OTT Hakim Agung dan Pudarnya Wibawa Hukum

Jum'at, 23 September 2022 - 18:22 WIB
loading...
OTT Hakim Agung dan...
Tantangan pemberantasan korupsi di Indonesia menemui jalan terjal. Tidak jarang aparat penegak hukum justru yang terlibat dalam tindak pidana korupsi dengan menerima suap dari pihak yang berperkara. (KORAN SINDO/Wawan Bastian)
A A A
UPAYA penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi di Indonesia terancam gagal. Hingga saat ini aparat hukum kita belum juga mampu menghentikan laju korupsi yang terjadi di Tanah Air.

Bahkan, tidak jarrang aparat hukum sendiri yang berkhianat dan menjadi pelaku dalam tidak pidana korupsi tersebut. Kasus terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar dugaan korupsi pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) yang melibatkan oknum hakim agung

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung di Jakarta dan Semarang pada Kamis (22/9/2022), petugas dari lembaga antirasuah berhasil mengamankan hakim MA beserta barang bukti berupa uang yang kini masih dihitung jumlahnya. Penangkapan hakim oleh KPK bukan baru kali ini saja. Sebelumnya, KPK telah berhasil menjebloskan hakim-hakim nakal yang diduga kuat terlibat jual beli perkara.

KPK maupun aparat berwenang lain seperti Polri dan Kejaksaan Agung juga telah berhasil membekuk aparat hukum, tidakbhanya oknum hakim, melainkan juga kalangan kepolisian, jaksa, Komisi Yudisial (KY), hingga Mahkamah Konstitusi (MK).

Sehingga dengan kenyataan tersebut bisa dikatakan bahwa penegakan hukum tidak boleh lagi dilakukan secara biasa-biasa saja. Perlu upaya yang luar biasa agar penegakan kasus korupsi benar-benar memberikan hasil yang nyata.

Apakah dengan dibentuknya KPK sejak 2002 pemberantasan kasus korupsi hilang? Tidak juga. Hingga 20 tahun berselang, kita masih sering mendengar berita-berita penangkapan para pejabat negara yang terlibat kasus korupsi baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif.

Jadi penegakan hukum kasus korupsi seakan tidak punya taji yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku maupun masyarakat lain. Selama pemberantasan korupsi tak bisa memberikan efek jera sampai kapan pun korupsi akan terus menjadi masalah serius negara ini.

Ada sejumlah faktor mengapa penegakan hukum kasus korupsi terkesan tidak bertaji. Pertama, lagi-lagi soal vonis yang diberikan para hakim cenderung masih terlalu rendah untuk kelas kejahatan luar biasa seperti kasus korupsi.

Kalau kita merujuk data yang dibeberkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2021 saja, rata-rata vonis yang dijatuhkan hanya sekitar 3 tahun 5 bulan penjara. Angka itu merupakan rata-rata dari akumulasi vonis dari kasus yang terjadi di sepanjang tahun 2021.

Berdasarkan kategorinya, ada 929 terdakwa kasus koripsi divonis ringan, lalu 319 terdakwa diputus sedang serta hanya 13 terdakwa saja yang dihukum diatas 10 tahun penjara.

Memang kalau dibandingkan tahun sebelumnya, ada peningkatan rata-rata vonis. Tahun 2020, ICW merilis rata-rata vonis kasus korupsi sebanyak 3 tahun 1 bulan dari 1.219 perkara dengan jumlah terdakwa sebanyak 1.298 orang mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga tingkat MA.

Meski trennya naik, namun vonis tersebut masih tergolong sangat ringan bagi seorang koruptor yang telah merusak negara ini. sehingga sangat wajar jika penegakan hukum selama ini tidak menimbulkan efek jera.

Kedua, adanya upaya pelemahan KPK baik melalui revisi UU KPK maupun pemecatan puluhan pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan dinilai telah menurunkan wibawa dan kekuatan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

KPK yang seharusnya diperkuat untuk bisa maksimal dalam bekerja menghentikan laju korupsi justru mengalami nasib nahas. Sehingga kita lihat korupsi masih saja marak terjadi karena lembaga penegak hukum yang dinilai sudah tidak bertaji lagi.

Ketiga, masih ada pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi. Meski hal tersebut legal namun kebijakan itu sangat tidak bijaksana di kala Indonesia masih dibelenggu korupsi.

Pada awal bulan ini kita bersama menyaksikan puluhan terpidana kasus korupsi bisa melenggang bebas keluar penjara berbekal surat remisi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Sebut saja mantan Jaksa Pinangki, seorang aparat yang harusnya mendapat hukuman berat dengan berbagai ‘’akrobat hukum’’ namun dalam kenyataannya hanya menjalani hukuman kurang dari 4 tahun penjara. Ini dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat karena hukuman yang dijalani tidak sebanding dengan kejahatannya.

Tentu masih banyak faktor lain kenapa korupsi masih subur tumbuh di negara ini. Yang jelas, saat ini masyarakat bisa melihat bahwa upaya pemberantasan korupsi masih kurang serius dan kurang gereget. Jika kondisi seperti ini dibiarkan tanpa ada kebijakan luar biasa, harapan Indonesia bebas korupsi hanya akan menjadi mimpi belaka.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1115 seconds (0.1#10.140)