Sejarah dan Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Renville
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perjanjian Renville memiliki sejarah dan latar belakang yang menarik untuk dibahas. Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk mempertahankan kedaulatannya dari ancaman negara lain termasuk Belanda yang ingin mengulang kembali sejarah.
Seperti yang diketahui, pasca kemerdekaan Indonesia, Belanda melakukan agresi militer dengan tujuan kembali menguasai nusantara. Berbagai bentuk perlawanan tentu tetap dilakukan para pejuang, baik melalui perlawanan fisik maupun jalur diplomasi.
Baca juga : USS Renville, Veteran Tiga Perang yang Berakhir di Galangan Penghancur Kapal
Perjanjian Renville sendiri menjadi salah satu contoh bentuk perjuangan jalur diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia guna mempertahankan kedaulatannya. Disadur dari jurnal berjudul Politik Diplomasi Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Perjanjian Renville karya Ervani, dkk, Perundingan Renville terjadi saat Amir menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia.
Semua berawal ketika Amir Syarifudin diangkat menggantikan kabinet Sjahrir. Kala itu, Presiden Soekarno memberi mandat kepada Amir untuk membentuk kabinet baru yang resmi berdiri pada 3 Juli 1947.
Adapun tujuan pembentukan Kabinet Amir ini agar bisa menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Belanda yang terus mengganggu kedaulatan Indonesia.
Dalam berbagai upaya yang ditempuh, PBB kemudian campur tangan dan membentuk Komisi Tiga Negara yang beranggotakan Belgia, Australia, dan Amerika Serikat sebagai wakil PBB.
KTN inilah yang akan menjadi penengah perundingan Lanjutan antara RI dan Belanda. Amir Syarifudin selaku Perdana Menteri meminta kepada KTN agar jalannya perundingan dilakukan di luar wilayah Belanda untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Akhirnya, atas usulan KTN, kedua belah pihak setuju mengadakan perundingan di atas kapal laut yang berlabuh di luar zona tiga mil dan dianggap sebagai tempat netral. Kapal yang digunakan adalah USS Renville milik Amerika Serikat.
Perjanjian Renville di bawah pengawasan KTN dimulai pada 8 Desember 1947. Delegasi RI
diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dengan Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua, serta beberapa anggota delegasi lainnya.
Sedangkan delegasi Belanda berjumlah 13 orang ditambah 2 sekretaris. Salah satu delegasinya adalah orang Indonesia yang Pro Belanda, yakni Abdulkadir Widjojoatmodjo yang menjadi ketuanya.
Dalam perundingan ini diawali dengan pidato pembukaan masing-masing perwakilan
delegasi. Amir Syarifudin sendiri yang berlaku sebagai ketua delegasi Indonesia menyampaikan pidatonya dengan optimis.
Namun berjalannya perundingan ini menjadi semakin alot karena dari pihak Indonesia dan Belanda memiliki pandangan dan keyakinan yang berseberangan tentang konflik yang dialaminya.
Situasi berubah menjadikan Indonesia terjepit. Sembari meminta pandangan tokoh-tokoh nasional Indonesia, Amir pada akhirnya mengambil keputusan untuk menandatangani perundingan tersebut.
Baca juga : Peristiwa Rengasdengklok, Tonggak Sejarah Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Pada 17 Januari 1948, perjanjian Renville resmi disepakati dan ditandatangani. Dalam hasilnya, wilayah kekuasaan Indonesia menjadi lebih sempit dan hanya meliputi Jawa Tengah, ujung barat Jawa, dan Banten.
Selain itu, Perjanjian Renville ini menghasilkan 10 pasal gencatan senjata, 12 prinsip politik, 6 pasal tambahan dari prinsip dari KTN dan secara langsung menuai reaksi keras dari pihak Indonesia.
Secara keseluruhan, hasil dari Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia. Kecaman dan bentuk kekecewaan terlontar kepada Amir Syarifudin yang berlaku sebagai ketua delegasi.
Pada akhirnya, Amir memilih untuk mengundurkan diri dari kursi pemerintahan dan mengembalikan mandat Perdana Menteri Indonesia kepada Presiden Soekarno.
