Hitung Ulang Nilai Subsidi dan Kompensasi BBM
loading...
A
A
A
PEMERINTAH memutuskan untuk menaikkan beberapa jenis harga bahan bakar minyak (BBM) dengan alasan memberatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan menggunakan istilah APBN jebol, subsidi tak tepat sasaran, 80% subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat mampu, masyarakat tak memiliki pilihan dan hanya bisa merespons dengan melakukan unjuk rasa.
Meskipun subsidi BBM yang kemudian diubah dengan subsidi energi disebut-sebut sudah mencapai Rp502 triliun dan diharapkan kenaikan harga bisa meredam lonjakan subsidi, namun faktanya, subsidi diumumkan tetap bengkak, dengan angka baru senilai Rp650 triliun.
Tentu bagi masyarakat, masalah angka subsidi tersebut menjadi pertanyaan besar dan menimbulkan kecurigaan. Terlebih sejak awal 2022, masalah subsidi BBM dan dana kompensasi BBM itu justru banyak digaungkan oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai ekonom dan pengamat dengan latar belakang dan kompetensi yang tak jelas.
Apalagi, pada 13 Juli 2022 Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan jaminan jika subsidi BBM akan terjaga. Pemerintah berjanji tak akan menaikkan harga BBM hingga akhir tahun 2022. Masyarakat pun memberikan apresiasi kepada Kepala Negara. Terlebih, kenaikan harga BBM subsidi diyakini akan membuat rakyat menjadi sengsara.
Namun janji tinggallah janji, pemerintah tetap menaikkan harga BBM jenis Solar, Pertalite, dan Pertamax. Pascapengumuman, masyarakat kembali menyoroti kebijakan pemeritah tersebut. Khususnya menyangkut kenaikan harga Pertamax yang dilakukan oleh pemerintah. Hal yang tidak lazim, mengingat Pertamax merupakan bahan bakar umum, yang tak disubsidi oleh pemerintah. Pemerintah hanya memberikan subsidi dan kompensasi yang merupakan istilah baru terhadap Solar yang merupakan Jenis BBM Tertentu (JBT), dan Pertalite yang merupakan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).
Masyarakat juga tentu mempertanyakan tidak ada perincian berapa subsidi BBM, LPG, berapa dana kompensasi BBM serta LPG, juga yang dimaksud dengan dana kompensasi. Termasuk penghitungan harga keekonomian. Hal ini lantaran ada perbedaan yang sangat besar antara harga keekonomian hitungan pemerintah dengan hitungan pihak lain yang disuarakan oleh pihak-pihak yang menyebut sebagai pengamat dan ekonom itu.
Ambil contoh, harga keeknomian Pertalite hitungan Kementerian Keuangan Rp14.450 per liter, namun narasi yang digulirkan pihak-pihak tertentu kepada masyarakat harga keekonomian produk BBM tersebut mencapai Rp18.000 per liter. Sedangkan harga Pertamax yang sejatinya tak memiliki landasan hukum jika disubsidi harga keekonomian berdasarkan penghitungan pemerintah sebesar Rp15.150/liter.
Namun, yang disuarakan kepada masyarakat oleh pihak-pihak tertentu harga keekonomian Pertamax mencapai Rp19.000 per liter. Adalah wajar jika kemudian masyarakat membandingkan dengan harga jual dari badan usaha swasta yang menjual BBM sejenis dengan Pertamax senilai Rp15.500 per liter. Dan mempertanyakan, dasar penetapan harga keekonomian tersebut.
Wajar pula masyarakat menaruh kecurigaan dari siapa angka-angka yang disuarakan oleh pihak-pihak yang menyebut dan disebut-sebut sebagai ekonom, pakar dan pengamat itu.
Subsidi BBM tentu memberatkan bagi APBN, namun apabila subsidi yang disebut tak tepat sasaran itu salah perhitungan dan berpotensi dinikmati pihak-pihak tertentu, sangat disayangkan. Dengan demikian, pemerintah perlu menghitung ulang secara cermat komponen-komponen pembentukan harga yang disebut keekonomian tersebut.
Meskipun subsidi BBM yang kemudian diubah dengan subsidi energi disebut-sebut sudah mencapai Rp502 triliun dan diharapkan kenaikan harga bisa meredam lonjakan subsidi, namun faktanya, subsidi diumumkan tetap bengkak, dengan angka baru senilai Rp650 triliun.
Tentu bagi masyarakat, masalah angka subsidi tersebut menjadi pertanyaan besar dan menimbulkan kecurigaan. Terlebih sejak awal 2022, masalah subsidi BBM dan dana kompensasi BBM itu justru banyak digaungkan oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai ekonom dan pengamat dengan latar belakang dan kompetensi yang tak jelas.
Apalagi, pada 13 Juli 2022 Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan jaminan jika subsidi BBM akan terjaga. Pemerintah berjanji tak akan menaikkan harga BBM hingga akhir tahun 2022. Masyarakat pun memberikan apresiasi kepada Kepala Negara. Terlebih, kenaikan harga BBM subsidi diyakini akan membuat rakyat menjadi sengsara.
Namun janji tinggallah janji, pemerintah tetap menaikkan harga BBM jenis Solar, Pertalite, dan Pertamax. Pascapengumuman, masyarakat kembali menyoroti kebijakan pemeritah tersebut. Khususnya menyangkut kenaikan harga Pertamax yang dilakukan oleh pemerintah. Hal yang tidak lazim, mengingat Pertamax merupakan bahan bakar umum, yang tak disubsidi oleh pemerintah. Pemerintah hanya memberikan subsidi dan kompensasi yang merupakan istilah baru terhadap Solar yang merupakan Jenis BBM Tertentu (JBT), dan Pertalite yang merupakan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).
Masyarakat juga tentu mempertanyakan tidak ada perincian berapa subsidi BBM, LPG, berapa dana kompensasi BBM serta LPG, juga yang dimaksud dengan dana kompensasi. Termasuk penghitungan harga keekonomian. Hal ini lantaran ada perbedaan yang sangat besar antara harga keekonomian hitungan pemerintah dengan hitungan pihak lain yang disuarakan oleh pihak-pihak yang menyebut sebagai pengamat dan ekonom itu.
Ambil contoh, harga keeknomian Pertalite hitungan Kementerian Keuangan Rp14.450 per liter, namun narasi yang digulirkan pihak-pihak tertentu kepada masyarakat harga keekonomian produk BBM tersebut mencapai Rp18.000 per liter. Sedangkan harga Pertamax yang sejatinya tak memiliki landasan hukum jika disubsidi harga keekonomian berdasarkan penghitungan pemerintah sebesar Rp15.150/liter.
Namun, yang disuarakan kepada masyarakat oleh pihak-pihak tertentu harga keekonomian Pertamax mencapai Rp19.000 per liter. Adalah wajar jika kemudian masyarakat membandingkan dengan harga jual dari badan usaha swasta yang menjual BBM sejenis dengan Pertamax senilai Rp15.500 per liter. Dan mempertanyakan, dasar penetapan harga keekonomian tersebut.
Wajar pula masyarakat menaruh kecurigaan dari siapa angka-angka yang disuarakan oleh pihak-pihak yang menyebut dan disebut-sebut sebagai ekonom, pakar dan pengamat itu.
Subsidi BBM tentu memberatkan bagi APBN, namun apabila subsidi yang disebut tak tepat sasaran itu salah perhitungan dan berpotensi dinikmati pihak-pihak tertentu, sangat disayangkan. Dengan demikian, pemerintah perlu menghitung ulang secara cermat komponen-komponen pembentukan harga yang disebut keekonomian tersebut.