RUU PKS Penting, ICJR: Banyak Korban Kekerasan Seksual Tak Terlindungi

Kamis, 02 Juli 2020 - 12:09 WIB
loading...
RUU PKS Penting, ICJR: Banyak Korban Kekerasan Seksual Tak Terlindungi
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak RUU PKS segera diselesaikan untuk melindungi korban kekerasan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkapkan tiga alasan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera diselesaikan. Banyak korban kekerasan seksual yang tidak terlindungi oleh negara.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebutkan alasan pertama RUU PKS harus tetap dibahas adalah minimnya akses pendampingan bagi korban kekerasan seksual. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, tercatat ada 1.288 kasus perkosaan, pencabulan 3.970 kasus, dan kekerasan seksual 5.247 kasus.

”Berdasarkan laporan tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2019, korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507,” ujar Erasmus dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (2/6/2020). (Baca juga: Dicabut dari Prolegnas, Nasdem Komitmen Perjuangkan RUU PKS)

Kedua, ICJR menganggap pemerintah telah abai terhadap pemulihan korban kekerasan seksual. Erasmus mengatakan pemerintah telah mengeluarkan pembiayaan korban kekerasan seksual dalam jaminan kesehatan. Pada Peraturan Presiden (perpres) Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual dikecualikan. Berdasarkan perpres tersebut, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit.

“Biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan tidak ditanggung negara. Awal Januari 2020, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) akan mengisi kekosongan dalam pembiayaan visum dan pengobatan luka kekerasan,” tuturnya. (Baca juga: Korban Kekerasan Seksual Terus Meningkat, RUU PKS Mendesak Diundangkan)

Erasmus menjelaskan Kementerian PPPA akan menggunakan dana dekonsentrasi di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau dana alokasi khusus. Namun, sampai sekarang belum ada perkembangannya.

Alasan ketiga, belum ada mekanisme komprehensif terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Formulasi hak korban tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dan banyak lembaga. Hal tersebut menyebabkan permasalahan hak korban menjadi tidak terkoordinasi dan komprehensif. “Penanganan korban kekerasan seksual jelas kompleks dan sulit, maka memerlukan peran negara. Jika negara menyerah karena kesulitan itu, korban akan menjadi korban untuk kesekian kalinya,” ucapnya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1271 seconds (0.1#10.140)