Nomor 1 di ASEAN, Militer Indonesia Harus Kuat dan Modern
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kekuatan militer Indonesia pada 2020 berada di posisi 16 dari 137 negara. Indonesia nomor 1 di ASEAN, mengungguli Singapura dan Malaysia. Meski membanggakan, capaian ini tak lantas membuat jemawa. Meski unggul personel dan jumlah alat utama sistem senjata (alutsista), dalam hal modernisasi persenjataan Indonesia masih tertinggal.
Pandemi Covid-19 yang menyerang hampir seluruh negara di dunia tak menyurutkan negara-negara di dunia menyiagakan kekuatan militernya. Hal ini dilakukan mengingat ketegangan politik di sejumlah kawasan masih terus terjadi. Di Laut China Selatan, misalnya, aksi perang urat syaraf antara Amerika Serikat dan China tetap berlangsung, meski di saat yang sama kedua negara harus berperang mengatasi pandemi. Melihat realitas ini, sudah sepantasnya Indonesia juga terus meningkatkan kekuatan militernya.
Pada awal Desember 2019, atau dua bulan pascadilantik sebagai menteri pertahanan, Prabowo Subianto memuji kekuatan militer Indonesia. Kondisi alutsista RI disebutnya sudah membanggakan. Prabowo selanjutnya akan fokus dengan pengadaan pesawat tempur, kapal, dan radar, termasuk industri peluru dengan mendorong PT Pindad. Prabowo optimistis Indonesia akan lebih mandiri di bidang alutsista dalam lima tahun ke depan.
Pernyataan Prabowo ini sejalan dengan peringkat kekuatan militer Indonesia 2020 yang dirilis Global Fire Power. Dengan menempati posisi di urutan ke-16 di dunia, Indonesia menjadi teratas di Asia Tenggara. Dalam hal kemampuan personel militer, Indonesia memang tidak diragukan. Prajurit TNI memiliki keterampilan dan kemampuan tempur yang banyak dipuji banyak negara. Begitu pun jumlah alutsista tiga angkatan militer yang ada, Indonesia tergolong besar. Namun, kekuatan militer ini belum tentu mencerminkan ketahanan Indonesia tatkala harus menghadapi perang. (Baca: KSAD Dukung program Bela Negara untuk Milenial)
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi, mengatakan, pemeringkatan seperti yang dibuat Global Fire Power wajar membuat bangga, namun jangan sampai membuat terlena. Indonesia memang unggul dalam hal skill personel militer dan jumlah alutsista, namun jika ukurannya modernisasi alutsista, Indonesia masih terkendala.
“Dibanding Singapura kita memang unggul dan wajar peringkat ke-16 dunia dan terbaik di ASEAN itu. Tapi dalam hal modernisasi alutsista, kita masih di bawah Singapura,” katanya ketika dihubungi kemarin.
Muradi juga mengingatkan bahwa fokus perhatian pemerintah saat ini seharusnya bukan hanya penguatan alutsista karena perang di masa depan tidak lagi fisik atau negara tampil berhadap-hadapan. Model pertempuran sudah berubah, di antaranya perang siber dan perang bio. (Baca juga: AS Buru Empat Kapal Tanker Iran)
Karena itu, perlu dipikirkan sistem penguatan pada bidang lain, misalnya pertahanan siber, bukan hanya kekuatan konvensional. Karena itu, ke depan tak lagi sekadar membangun SDM karena pada dasarnya personel TNI dinilai sudah kompetitif. Bahkan, personel militer 400.000 dianggap sudah cukup dan tidak perlu lagi ditambah. “Jika perangnya konvensionl kita mungkin menang, tapi kalau perangnya mixed antara cyber war dan bio-terror, kita tertinggal. Nah, ini pekerjaan rumahnya,” tunjuk Muradi.
Di lain pihak, DPR mengapresiasi Indonesia yang menempati urutan ke-16 kekuatan militer dunia. Anggota Komisi I DPR Dave Akbarshah Laksono menyebut militer dalam negeri mumpuni karena jumlah personel TNI aktif mencapai 400.000 orang dan wilayah yang diamankan pun jauh lebih luas ketimbang negara tetangga.
