New Normal dan Imunitas Spiritual
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
DENGAN alasan masing-masing, sebagian besar negara di dunia mulai melonggarkan kebijakan pembatasan sosial atau karantina wilayah yang sempat diterapkan untuk mengendalikan penularan Covid-19, tak terkecuali di sebagian wilayah di Indonesia. Kondisi ini dikenal dengan istilah new normal atau kenormalan baru yang bermakna segala aktivitas tetap dilakukan, tetapi dengan kesadaran protokol kesehatan yang ketat untuk menekan persebaran Covid-19.
Secara kesehatan, kenormalan baru bisa dibilang lebih berbahaya bila dibandingkan kebijakan pembatasan sosial atau bahkan karantina wilayah. Sebab aktivitas di luar rumah berpotensi menjadi media persebaran Covid-19 akibat perjumpaan yang ada antarmanusia. Semakin banyak aktivitas di luar rumah, semakin tinggi pula potensi terinfeksi Covid-19. Namun sebagian besar negara di dunia secara terpaksa menerapkan kebijakan kenormalan baru untuk menahan dampak-dampak buruk dari Covid-19, khususnya di sektor ekonomi. Terlebih hampir dapat dipastikan vaksin dari Covid-19 tidak akan berhasil disiapkan dalam waktu dekat ini. Berdasarkan perkembangan sementara, kemungkinan besar vaksin Covid-19 baru akan siap pada awal tahun depan.
Oleh karenanya, dengan diterapkannya kenormalan baru oleh banyak negara, hal ini menunjukkan bahwa tak ada negara mana pun di dunia ini yang siap menerapkan pembatasan sosial atau bahkan karantina wilayah hingga awal tahun depan. Itu sebabnya kenormalan baru menjadi pilihan walaupun harus dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat sebagai upaya membatasi persebaran Covid-19.
Virus spiritual
Hal yang harus dipahami Bersama adalah, dilihat dari dampak yang ditimbulkan, Covid-19 tak hanya bisa dikategorikan sebagai virus yang menyerang kesehatan. Lebih dari itu Covid-19 dapat disebut sebagai virus spiritual ataupun keimanan. Sebagai virus kesehatan, Covid-19 saat ini sudah menyerang lebih dari 7 juta orang di seluruh dunia, termasuk yang meninggal dunia. Tentu ini adalah musibah yang sangat besar dan tak bisa dianggap ringan. Namun juga jangan diabaikan, sebagai virus spiritual dan keimanan, Covid-19 telah menyerang hampir seluruh penduduk bumi, bahkan nyaris melumpuhkan kehidupan. Mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain pernah nyaris terhenti secara total. Entah sudah berapa pusat perbelanjaan yang pernah tutup karena Covid-19. Begitu juga dengan perhotelan, lembaga pendidikan, dan sektor-sektor kehidupan lainnya.
Penghentian aktivitas seperti di atas dilakukan untuk membatasi persebaran Covid-19. Bahasa lain dari upaya pencegahan ini adalah takut, yakni takut virus ini semakin menyebar, takut virus ini semakin banyak memakan korban hingga akhirnya dari satu ketakutan terus berkembang menjadi ketakutan-ketakutan yang lain, termasuk takut sakit, bahkan juga takut mati.
Imunitas spiritual
Secara spiritual, takut adalah kebalikan dari cinta. Takut bersifat negatif, sakit dan menyakitkan. Sementara cinta bersifat positif, sehat dan menyehatkan. Kehidupan orang yang penuh dengan ketakutan sejatinya berada di ambang batas kematian, bahkan mungkin terasa mati (walaupun secara fisik masih hidup). Sebaliknya kehidupan orang yang disemangati cinta sejatinya berada di pintu keabadian walaupun nanti yang bersangkutan sudah meninggal sekalipun.
Dalam pandemi Covid-19 yang disertai dengan psikologi ketakutan global, hal-hal yang bersifat keagamaan dan spiritual bisa menjadi sumber energi untuk meningkatkan imunitas. Dengan demikian ketakutan-ketakutan yang muncul akibat persebaran Covid-19 bisa diubah menjadi ketenangan yang pada tahap selanjutnya akan meningkatkan imunitas tubuh seseorang. Dalam salah satu Hadis Nabi Muhammad SAW yang sangat kesohor, contohnya, dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging yang sangat menentukan bagi sehat atau tidaknya tubuh manusia. Bila segumpal daging itu sehat, maka akan sehat seluruh tubuh orang tersebut. Pun demikian sebaliknya, apabila segumpal daging itu sakit, maka akan sakit seluruh tubuh orang tersebut. Segumpal daging itu tak lain adalah hati.
Itu sebabnya, dalam kajian spiritual hati senantiasa menjadi salah satu fokus utama dalam upaya perbaikan manusia menuju titik terdekat dari kesempurnaannya (al-insan al-kamil ). Makin sehat dan makin jernih hati seseorang maka akan semakin mendekati titik sempurnanya sebagai manusia. Pun demikian sebaliknya. Dalam konteks seperti ini, perang melawan penyakit hati menjadi perang paling besar sekaligus tak mengenal waktu. Dia menjadi perang paling mematikan walau tanpa darah. Pun dia menjadi perang paling lama walau tak selalu disadari oleh kebanyakan orang.
