Sosialisasi RKUHP, BIN Buka Dialog dengan Masyarakat Sulawesi

Jum'at, 30 September 2022 - 13:12 WIB
loading...
Sosialisasi RKUHP, BIN...
BIN menggelar Partisipasi Publik RUU KUHP di Claro Hotel, Makassar, Jumat (30/9/2022). Dialog publik dilakukan secara hybrid, dihadiri peserta baik secara offline maupun online. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
MAKASSAR - Badan Intelijen Negara (BIN) menjaring partisipasi publik mengenai Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RKUHP ). Salah satunya dengan yang menggelar Partisipasi Publik RUU KUHP di Claro Hotel, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (30/9/2022). Dialog publik dilakukan secara hybrid, dihadiri peserta baik secara offline maupun online.

Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Tata Laksana BIN Gede Agung Patra W menjelaskan, RKUHP merupakan upaya pemerintah untuk menyusun ulang KUHP lama (rekodifikasi) peninggalan Belanda. KUHP baru nanti diharapkan dapat membawa harmonisasi perkembangan hukum pidana yang bersifat universal berdasarkan asas Pancasila.

"Dengan disahkannya nanti KUHP baru, maka asas bernegara kita (Pancasila) itu akan dikomunikasikan sedemikian rupa di dalam KUHP ini karena sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tentu asas KUHP yang lama bentukan dari pemerintah Hindia Belanda tidak bersumber dari asas Pancasila yang kita anut," kata Agung.

BIN berkomitmen terus mensosialisasikan dan menjaring partisipasi publik agar RKUHP dapat disahkan DPR dan diterima masyarakat. Komitmen ini sesuai amanah Presiden Joko Widodo pada 6 Agustus 2022.

"Kami akan terus mengupayakan sosialisasi agar kesadaran masyarakat terbentuk. Bahwa RKUHP hasil pembahasan panjang pemerintah dan DPR ini merupakan upaya pembaruan hukum Nasional," ujarnya.

Dialog publik ini menghadirkan tiga narasumber yakni Guru Besar Hukum Universitas Negeri Semarang Benny Riyanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, serta Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Yenti Garnasih.

Benny Riyanto mengatakan, melihat usianya KUHP peninggalan Belanda jelas tidak mengikuti perkembangan norma dan budaya bangsa. Selain itu, KUHP yang digunakan sekarang juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum karena berbahasa asli Belanda dan tidak memiliki terjemahan resmi Indonesia.

Menurut Benny, KUHP lama merupakan wetboek van strafrecht atau KUHP Kolonial dan disusun dengan orientasi keadilan retributif atau keadilan pembalasan. Padahal, pidana modern telah beralih kepada keadilan korektif, rehabilitative, dan restoratif.

"Oleh karena itu para ahli hukum kita sepakat untuk segera melakukan pembaharuan KUHP yang sudah ada yaitu melalui RKUHP yang ada saat ini," imbuhnya.

Pengesahan RKUHP sempat ditunda lantaran ada penolakan dari masyarakat terhadap 14 isu krusial. Di antaranya living law, pidana mati, serta penghinaan terhadap presiden.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Prof Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan, pemerintah berupaya menyelesaikan kontroversi tersebut dengan membuka partisipasi publik. Hasilnya dua dari 14 isu kontroversial yakni mengenai dokter gigi yang melakukan praktik tanpa izin dan advokat curang sudah ditanggalkan dari RKUHP.

Harkristuti juga menerangkan terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 218, 219, 220 dengan ancaman pidana 3,5 tahun. Menurutnya, ini merupakan delik aduan dan tidak bertujuan membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat.

"Pertama kebebasan berekspresi itu diatur dalam konstitusi dan kemudian kita juga sudah merumuskannya yang sekarang juga sudah ada di RKUHP. Jadi kita juga ingin mengajak masyarakat untuk lebih cerdas berpikir bahwa yang dilarang adalah apabila (demo) tetapi dia menimbulkan kerusuhan," jelasnya.

Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Yenti Garnasih menyebut, terdapat 17 keunggulan RKUHP. Tiga di antaranya pertama, RKUHP sebagai pedomaan pemidanaan yang mengatur kewajiban hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, RKUHP menjadi pertimbangan bagi hakim sebelum menjatuhkan pidana serta penentuan sanksi pidana dengan mengumpulkan pendapat para ahli.

Ketiga, hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, segi keadilan dan kemanusiaan.

"Rasa yang timbul bahwa hukum tajam ke bawah tumpul ke atas semoga tidak terjadi lagi, karena dari apa yang unggul tadi ada dorongan untuk restoratif justice terutama pidana ringan tidak usah masuk penjara. Jika ancaman pidananya tinggi, hakim tidak boleh main-main dengan memberi hukuman sangat rendah. Itukan yang diinginkan, terutama ketika narapidana berat seperti korupsi itu hakim bisa menjatuhkan pidana tambahan dengan tidak memberikan haknya untuk bebas bersyarat. Ini kan cocok sekali dengan keadaan sekarang," tuturnya.

Dalam acara ini, BIN berkolaborasi dengan 10 kementerian/ lembaga di antaranya Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Kemenkoinfo, Kemenag, Kejagung, Polri, Kantor Staf Presiden, dan Staf Khusus Presiden. Sejumlah elemen yang hadir di antaranya civitas perguruan tinggi dan akademisi, organisasi profesi hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama dan adat, organisasi kemahasiswaan, organisasi kepemudaan, organisasi masyarakat sipil, penegak hukum, dan elemen lain di Sulawesi Selatan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1190 seconds (0.1#10.140)