Di tengah meningkatnya eskalasi kawasan, termasuk di Laut China Selatan, penguatan militer memang hal yang tidak bisa ditawar. Dia menyebut ancaman Indonesia tinggi sehingga mengharuskannya memiliki kekuatan pertahanan yang mumpuni. (Baca juga: Panglima TNI Minta Alumni Akabri 1995 Jaga Soliditas)
Dave setuju bahwa jumlah personel dan banyaknya alutsista tidak lantas membuat militer sebuah negara dinilai kuat sehingga mampu menciptakan efek gentar pada lawan. Kuncinya adalah modernisasi alutsista. Dia mencontohkan Singapura. Meskipun itu negara kecil dan personelnya sedikit, pengadaan alutsista di Singapura lebih cepat dan lebih lengkap. Begitu juga Malaysia yang wilayahnya jauh lebih kecil ketimbang Indonesia. Dia setuju dengan pandangan bahwa alutsista Indonesia masih perlu dimodernisasi, dilengkapi dan juga ditambah di setiap matra TNI. Begitu juga dengan pelatihan para personel TNI. “Sekarang seberapa kuat komitmen pemerintah, seberapa besar keinginan pemerintah untuk mau memperkuat itu,” katanya.
Postur pertahanan diakui Indonesia juga masih memiliki sejumlah kekurangan. Misalnya dari segi anggaran yang masih belum optimal. Pada pembahasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021, Kementerian Pertahanan (Kemhan) mendapatkan pagu indikatif Rp129 triliun atau mendekati Rp130 triliun. Namun, karena dinilai kurang, Kemhan mengusulkan tambahan sekitar Rp19 triliun sehingga mencapai Rp150 triliun. Jumlah ini pun masih jauh dari kebutuhan pertahanan yang sesungguhnya.
Menurut Dave, Komisi I DPR mendukung penambahan anggaran untuk Kemenhan karena ancamannya memang nyata. Di lain sisi, DPR juga memaklumi kemampuan pemerintah. (Lihat videonya: Modus Baru Napi Asimilasi Masuk Hotel Incar HP)
Terkait masalah anggaran, Menhan Prabowo Subianto mengaku senang karena kementerian yang dipimpinnya mendapatkan dukungan penuh dari semua fraksi di Komisi I DPR untuk meningkatkan pada 2021. Hal itudisampaikan Prabowo seusai mengikuti rapat anggaran dengan Komisi I DPR pada 18 Juni lalu.
Meski demikian, Ketua Umum Partai Gerindra ini dapat memahami bahwa tahun-tahun ini pemerintah harus prihatin karena Indonesia dan juga dunia tengah menghadapi pandemi Covid-19. Dalam kondisipandemi, bukan hanya anggaran pertahanan yang harus menjadi perhatian pemerintah. Melainkan juga harus memperhatikan tenaga medis dan meningkatkan pelayanan kesehatan, serta menghidupkan kembali ekonomi. Namun dia tetap optimistis untuk pertahanan ini karena mendapatkan dukungan DPR untuk memperkuat Indonesia (Kiswondari/Bakti)
Pandemi Covid-19 yang menyerang hampir seluruh negara di dunia tak menyurutkan negara-negara di dunia menyiagakan kekuatan militernya. Hal ini dilakukan mengingat ketegangan politik di sejumlah kawasan masih terus terjadi. Di Laut China Selatan, misalnya, aksi perang urat syaraf antara Amerika Serikat dan China tetap berlangsung, meski di saat yang sama kedua negara harus berperang mengatasi pandemi. Melihat realitas ini, sudah sepantasnya Indonesia juga terus meningkatkan kekuatan militernya.
Pada awal Desember 2019, atau dua bulan pascadilantik sebagai menteri pertahanan, Prabowo Subianto memuji kekuatan militer Indonesia. Kondisi alutsista RI disebutnya sudah membanggakan. Prabowo selanjutnya akan fokus dengan pengadaan pesawat tempur, kapal, dan radar, termasuk industri peluru dengan mendorong PT Pindad. Prabowo optimistis Indonesia akan lebih mandiri di bidang alutsista dalam lima tahun ke depan.
Pernyataan Prabowo ini sejalan dengan peringkat kekuatan militer Indonesia 2020 yang dirilis Global Fire Power. Dengan menempati posisi di urutan ke-16 di dunia, Indonesia menjadi teratas di Asia Tenggara. Dalam hal kemampuan personel militer, Indonesia memang tidak diragukan. Prajurit TNI memiliki keterampilan dan kemampuan tempur yang banyak dipuji banyak negara. Begitu pun jumlah alutsista tiga angkatan militer yang ada, Indonesia tergolong besar. Namun, kekuatan militer ini belum tentu mencerminkan ketahanan Indonesia tatkala harus menghadapi perang. (Baca: KSAD Dukung program Bela Negara untuk Milenial)
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi, mengatakan, pemeringkatan seperti yang dibuat Global Fire Power wajar membuat bangga, namun jangan sampai membuat terlena. Indonesia memang unggul dalam hal skill personel militer dan jumlah alutsista, namun jika ukurannya modernisasi alutsista, Indonesia masih terkendala.