Pada akhirnya salah satu nilai tertinggi dari perjuangan spiritual adalah mencapai ketakwaan kepada Allah Swt. Salah satu makna takwa secara terminologi adalah takut kepada Allah dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karenanya, sesungguhnya ada pembebasan dalam ketakwaan. Seseorang yang bertakwa kepada Allah sejatinya terbebas dari rasa takut kepada siapa pun dan atau apa pun. Bila harus takut, maka hal itu hanya kepada Allah yang tak pernah dan tak akan pernah berbuat dzalim (terlebih lagi jahat) kepada umat manusia.
Tak ada gunanya takut kepada penyakit. Tak ada gunanya takut kepada yang belum terjadi. Tak ada gunanya takut kepada hari besok. Bahkan tak ada gunanya takut terhadap kematian. Karena secara teologis, semua yang harus terjadi pasti terjadi, tak peduli setebal apa ketakutan kita. Hal yang dibutuhkan adalah waspada, usaha dan upaya. Sangat penting waspada dari segala macam keburukan, termasuk waspada dari penyakit dan virus. Amatlah penting berusaha agar hari esok menjadi lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Dan teramat penting mengupayakan dan melakukan segala kebaikan sebagai bekal menyongsong kematian. Karena kalau sudah waktunya tiba, kematian akan tetap menjemput manusia, walaupun yang bersangkutan berada di dalam benteng paling tinggi nan kokoh sekalipun (Qs. An-Nisa: 78).
Perang melawan Covid-19 pada akhirnya menjadi peperangan dengan makhluk yang tak terlihat secara kasatmata. Perang seperti ini biasanya memakan waktu lama, termasuk walaupun sebagian wilayah di Indonesia mulai memberlakukan kenormalan baru. Justru perang melawan Covid-19 bisa menjadi lebih sengit dengan kebijakan normal baru; apakah kita tetap awas dan waspada atau justru terlena?
Sejatinya umat beragama tidak terlalu gugup apalagi salah fokus dalam menghadapi musuh tak terlihat seperti ini. Karena umat beragama senantiasa ditempa dalam menghadapi atau bahkan menaklukkan hal-hal tak terlihat sekalipun. Kunci untuk semua ini adalah kesehatan tubuh secara jasmani dan kesehatan jiwa secara rohani. Mari jaga imunitas tubuh kita. Mari jaga imunitas spiritual kita hingga kita bisa memenangi perang melawan Covid-19.
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
DENGAN alasan masing-masing, sebagian besar negara di dunia mulai melonggarkan kebijakan pembatasan sosial atau karantina wilayah yang sempat diterapkan untuk mengendalikan penularan Covid-19, tak terkecuali di sebagian wilayah di Indonesia. Kondisi ini dikenal dengan istilah new normal atau kenormalan baru yang bermakna segala aktivitas tetap dilakukan, tetapi dengan kesadaran protokol kesehatan yang ketat untuk menekan persebaran Covid-19.
Secara kesehatan, kenormalan baru bisa dibilang lebih berbahaya bila dibandingkan kebijakan pembatasan sosial atau bahkan karantina wilayah. Sebab aktivitas di luar rumah berpotensi menjadi media persebaran Covid-19 akibat perjumpaan yang ada antarmanusia. Semakin banyak aktivitas di luar rumah, semakin tinggi pula potensi terinfeksi Covid-19. Namun sebagian besar negara di dunia secara terpaksa menerapkan kebijakan kenormalan baru untuk menahan dampak-dampak buruk dari Covid-19, khususnya di sektor ekonomi. Terlebih hampir dapat dipastikan vaksin dari Covid-19 tidak akan berhasil disiapkan dalam waktu dekat ini. Berdasarkan perkembangan sementara, kemungkinan besar vaksin Covid-19 baru akan siap pada awal tahun depan.
Oleh karenanya, dengan diterapkannya kenormalan baru oleh banyak negara, hal ini menunjukkan bahwa tak ada negara mana pun di dunia ini yang siap menerapkan pembatasan sosial atau bahkan karantina wilayah hingga awal tahun depan. Itu sebabnya kenormalan baru menjadi pilihan walaupun harus dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat sebagai upaya membatasi persebaran Covid-19.
Virus spiritual
Hal yang harus dipahami Bersama adalah, dilihat dari dampak yang ditimbulkan, Covid-19 tak hanya bisa dikategorikan sebagai virus yang menyerang kesehatan. Lebih dari itu Covid-19 dapat disebut sebagai virus spiritual ataupun keimanan. Sebagai virus kesehatan, Covid-19 saat ini sudah menyerang lebih dari 7 juta orang di seluruh dunia, termasuk yang meninggal dunia. Tentu ini adalah musibah yang sangat besar dan tak bisa dianggap ringan. Namun juga jangan diabaikan, sebagai virus spiritual dan keimanan, Covid-19 telah menyerang hampir seluruh penduduk bumi, bahkan nyaris melumpuhkan kehidupan. Mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain pernah nyaris terhenti secara total. Entah sudah berapa pusat perbelanjaan yang pernah tutup karena Covid-19. Begitu juga dengan perhotelan, lembaga pendidikan, dan sektor-sektor kehidupan lainnya.
