Industrialisasi Kunci Sukses Ekonomi Pancasila
loading...
A
A
A
Muhammad Husni Abdul Fatah
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
SETIAP kali memperingati Hari Kesaktian Pancasila, kita kembali diingatkan bahwa keretakan antarwarga negara kelak akan menciptakan biaya yang tidak murah: sebuah pengalaman traumatis yang diwariskan antargenerasi dalam perasaan yang sulit digambarkan. Pada hakikatnya, kita disadarkan bahwa Pancasila, dan berdirinya negara ini tidak lain bertujuan untuk mengejar impian kebahagiaan, kesejahteraan, dan perdamaian. Dan, memang seperti itulah, bayang-bayang para pendiri bangsa dalam memaknai negara ini.
Konsekuensinya adalah, Pancasila hadir dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ide-ide ekonomi. Akan tetapi, ide Ekonomi Pancasila seakan-akan tidak dilibatkan dalam berbagai diskusi-diskusi ekonomi. Ia luput dalam pembicaraan mengenai inflasi, nilai tukar, hingga pertumbuhan ekonomi.
Padahal, struktur ekonomi kita memiliki peranan penting dalam menentukan seberapa rekat dan retaknya kehidupan berbangsa negara kita. Sebuah negara yang memiliki ketimpangan yang tinggi, maka potensi konflik akan terus ada. Termasuk menjadi masalah apabila konflik dengan asal muasal vertikal (perbedaan status sosial) mulai masuk memengaruhi sendi-sendi keberagaman horizontal: agama, suku, dan budaya.
Demokratisasi Ekonomi
Diskusi ekonomi kita terkadang sebatas berputar pada isu berkurangnya subsidi BBM, penerimaan pajak yang rendah, tingginya angka pengangguran dan ketimpangan, atau pertumbuhan ekonomi yang “mandek” di angka lima persen tiap tahunnya. Kenyataannya, semua tantangan itu berkaitan dengan struktur ekonomi kita, dan untuk memperbaikinya, kebijakan reforma industri, alias industrialisasi bisa menjadi jawabannya.
Sangat jarang bagi sebuah negara, untuk dapat menjadi negara maju dan berpenghasilan tinggi tanpa melakukan industrialisasi, alias transformasi struktural. Itulah bukti empirik yang ditemukan oleh berbagai ekonom lintas zaman. Bahkan, Studwell (2014) dalam How Asia Works menyebutkan bahwa negara-negara yang “gagal” dalam industrialisasi tetap berhasil dalam menciptakan perbedaan yang signifikan ketimbang negara yang sama sekali tidak melakukannya.
Dalam sejarah, industrialisasi berhasil menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi. Sebagai game changer, ia benar-benar meningkatkan tingkat produktivitas hingga ke level yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Hal ini berdampak pada meningkatnya tingkat kompleksitas ekonomi, pembukaan lapangan pekerjaan formal yang luas, hingga penguasaan teknologi yang masif. Sehingga sukses menciptakan efek berantai (multiplier) pada ekonomi secara keseluruhan.
Dalam konteks ekonomi Pancasila yang menekankan pada upaya menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, industrialisasi merupakan faktor pendorong adanya demokratisasi ekonomi. Baik secara langsung melalui implikasinya di pasar ketenagakerjaan, maupun melalui peningkatan kapasitas fiskal. Industrialisasi menciptakan kondisi yang unik bagi demokrasi.
Besarnya lapangan kerja yang diciptakan di sektor ini, dengan pekerjaan yang semakin terspesialisasikan membuat mobilisasi massa politik oleh elite pragmatis menjadi semakin sulit dilakukan. Noort (2021) menggambarkan bahwa besarnya lapangan kerja di manufaktur, akan menciptakan redistribusi kekuatan politik secara relatif dari elitE otokrasi menjadi milik masyarakat luas. Kasus ini terjadi di berbagai negara, terutama Jerman.
Tentu proses demokratisasi melalui industrialisasi ini menjadi antitesis dengan struktur ekonomi yang berbasiskan komoditas semata. Walaupun komoditas dapat menjadi penyumbang pendapatan yang besar, sektor ini memiliki potensi dalam mendorong ketimpangan pendapatan. Seperti yang dialami Indonesia saat commodity boom di batu bara dan minyak sawit pada awal 2000-an (Arief dkk, 2014).
