Basri Menyapa Seri 4: Dialog Diri dan Lukisan Alfi

Sabtu, 04 Juli 2020 - 09:31 WIB
loading...
A A A
Pada waktu lain, ia dengan artikulasi yang spesifik, sekaligus intim mengingatkan kita tentang eksistensi hidup manusia yang rapuh. Mahluk yang bersikeras memeluk keabadian. Ini bisa kita jumpai di karya- karya Alfi sekitar pertengahan sampai akhir 2000-an yang berlanjut sampai lima-sepuluh tahunan, dengan serial-nya tentang lukisan berobjek manusia-manusia yang berambisi dalam proses peremajaan.

Dalam saat-saat tertentu, Alfi memang rajin membincangkan yang non inderawiah, mahir menyentuh spiritualitas dengan hidup mengingat kematian. Manusia rapuh saat sama terus-menerus didesak mengoptimalkan kekuatannya memulihkan diri. Tapi maut tentu saja pasti tiba.

Itulah mengapa ia mengakrabi eksplorasi imej-imej raga transenden dan gambar-gambar tragik serupa tengkorak. Hal diatas, bisa juga diterjemahkan sebagai upaya Alfi mencari-cari gagasan baru, ide-ide tentang kelahiran ulangnya sebagai seniman secara terus menerus.

Dengan konteks globalisasi, Alfi dan lukisannya gigih mengorek masa lalu, menghubungkannya dengan pengalaman individual hari ini serta beririsan ingatan tentang Indonesia-Jakarta, Sumatera Barat, Yogjakarta, Berlin, New York sampai Singapura dan Malaysia, tempat-tempat yang sempat dikunjungi; dengan bingkai semacam sejarah personal pun komunal. Ia memampukan diri menghubungkan jarak batiniah menjadi terepresentasikan secara fisik.

Dalam sejarah, disepenjuru hitungan alaf, krisis mengakibatkan manusia terpapar derita dan mampu mengubahnya seketika. Demikian pula seniman, yang memang takdirnya membawa mereka suntuk menandai zaman beradaptasi pada realitas anyar. Alfi tahu benar pandemi mencipta krisis, dan beberapa tahun terakhir ia makin matang menuruni palung-palung pergulatan estetis tentang apa itu seni, lukisan dan dirinya sebagai subjek pencipta.

Ia perlahan menanggalkan yang diluar, kulit-kulit ari. Dalam relasi pengertian ini, malahan ia “selamat” di masa pandemi. Berkah yang tetiba menyapa. Sebagai subyek, ia mampu melepas perlahan otoritasnya sebagai pencipta namun setara dengan obyeknya, yakni lukisan yang memberinya 'kebebasan berbicara' pada penciptanya.

Wabah Covid-19 memang momen istimewa menekuri (mengisolasi) sejauh mana seseorang pergi dan akhirnya sedemikian dekat ia sebenarnya berpulang. Tafakur dalam seni memberi dua arah pencerahan: menguatkan yang lemah sembari memeluk potensi yang bersemayam sejak lama: penerimaan total akan hidup.

Pandemi justru memberi kekuatan tak kasat mata, yang biasanya sunyi tak berbicara, menyingkap suara batin menjadi nyaring terdengar. Karya-karya mutakhirnya bisa kita temui menampakkan representasi riil tubuh lelaki (dirinya sendiri).

Ia berpunggung telanjang, sementara horizon nun jauh menampak sederet imej deretan gunung atau bukit? Secara bersamaan, berhadapan telak dengan tembok-tembok yang dicorat-coret dengan teks- teks yang nirmakna dan visualisasi abstraktif lain yang cerderung berwarna muram.

Ia memandu kita bagaimana sejatinya bahasa terpiuh, teks maupun yang visual saling berkontraksi antar elemen. Mereka mencipta makna-makna baru atau konfigurasi perlambangan tertentu yang malahan menghilangkan sama sekali arti yang ajeg.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1166 seconds (0.1#10.140)