Penghentian aktivitas seperti di atas dilakukan untuk membatasi persebaran Covid-19. Bahasa lain dari upaya pencegahan ini adalah takut, yakni takut virus ini semakin menyebar, takut virus ini semakin banyak memakan korban hingga akhirnya dari satu ketakutan terus berkembang menjadi ketakutan-ketakutan yang lain, termasuk takut sakit, bahkan juga takut mati.
Imunitas spiritual
Secara spiritual, takut adalah kebalikan dari cinta. Takut bersifat negatif, sakit dan menyakitkan. Sementara cinta bersifat positif, sehat dan menyehatkan. Kehidupan orang yang penuh dengan ketakutan sejatinya berada di ambang batas kematian, bahkan mungkin terasa mati (walaupun secara fisik masih hidup). Sebaliknya kehidupan orang yang disemangati cinta sejatinya berada di pintu keabadian walaupun nanti yang bersangkutan sudah meninggal sekalipun.
Dalam pandemi Covid-19 yang disertai dengan psikologi ketakutan global, hal-hal yang bersifat keagamaan dan spiritual bisa menjadi sumber energi untuk meningkatkan imunitas. Dengan demikian ketakutan-ketakutan yang muncul akibat persebaran Covid-19 bisa diubah menjadi ketenangan yang pada tahap selanjutnya akan meningkatkan imunitas tubuh seseorang. Dalam salah satu Hadis Nabi Muhammad SAW yang sangat kesohor, contohnya, dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging yang sangat menentukan bagi sehat atau tidaknya tubuh manusia. Bila segumpal daging itu sehat, maka akan sehat seluruh tubuh orang tersebut. Pun demikian sebaliknya, apabila segumpal daging itu sakit, maka akan sakit seluruh tubuh orang tersebut. Segumpal daging itu tak lain adalah hati.
Itu sebabnya, dalam kajian spiritual hati senantiasa menjadi salah satu fokus utama dalam upaya perbaikan manusia menuju titik terdekat dari kesempurnaannya (al-insan al-kamil ). Makin sehat dan makin jernih hati seseorang maka akan semakin mendekati titik sempurnanya sebagai manusia. Pun demikian sebaliknya. Dalam konteks seperti ini, perang melawan penyakit hati menjadi perang paling besar sekaligus tak mengenal waktu. Dia menjadi perang paling mematikan walau tanpa darah. Pun dia menjadi perang paling lama walau tak selalu disadari oleh kebanyakan orang.
Pada akhirnya salah satu nilai tertinggi dari perjuangan spiritual adalah mencapai ketakwaan kepada Allah Swt. Salah satu makna takwa secara terminologi adalah takut kepada Allah dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karenanya, sesungguhnya ada pembebasan dalam ketakwaan. Seseorang yang bertakwa kepada Allah sejatinya terbebas dari rasa takut kepada siapa pun dan atau apa pun. Bila harus takut, maka hal itu hanya kepada Allah yang tak pernah dan tak akan pernah berbuat dzalim (terlebih lagi jahat) kepada umat manusia.
Tak ada gunanya takut kepada penyakit. Tak ada gunanya takut kepada yang belum terjadi. Tak ada gunanya takut kepada hari besok. Bahkan tak ada gunanya takut terhadap kematian. Karena secara teologis, semua yang harus terjadi pasti terjadi, tak peduli setebal apa ketakutan kita. Hal yang dibutuhkan adalah waspada, usaha dan upaya. Sangat penting waspada dari segala macam keburukan, termasuk waspada dari penyakit dan virus. Amatlah penting berusaha agar hari esok menjadi lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Dan teramat penting mengupayakan dan melakukan segala kebaikan sebagai bekal menyongsong kematian. Karena kalau sudah waktunya tiba, kematian akan tetap menjemput manusia, walaupun yang bersangkutan berada di dalam benteng paling tinggi nan kokoh sekalipun (Qs. An-Nisa: 78).
Perang melawan Covid-19 pada akhirnya menjadi peperangan dengan makhluk yang tak terlihat secara kasatmata. Perang seperti ini biasanya memakan waktu lama, termasuk walaupun sebagian wilayah di Indonesia mulai memberlakukan kenormalan baru. Justru perang melawan Covid-19 bisa menjadi lebih sengit dengan kebijakan normal baru; apakah kita tetap awas dan waspada atau justru terlena?
Sejatinya umat beragama tidak terlalu gugup apalagi salah fokus dalam menghadapi musuh tak terlihat seperti ini. Karena umat beragama senantiasa ditempa dalam menghadapi atau bahkan menaklukkan hal-hal tak terlihat sekalipun. Kunci untuk semua ini adalah kesehatan tubuh secara jasmani dan kesehatan jiwa secara rohani. Mari jaga imunitas tubuh kita. Mari jaga imunitas spiritual kita hingga kita bisa memenangi perang melawan Covid-19.
(ras)