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
SETIAP kali memperingati Hari Kesaktian Pancasila, kita kembali diingatkan bahwa keretakan antarwarga negara kelak akan menciptakan biaya yang tidak murah: sebuah pengalaman traumatis yang diwariskan antargenerasi dalam perasaan yang sulit digambarkan. Pada hakikatnya, kita disadarkan bahwa Pancasila, dan berdirinya negara ini tidak lain bertujuan untuk mengejar impian kebahagiaan, kesejahteraan, dan perdamaian. Dan, memang seperti itulah, bayang-bayang para pendiri bangsa dalam memaknai negara ini.
Konsekuensinya adalah, Pancasila hadir dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ide-ide ekonomi. Akan tetapi, ide Ekonomi Pancasila seakan-akan tidak dilibatkan dalam berbagai diskusi-diskusi ekonomi. Ia luput dalam pembicaraan mengenai inflasi, nilai tukar, hingga pertumbuhan ekonomi.
Padahal, struktur ekonomi kita memiliki peranan penting dalam menentukan seberapa rekat dan retaknya kehidupan berbangsa negara kita. Sebuah negara yang memiliki ketimpangan yang tinggi, maka potensi konflik akan terus ada. Termasuk menjadi masalah apabila konflik dengan asal muasal vertikal (perbedaan status sosial) mulai masuk memengaruhi sendi-sendi keberagaman horizontal: agama, suku, dan budaya.
Demokratisasi Ekonomi
Diskusi ekonomi kita terkadang sebatas berputar pada isu berkurangnya subsidi BBM, penerimaan pajak yang rendah, tingginya angka pengangguran dan ketimpangan, atau pertumbuhan ekonomi yang “mandek” di angka lima persen tiap tahunnya. Kenyataannya, semua tantangan itu berkaitan dengan struktur ekonomi kita, dan untuk memperbaikinya, kebijakan reforma industri, alias industrialisasi bisa menjadi jawabannya.
Sangat jarang bagi sebuah negara, untuk dapat menjadi negara maju dan berpenghasilan tinggi tanpa melakukan industrialisasi, alias transformasi struktural. Itulah bukti empirik yang ditemukan oleh berbagai ekonom lintas zaman. Bahkan, Studwell (2014) dalam How Asia Works menyebutkan bahwa negara-negara yang “gagal” dalam industrialisasi tetap berhasil dalam menciptakan perbedaan yang signifikan ketimbang negara yang sama sekali tidak melakukannya.
Dalam sejarah, industrialisasi berhasil menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi. Sebagai game changer, ia benar-benar meningkatkan tingkat produktivitas hingga ke level yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Hal ini berdampak pada meningkatnya tingkat kompleksitas ekonomi, pembukaan lapangan pekerjaan formal yang luas, hingga penguasaan teknologi yang masif. Sehingga sukses menciptakan efek berantai (multiplier) pada ekonomi secara keseluruhan.
Dalam konteks ekonomi Pancasila yang menekankan pada upaya menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, industrialisasi merupakan faktor pendorong adanya demokratisasi ekonomi. Baik secara langsung melalui implikasinya di pasar ketenagakerjaan, maupun melalui peningkatan kapasitas fiskal. Industrialisasi menciptakan kondisi yang unik bagi demokrasi.
Besarnya lapangan kerja yang diciptakan di sektor ini, dengan pekerjaan yang semakin terspesialisasikan membuat mobilisasi massa politik oleh elite pragmatis menjadi semakin sulit dilakukan. Noort (2021) menggambarkan bahwa besarnya lapangan kerja di manufaktur, akan menciptakan redistribusi kekuatan politik secara relatif dari elitE otokrasi menjadi milik masyarakat luas. Kasus ini terjadi di berbagai negara, terutama Jerman.
Tentu proses demokratisasi melalui industrialisasi ini menjadi antitesis dengan struktur ekonomi yang berbasiskan komoditas semata. Walaupun komoditas dapat menjadi penyumbang pendapatan yang besar, sektor ini memiliki potensi dalam mendorong ketimpangan pendapatan. Seperti yang dialami Indonesia saat commodity boom di batu bara dan minyak sawit pada awal 2000-an (Arief dkk, 2014).