Alasan DPR Cabut 16 RUU dari Prolegnas Prioritas Tidak Substantif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sikap Badan Legislasi (Baleg) DPR mencabut 16 RUU dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 menyulut kritik dari publik. Salah satunya dari Forum Masyarakat Perduli Parlemen (Formappi).
Peneliti Formappi Lucius Karus menilai, dalam kondisi ketidakmampuan tersebut, DPR justru seolah-olah bernafsu. Parlemen selalu muncul dengan target prioritas bombastis setiap tahun dan periode. “Target bombastis mengekspresikan nafsu yang besar. Tetapi nafsu saja tanpa mempertimbangkan kemampuan sebenarnya membuat DPR nampak seperti terjangkit ejakulasi dini,” celetuk Lucius saat dihubungi SINDOnews, Jumat (3/7/2020). (Baca juga: DPR-Pemerintah Sepakat Hapus 16 RUU dari Prolegnas 2020)
Nafsu besar tanpa topangan tenaga itu membuat DPR memutuskan 16 RUU Prioritas 2020 disingkirkan dari daftar. Menurut dia, alasan yang disampaikan DPR sangat tidak substantif dan cenderung teknis dengan berdalih beban terlalu banyak dan pandemi tak memungkinkan kerja yang leluasa. “DPR seperti sedang ingin menelanjangi kegagapan mereka dalam membahas RUU. Ini menjelaskan kenapa DPR selama ini tak pernah berhasil menggenjot hasil legislasi setiap tahun. Ternyata (DPR) tak mampu,” ujarnya. (Baca juga: Tunda RUU PKS Lagi, DPR Dinilai Tak Peka Korban Kekerasan)
Ironisnya, sudah mengeluarkan 16 RUU, justru parlemen malah mau menambah tiga RUU baru lagi. Lucius menduga parlemen seperti mempunyai kepentingan dibalik penambahan RUU tersebut. “Mereka nampaknya punya kepentingan dengan tiga RUU tambahan baru agar tak terkesan menambah jumlah RUU prioritas. Jika ketiganya ditambahkan, mereka pun mencoret 16 RUU agar terlihat fokus,” singgungnya lagi.
Tanpa dikeluarkan dari daftar Prolegnas 2020, lanjut Lucius, 16 RUU yang dicoret itu bisa tetap ada tanpa disentuh sampai akhir tahun. Menurutnya, sudah lazim bahkan sudah tradisi DPR hanya bisa menyelesaikan sedikit RUU dari jumlah target setiap tahun. “Jadi kalau pun tenaga loyo, ya sudah, DPR tetap bisa membiarkan begitu aja RUU yang mangkrak sampai akhir tahun. Publik kok yang biasanya peduli, bukan DPR,” tukas dia.
Lantaran itu, Lucius memandang tak ada makna dibalik pencoretan 16 RUU tersebut. Sebaliknya, kritik publik yang justru melihat perencanaan DPR acakadut.
Peneliti Formappi Lucius Karus menilai, dalam kondisi ketidakmampuan tersebut, DPR justru seolah-olah bernafsu. Parlemen selalu muncul dengan target prioritas bombastis setiap tahun dan periode. “Target bombastis mengekspresikan nafsu yang besar. Tetapi nafsu saja tanpa mempertimbangkan kemampuan sebenarnya membuat DPR nampak seperti terjangkit ejakulasi dini,” celetuk Lucius saat dihubungi SINDOnews, Jumat (3/7/2020). (Baca juga: DPR-Pemerintah Sepakat Hapus 16 RUU dari Prolegnas 2020)
Nafsu besar tanpa topangan tenaga itu membuat DPR memutuskan 16 RUU Prioritas 2020 disingkirkan dari daftar. Menurut dia, alasan yang disampaikan DPR sangat tidak substantif dan cenderung teknis dengan berdalih beban terlalu banyak dan pandemi tak memungkinkan kerja yang leluasa. “DPR seperti sedang ingin menelanjangi kegagapan mereka dalam membahas RUU. Ini menjelaskan kenapa DPR selama ini tak pernah berhasil menggenjot hasil legislasi setiap tahun. Ternyata (DPR) tak mampu,” ujarnya. (Baca juga: Tunda RUU PKS Lagi, DPR Dinilai Tak Peka Korban Kekerasan)
Ironisnya, sudah mengeluarkan 16 RUU, justru parlemen malah mau menambah tiga RUU baru lagi. Lucius menduga parlemen seperti mempunyai kepentingan dibalik penambahan RUU tersebut. “Mereka nampaknya punya kepentingan dengan tiga RUU tambahan baru agar tak terkesan menambah jumlah RUU prioritas. Jika ketiganya ditambahkan, mereka pun mencoret 16 RUU agar terlihat fokus,” singgungnya lagi.
Tanpa dikeluarkan dari daftar Prolegnas 2020, lanjut Lucius, 16 RUU yang dicoret itu bisa tetap ada tanpa disentuh sampai akhir tahun. Menurutnya, sudah lazim bahkan sudah tradisi DPR hanya bisa menyelesaikan sedikit RUU dari jumlah target setiap tahun. “Jadi kalau pun tenaga loyo, ya sudah, DPR tetap bisa membiarkan begitu aja RUU yang mangkrak sampai akhir tahun. Publik kok yang biasanya peduli, bukan DPR,” tukas dia.
Lantaran itu, Lucius memandang tak ada makna dibalik pencoretan 16 RUU tersebut. Sebaliknya, kritik publik yang justru melihat perencanaan DPR acakadut.
(cip)