertentu dalam masyarakat terhadap napi koruptor yang bebas bersyarat tersebut menampakkan kebencian yang tidak terkira sehingga sebaiknya dihentikan. Pameo “sekali lancung ke ujian seumur hidup tak dipercaya” benar untuk suatu hal, tetapi tidak selamanya benar untuk lain hal, terutama terhadap keputusan hukum/hakim.
Ayat suci Surat Al-Maidah di dalam Alquran dan Pancasila sejalan dengan dua ketentuan konvensi internasional PBB tersebut. SMR yang telah diakui sejumlah negara merupakan parameter perlakuan minimum bagi narapidana selama menjalani hukumannya dengan beranggapan bahwa narapidana adalah manusia yang masih memiliki hak-hak asasi, termasuk perlindungan hak untuk memperoleh perlakuan yang bermartabat selama menjalani masa hukumannya.
Perkembangan terkini mengenai perlakuan terhadap narapidana, SMR justru merupakan cermin dari peradaban umat manusia abad ke-20–21 yang telah dimulai dengan ICCPR yang telah diberlakukan dengan UU Nomor 12 Tahun 2005.
Pemidanaan terhadap narapidana hanya terjadi setelah narapidana menjalani proses kriminalisasi sebagai tersangka dan terdakwa selama 480 hari sejak tahap penyidikan sampai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan segala risikonya bagi tersangka/terdakwa.
Tampak luar dari perlakuan negara cc pemerintah dengan hak remisi, cuti bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, dan lepas bersyarat merupakan perlakuan “istimewa” terhadap narapidana yang diperoleh secara mudah seolah tanpa persyaratan tertentu, sedangkan di balik hal tersebut terkandung “penderitaan/penjeraan” dalam setiap menit/detik kehidupan narapidana menjalani hukumannya.
Dalam hal inilah kiranya pengamat, baik awam maupun ahli/pemerhati hukum, seyogianya dengan bijak dan atas dasar perikemanusiaan perlu merenungkan dan lebih sering mengunjungi lapas-lapas dan berdialog dengan narapidana sebelum secara bebas dan lepas melontarkan cemoohan kepada para narapidana.
Jargon yang diusung ketika awal reformasi tentang pemberantasan korupsi, zero tolerance to corruption tidak relevan dan bukan saatnya lagi untuk dikembangkan karena baik dari aspek finansial negara maupun aspek tujuan penjeraan selama 70 tahun merdeka tidak pernah tercapai dan sukses. Alih-alih berhasil, sebaliknya negara mengalami beban keuangan yang signifikan melebihi hasil pengembalian kerugian keuangan negara dari korupsi.
Selain itu telah terjadi kemerosotan moral dalam kehidupan narapidana, sedangkan kontribusi pemasyarakatan kepada negara selain tidak memberikan efek jera dalam kehidupan narapidana, juga tidak memberikan kontribusi riil, termasuk pemasukan keuangan negara.
Arah politik hukum pidana khususnya politik pemidanaan tidak lagi semata-mata penjeraan-keadilan retributif saat ini, melainkan pemulihan status harkat martabat narapidana-keadilan restoratif yang berbasis Pancasila.
Perkembangan terkini mengenai perlindungan hak asasi telah diakomodasi di dalam Naskah RUU KUHP/2019–2020 dengan maksud agar sistem hukum pidana mengalami perubahan mendasar mengenai pemidanaan, hak asasi tersangka/terdakwa dan terpidana serta perlakuan yang sama di muka hukum. Tujuannya adalah mencegah kriminalisasi dan penalisasi yang telah merugikan harkat dan martabat kemanusiaan sesama warga masyarakat.
(bmm)