Demokrasi dan Kesejahteraan

Rabu, 21 September 2022 - 05:18 WIB
loading...
Demokrasi dan Kesejahteraan
Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Foto; Ist)
A A A
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo

DALAM beberapa bulan terakhir publik disuguhi intensitas pertemuan-pertemuan antarelite politik dalam rangka membangun koalisi menuju Pemilu 2024. Koalisi memang merupakan hal lumrah untuk dilakukan dalam bangunan sistem pemerintahan di sejumlah negara.

Dalam konteks politik ketatanegaraan di Indonesia, hal itu relevan mengingat aturan ambang batas pencalonan presiden yang mengharuskan setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden mendapatkan dukungan minimal 25% suara nasional atau 20% kursi di DPR. Keberadaan aturan ini kemudian menjadi salah satu pendorong utama di balik pembentukan koalisi partai-partai politik.

Karena itu, pembentukan koalisi partai politik selama ini memang lebih ditujukan bagi kepentingan untuk mengusung pasangan calon dalam kontestasi pemilihan presiden. Hal ini semakin tidak terbantahkan apabila melihat sejarah dari pembentukan koalisi partai politik di Indonesia sejak pemilihan presiden secara langsung diberlakukan 18 tahun lalu. Pembentukan koalisi partai politik sangat terkait erat dengan persoalan kandidasi.

Pembentukan koalisi partai politik di Indonesia seperti di atas cenderung bersifat pragmatis. Hal itu karena pembentukan koalisi partai politik selama ini bukan didasarkan untuk mengimplementasikan platform kebijakan tertentu, melainkan lebih kepada tujuan untuk memenangkan kontestasi elektoral dalam rangka memperoleh kekuasaan.

Dengan dorongan motivasi utama seperti itu, dapat dipastikan pembentukan koalisi partai politik akan lintas ideologi—melibatkan berbagai spektrum ideologi berbeda-beda. Karakter koalisi terbentuk bukan atas dasar kesamaan platform kebijakan tertentu.

Padahal, publik yang saat ini tengah menghadapi kondisi pemulihan ekonomi pascapendemi tentu saja sangat berharap berbagai pertemuan dan komunikasi politik dilakukan oleh elite-elite partai saat ini tidak sekadar menjadi sebuah pertemuan bersifat elitis, melainkan juga menjadi pintu harapan bagi masa depan lebih baik bagi kehidupan mereka.

Reorientasi Politik Kesejahteraan
Kehadiran pandemi Covid-19 di Indonesia sejak Februari 2020 tidak dapat dimungkiri telah membuat bangsa ini mengalami hampir kelumpuhan total. Selama lebih dari dua tahun terakhir kondisi perekonomian Indonesia terdampak hebat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2020 tumbuh 2,97%.

Angka ini melambat dari capaian 4,97% pada kuartal IV/2019. Menginjak kuartal II/2020 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32% dan minus 3,49% pada kuartal III/2020. Kemudian pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2020 tercatat minus 2,19%. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi secara kumulatif atau sepanjang tahun itu minus 2,07%.

Alhasil, Indonesia masuk dalam kondisi resesi ekonomi karena mengalami pertumbuhan negara dalam dua kuartal secara berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kali pertama mengalami kontraksi sejak krisis moneter 1998.

Singkat kata, pandemi mengakibatkan penurunan di berbagai sektor ekonomi sebagai konsekuensi pemberlakuan pembatasan sosial selama pandemi berlangsung. Pandemi telah meruntuhkan hampir seluruh kegiatan perekonomian. Kelompok sosial ekonomi menengah-bawah pun menjadi kelompok paling terdampak.

Pandemi yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun ini menghadirkan sebuah pelajaran penting dan sangat berharga bagi bangsa ini, yaitu memastikan kehadiran negara agar publik tidak merasa sendirian dalam menghadapi cobaan mahaberat akibat pandemi tersebut.

Negara harus menunjukkan kehadiran diri dengan memastikan kelompok-kelompok paling terdampak pandemi dapat terlindungi bagi dari segi ekonomi maupun juga kesehatan. Itulah esensi dari kehadiran sebuah negara sebagaimana juga ditegaskan dalam konstitusi.

Dalam konteks itu, diskursus mengenai reorientasi arah politik kesejahteraan menjadi salah satu hal mendasar untuk digulirkan untuk ditujukan sebagai sebuah gagasan atau juga platform kebijakan di masa mendatang.

Dalam konteks pengelolaan negara, secara garis besar, reorientasi politik kesejahteraan penting untuk ditekankan pada dua hal: (1) perluasan akses dan peluang kepada seluruh warga negara untuk meningkatkan taraf hidup mereka, dan (2) pengaturan institusional negara melalui instrumen-instrumen kebijakan yang dimiliki untuk memastikan kesejahteraan dapat terdistrubusi secara adil dan merata.

Bukan lagi sekadar pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui indikator-indikator makroekonomi, tetapi juga bagaimana kelembagaan negara dapat dikelola dengan baik sehingga dapat menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang membawa kesejahteraan bagi semua.

Melalui dua hal itu di atas, politik kesejahteraan harus menjadi landasan pijakan untuk menopang seluruh produk kebijakan negara. Bahkan, dalam skala lebih luas produk kebijakan negara tidak terbatas pada eksekutif, tetapi juga legislatif.