Selain mempersempit wilayah RI, Perjanjian Renville juga menimbulkan perpecahan di tubuh pemerintahan. Masyumi dan PNI yang menjadi pendukung Kabinet Amir mulai menarik diri.
Seperti yang diketahui, pasca kemerdekaan Indonesia, Belanda melakukan agresi militer dengan tujuan kembali menguasai nusantara. Berbagai bentuk perlawanan tentu tetap dilakukan para pejuang, baik melalui perlawanan fisik maupun jalur diplomasi.
Baca juga : USS Renville, Veteran Tiga Perang yang Berakhir di Galangan Penghancur Kapal
Perjanjian Renville sendiri menjadi salah satu contoh bentuk perjuangan jalur diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia guna mempertahankan kedaulatannya. Disadur dari jurnal berjudul Politik Diplomasi Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Perjanjian Renville karya Ervani, dkk, Perundingan Renville terjadi saat Amir menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia.
Semua berawal ketika Amir Syarifudin diangkat menggantikan kabinet Sjahrir. Kala itu, Presiden Soekarno memberi mandat kepada Amir untuk membentuk kabinet baru yang resmi berdiri pada 3 Juli 1947.
Adapun tujuan pembentukan Kabinet Amir ini agar bisa menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Belanda yang terus mengganggu kedaulatan Indonesia.
Dalam berbagai upaya yang ditempuh, PBB kemudian campur tangan dan membentuk Komisi Tiga Negara yang beranggotakan Belgia, Australia, dan Amerika Serikat sebagai wakil PBB.
KTN inilah yang akan menjadi penengah perundingan Lanjutan antara RI dan Belanda. Amir Syarifudin selaku Perdana Menteri meminta kepada KTN agar jalannya perundingan dilakukan di luar wilayah Belanda untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Akhirnya, atas usulan KTN, kedua belah pihak setuju mengadakan perundingan di atas kapal laut yang berlabuh di luar zona tiga mil dan dianggap sebagai tempat netral. Kapal yang digunakan adalah USS Renville milik Amerika Serikat.
Perjanjian Renville di bawah pengawasan KTN dimulai pada 8 Desember 1947. Delegasi RI
diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dengan Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua, serta beberapa anggota delegasi lainnya.
Sedangkan delegasi Belanda berjumlah 13 orang ditambah 2 sekretaris. Salah satu delegasinya adalah orang Indonesia yang Pro Belanda, yakni Abdulkadir Widjojoatmodjo yang menjadi ketuanya.
Dalam perundingan ini diawali dengan pidato pembukaan masing-masing perwakilan
delegasi. Amir Syarifudin sendiri yang berlaku sebagai ketua delegasi Indonesia menyampaikan pidatonya dengan optimis.
Namun berjalannya perundingan ini menjadi semakin alot karena dari pihak Indonesia dan Belanda memiliki pandangan dan keyakinan yang berseberangan tentang konflik yang dialaminya.
Situasi berubah menjadikan Indonesia terjepit. Sembari meminta pandangan tokoh-tokoh nasional Indonesia, Amir pada akhirnya mengambil keputusan untuk menandatangani perundingan tersebut.
Baca juga : Peristiwa Rengasdengklok, Tonggak Sejarah Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Pada 17 Januari 1948, perjanjian Renville resmi disepakati dan ditandatangani. Dalam hasilnya, wilayah kekuasaan Indonesia menjadi lebih sempit dan hanya meliputi Jawa Tengah, ujung barat Jawa, dan Banten.
Selain itu, Perjanjian Renville ini menghasilkan 10 pasal gencatan senjata, 12 prinsip politik, 6 pasal tambahan dari prinsip dari KTN dan secara langsung menuai reaksi keras dari pihak Indonesia.
Secara keseluruhan, hasil dari Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia. Kecaman dan bentuk kekecewaan terlontar kepada Amir Syarifudin yang berlaku sebagai ketua delegasi.
Pada akhirnya, Amir memilih untuk mengundurkan diri dari kursi pemerintahan dan mengembalikan mandat Perdana Menteri Indonesia kepada Presiden Soekarno.
Selain mempersempit wilayah RI, Perjanjian Renville juga menimbulkan perpecahan di tubuh pemerintahan. Masyumi dan PNI yang menjadi pendukung Kabinet Amir mulai menarik diri.
(bim)