“Dibanding Singapura kita memang unggul dan wajar peringkat ke-16 dunia dan terbaik di ASEAN itu. Tapi dalam hal modernisasi alutsista, kita masih di bawah Singapura,” katanya ketika dihubungi kemarin.
Muradi juga mengingatkan bahwa fokus perhatian pemerintah saat ini seharusnya bukan hanya penguatan alutsista karena perang di masa depan tidak lagi fisik atau negara tampil berhadap-hadapan. Model pertempuran sudah berubah, di antaranya perang siber dan perang bio. (Baca juga: AS Buru Empat Kapal Tanker Iran)
Karena itu, perlu dipikirkan sistem penguatan pada bidang lain, misalnya pertahanan siber, bukan hanya kekuatan konvensional. Karena itu, ke depan tak lagi sekadar membangun SDM karena pada dasarnya personel TNI dinilai sudah kompetitif. Bahkan, personel militer 400.000 dianggap sudah cukup dan tidak perlu lagi ditambah. “Jika perangnya konvensionl kita mungkin menang, tapi kalau perangnya mixed antara cyber war dan bio-terror, kita tertinggal. Nah, ini pekerjaan rumahnya,” tunjuk Muradi.
Di lain pihak, DPR mengapresiasi Indonesia yang menempati urutan ke-16 kekuatan militer dunia. Anggota Komisi I DPR Dave Akbarshah Laksono menyebut militer dalam negeri mumpuni karena jumlah personel TNI aktif mencapai 400.000 orang dan wilayah yang diamankan pun jauh lebih luas ketimbang negara tetangga.
Di tengah meningkatnya eskalasi kawasan, termasuk di Laut China Selatan, penguatan militer memang hal yang tidak bisa ditawar. Dia menyebut ancaman Indonesia tinggi sehingga mengharuskannya memiliki kekuatan pertahanan yang mumpuni. (Baca juga: Panglima TNI Minta Alumni Akabri 1995 Jaga Soliditas)
Dave setuju bahwa jumlah personel dan banyaknya alutsista tidak lantas membuat militer sebuah negara dinilai kuat sehingga mampu menciptakan efek gentar pada lawan. Kuncinya adalah modernisasi alutsista. Dia mencontohkan Singapura. Meskipun itu negara kecil dan personelnya sedikit, pengadaan alutsista di Singapura lebih cepat dan lebih lengkap. Begitu juga Malaysia yang wilayahnya jauh lebih kecil ketimbang Indonesia. Dia setuju dengan pandangan bahwa alutsista Indonesia masih perlu dimodernisasi, dilengkapi dan juga ditambah di setiap matra TNI. Begitu juga dengan pelatihan para personel TNI. “Sekarang seberapa kuat komitmen pemerintah, seberapa besar keinginan pemerintah untuk mau memperkuat itu,” katanya.
Postur pertahanan diakui Indonesia juga masih memiliki sejumlah kekurangan. Misalnya dari segi anggaran yang masih belum optimal. Pada pembahasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021, Kementerian Pertahanan (Kemhan) mendapatkan pagu indikatif Rp129 triliun atau mendekati Rp130 triliun. Namun, karena dinilai kurang, Kemhan mengusulkan tambahan sekitar Rp19 triliun sehingga mencapai Rp150 triliun. Jumlah ini pun masih jauh dari kebutuhan pertahanan yang sesungguhnya.
Menurut Dave, Komisi I DPR mendukung penambahan anggaran untuk Kemenhan karena ancamannya memang nyata. Di lain sisi, DPR juga memaklumi kemampuan pemerintah. (Lihat videonya: Modus Baru Napi Asimilasi Masuk Hotel Incar HP)
Terkait masalah anggaran, Menhan Prabowo Subianto mengaku senang karena kementerian yang dipimpinnya mendapatkan dukungan penuh dari semua fraksi di Komisi I DPR untuk meningkatkan pada 2021. Hal itudisampaikan Prabowo seusai mengikuti rapat anggaran dengan Komisi I DPR pada 18 Juni lalu.
Meski demikian, Ketua Umum Partai Gerindra ini dapat memahami bahwa tahun-tahun ini pemerintah harus prihatin karena Indonesia dan juga dunia tengah menghadapi pandemi Covid-19. Dalam kondisipandemi, bukan hanya anggaran pertahanan yang harus menjadi perhatian pemerintah. Melainkan juga harus memperhatikan tenaga medis dan meningkatkan pelayanan kesehatan, serta menghidupkan kembali ekonomi. Namun dia tetap optimistis untuk pertahanan ini karena mendapatkan dukungan DPR untuk memperkuat Indonesia (Kiswondari/Bakti)
(ysw)