Lalu hal apa harus dilakukan untuk memastikan agar setiap produk kebijakan dihasilkan mengandung semangat reorientasi politik kesejahteraan sebagaimana penulis telah sampaikan di atas. Paling tidak, dari sisi politik terdapat tiga langkah penting dan mendasar dapat dilakukan.

Pertama, negara harus mampu menjadikan sistem jaminan sosial saat ini telah berjalan dapat terus berlangsung dan semakin baik hingga dapat menjadi tulang punggung utama mencapai kesejateraan bersama. Saat pandemi menghantam negara ini dan juga negara-negara lain di seluruh dunia, program perlindungan sosial menjadi hal paling diandalkan dalam mengurangi dampak negatif ditimbulkan oleh pandemi.

Kedua, politik kesejahteraan harus berpijak pada prinsip bahwa pertumbuhan ekonomi serta hasil pembangunan harus berorientasi pada pemerataan ekonomi secara berkeadilan agar tidak ditemui lagi kemiskinan ekstrem dan kesenjangan tinggi.

Paradigma pembangunan ekonomi negara di masa mendatang harus jauh lebih inklusif dengan tidak sekadar memastikan pelibatan seluruh warga negara dalam pembangunan ekonomi oleh negara, tetapi juga mengedepankan pemerataan akses pembangunan.

Tidak boleh ada lagi pembangunan berparadigma eksklusif dengan pola terkonsentrasi dan menguntungkan sebagian kelompok tertentu saja. Untuk itu, eksistensi dari musyawarah perencanaan pembangunan sebagai forum pertemuan bersama untuk merencanakan pembangunan ekonomi nasional dan daerah selama ini telah berlangsung harus terus dijaga dan disempurnakan secara terus-menerus agar semakin partisipatif.

Ketiga, menciptakan sebuah pemerintahan kuat dan responsif juga menjadi langkah mendasar lain penting dilakukan dalam rangka memastikan setiap produk kebijakan yang dihasilkan oleh negara mengandung semangat reorientasi politik kesejahteraan.

Sekali lagi, pandemi mengajarkan pada kita semua betapa penting memiliki sebuah pemerintahan kuat dan responsif agar tidak jatuh terlalu dalam krisis. Pemerintahan kuat dan responsif dapat diwujudkan melalui inovasi-inovasi di bidang public services.

Dalam konteks negara demokrasi modern, inovasi di bidang itu menjadi tanda paling utama dari kehadiran dari sebuah negara. Karena warga negara sebagai pemegang kedaulatan negara harus dapat menikmati hak-hak dasar mereka dan menjadi tugas negara untuk memastikan hal itu dapat terwujud secara optimal melalui public services.

Tiga langkah mendasar di atas mutlak harus dilakukan untuk menegaskan kembali arah baru politik kesejahteraan di negara ini pascapendemi. Memunculkan kembali kehadiran dan peran negara sebagai institusi memiliki tanggung jawab melindungi seluruh warga negara melalui serangkaian produk kebijakan dihasilkan. Setiap produk kebijakan dihasilkan negara harus dapat memberikan dorongan hidup terhadap kelompok-kelompok selama ini tersisih dari pembangunan ekonomi.

Problem riil warga negara seperti kemiskinan, kesenjangan, ketimpangan, serta kesempatan untuk bekerja dan berusaha harus menjadi poros utama dalam setiap proses perumusan produk kebijakan. Bandul pendulum kebijakan eksekutif maupun legislatif harus digerakkan menuju arah peningkatan kesejahteraan hidup seluruh warga negara

Komitmen Partai Perindo
Sejak awal berdiri Partai Perindo memiliki komitmen untuk merealisasikan kesejahteraan secara lebih luas melalui sejumlah langkah konkret yang telah dilakukan selama ini, antara lain mendorong akses permodalan dan pelatihan keterampilan secara memadai bagi usaha mikro, kecil, dan menengah.

Kelompok ini harus didorong maju agar mereka dapat naik kelas dengan memperoleh penghasilan jauh lebih baik dari saat ini. Melalui program pemberian bantuan gerobak dan modal usaha bagi para pedagang dan usaha kecil menengah, Partai Perindo telah memulai untuk melakukan hal itu sejak beberapa tahun terakhir.

Selain itu, diperlukan dorongan agar terjadi perubahan terhadap postur anggaran pendapatan dan belanja negara agar lebih berorientasi pada pencapaian kesejahteraan secara lebih luas agar kesenjangan ekonomi dapat kian dipersempit. Dalam konteks itu, Partai Perindo bertekad untuk memperoleh kursi secara signifikan dalam parlemen di tingkat pusat maupun di tingkat daerah melalui Pemilu 2024.

Dengan demikian, Partai Perindo dapat turut memastikan agar setiap produk kebijakan dihasilkan negara di masa mendatang selalu mengandung semangat reorientasi politik kesejahteraan sebagaimana penulis sampaikan di atas.

Harus disadari bersama, demokrasi yang saat ini kita nikmati tidak boleh sekadar dimaknai secara prosedural, tetapi juga jauh lebih penting untuk dimaknai secara lebih substantif. Demokrasi bukan sekadar kesempatan yang sama dalam kontestasi elektoral, tetapi juga harus berkaitan dengan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil dan merata.

Tidak bisa tidak, demokrasi harus berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1690 seconds (0.1#10.140)