Ketegangan antara Taiwan dan Daratan China Belum Mereda, Masalah Keluarga atau Masalah Dunia Internasional?

Minggu, 25 September 2022 - 20:09 WIB
loading...
Ketegangan antara Taiwan...
Wasekjen VI bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo, Harryanto Aryodiguno, Ph.D. FOTO/PARTAI PERINDO
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang,
Wasekjen VI bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo

KETERANGAN antara otoritas Taipei dan Beijing meningkat akhir-akhir ini karena akibat dari kunjungan ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan pada tanggal 2 Agustus 2022. Pelosi tidak menghiraukan peringatan China tentang dampak yang akan terjadi kalau petinggi AS itu menginjakkan kakinya ke Taiwan. Alhasil, selama dan sesudah kunjungan Pelosi ke Taiwan, militer Daratan China menyatakan kondisi selat Taiwan dalam siaga militer satu, yang artinya militer Daratan sudah siap mengambil tindakan yang perlu termasuk serangan militer apabila kunjungan tersebut membuat otoritas Taiwan merasa semakin mendapat dukungan dari negara luar untuk merdeka.

Banyak pihak, dalam hal ini termasuk akademisi maupun pejabat dari Indonesia dan negara lainnya yang menyatakan kekwatiran akan terjadinya perang antara Taiwan dan Daratan Tiongkok. Pemerhati Masalah China-Taiwan maupun pejabat dari berbagai negara meramalkan bahwa Taiwan akan menjadi "Ukraina yang kedua" apabila terjadinya pergolakan di selat Taiwan. Kekhawatiran ini bisa dimaklumi karena semenjak terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina, telah terjadi banyak masalah di dunia internasional yang menyebabkan penderitaan rakyat meningkat, seperti kurangnya pasokan batubara, makanan maupun gas alam lainnya di benua Eropa, dan lain-lain yang mengguncang kehidupan rakyat dan kestabilan ekonomi dan politik di berbagai Kawasan.

Akan tetapi, apabila para pemerhati hubungan Taiwan dan Daratan China memahami bahwa Taiwan dan Daratan bukanlah Rusia dan Ukraina, dan antara Daratan dan Taiwan sudah sering terjadi ketegangan jauh sebelum kunjungan dari Nancy Pelosi. Peperangan antar kedua otoritas China tidak akan terjadi apabila kita memahami sejarah dan permasalahan kedua pihak, bahkan tidak mungkin pula kalau ternyata suatu hari pemerintah Indonesia yang berdaulat bisa ikut serta menyelesaikan kekisruhan yang terjadi di selat Taiwan ini.

Kilas Balik Perpisahan Taiwan dan Daratan Tiongkok
Jepang menjajah Taiwan ketika Taiwan masih berada di bawah kekuasaan dinasti Qing pada tahun 1874. Tentu saja pendudukan Jepang terhadap Taiwan mendapat perlawanan yang sengit dari penduduk Taiwan. Berbeda dengan negara penjajah lainnya, kecerdikan Jepang adalah melakukan Japanisasi dengan pendidikan selain tentunya dengan kekuatan senjata. Proses pen-jepang-an di Taiwan berhasil dalam bidang pendidikan di Taiwan, dan berhasil membentuk pemikiran penduduk Taiwan bahwa mereka adalah bagian dari kekaisaran Jepang yang mempunyai tujuan mulia, yaitu memakmurkan Asia Timur.

Oleh karena itu, ketika Jepang kalah pada perang dunia ke-2, dan sesuai dengan "Deklarasi Kairo" bahwa Taiwan harus dikembalikan kepada China, dalam hal ini Republik China (pemerintahan nasionalis/KMT) menimbulkan gejolak di masyarakat Taiwan sendiri. Sebagian generasi tua yang masih merasa bahwa diri mereka atau identitas mereka sebagai warga negara dinasti Qing yang digantikan oleh Republik China tentu saja menyambut kembalinya Taiwan ke China dengan suka cita. Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah ter-Japanisasi melalui pendidikan? Atau generasi muda saat itu.

Kedatangan pemerintah Republik China ke Taiwan melalui Gubernur jenderal Chen Yi telah menimbulkan rasa antipati dari generasi muda Taiwan saat itu, terutama pegawai negeri, polisi, tuan tanah, penguasa maupun mereka-mereka yang mendapat keuntungan selama masa pendudukan Jepang. Terlebih pemerintah pusat dari Nanjing mengutus Gubernur Jenderal yang notabene bukan putra asli Taiwan, tentu saja kesalahpahaman dan perlawanan dari penduduk Taiwan kepada otoritas yang diutus dari pemerintah pusat tak pernah putus. Itulah ketegangan pertama antara penduduk lokal Taiwan dengan pemerintah pusat di Nanjing yang saat itu masih dipegang oleh Republik China atau Chiang Kai Shek.

Republik China di bawah Chiang Kai Shek, pada awal-awal baru merdeka dari Jepang, juga tak putus-putusnya bertahan hidup menghadapi berbagai serangan dari oposisi yang tidak menyukai pemerintahan Republik China, terutama dari Partai Komunis yang dipimpin oleh Mao Tze Tung dan kawan-kawan. Seperti negara-negara lainnya yang baru bebas dari penjajahan asing, memang tidak gampang untuk menstabilkan berbagai bidang kehidupan seperti kesejahteraan, ekonomi, keamanan maupun kemakmuran rakyat.

Komunis menggunakan kesempatan ini untuk menggulingkan pemerintahan yang sah pada saat itu. Perang saudara antara pemerintah pusat dalam hal ini tantara Chiang Kai Shek yang lebih dikenal dengan kubu Kuomintang atau KMT dengan gerilyawan komunis yang kemudian mengakibatkan kalahnya Chiang Kai Shek dan membuat pemerintah yang sah semakin terpukul mundur sampai wilayah Taiwan. Inilah ketegangan kedua kalinya antara pemerintah China (Kuomintang yang mengungsi ke Taiwan atau selanjutnya disebut Taiwan) dengan pemerintah baru di China yang menamakan dirinya Republik Rakyat China(RRC) yang berasaskan nilai-nilai komunis.

Pemerintah Komunis China yang ber-ibu kota di Beijing pada saat itu belum mendapat pengakuan dari dunia luar, meskipun secara de-facto saat itu komunis atau RRC telah berhasil menguasai hampir seluruh wilayah China. Dunia internasional tetap mengakui pemerintah Chiang Kai Shek atau Republik China yang ber-ibu kota di Taipei sebagai satu-satu nya negara yang mewakili China dan mendapat kursi di Dewan keamanan PBB.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1196 seconds (0.1#10.140)