Kenaikan Suku Bunga Acuan dan Masa Depan Restrukturisasi Kredit Dampak Pandemi
loading...
A
A
A
Fajar S Pramono
Direktur Riset BRI Research Institute
MINGGU lalu, tepatnya 23 Agustus 2022, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan yang sudah bertahan selama 18 bulan sejak awal 2021 sebanyak 25 basis poin atau 0,25%, menjadi 3,75%. Salah satu implikasi yang berpotensi mengikuti dan menjadi topik hangat pelaku bisnis keuangan adalah kapan dan berapa besar kenaikan suku bunga pinjaman.
Beberapa spoke person lembaga perbankan memang mengatakan bahwa kemungkinan untuk menaikkan suku bunga kredit itu masih cukup “jauh”, mengingat likuiditas perbankan—salah satunya tecermin pada angka loan to deposit ratio (LDR)– masih longgar dan rata-rata pertumbuhan kredit perbankan masih tinggi. Seperti kita ketahui, pertumbuhan kredit nasional per Juli 2022 berada di kisaran dua digit (10,71%), di atas pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang 8,59%.
Banyak analisa mengatakan, sebenarnya saat ini Bank Indonesia (BI) tidak atau belum memiliki keterdesakan untuk menaikkan suku bunga acuan karena angka inflasi dan nilai tukar rupiah yang masih terjaga. Contoh, pada Agustus 2022 rupiah relatif stabil di kisaran Rp14.800-14.900 per dolar AS. Inflasi inti masih di kisaran “aman” menurut target BI, yakni masih di angka 2,86%. Juga demi melihat pertumbuhan ekonomi kuartal II/2022 yang impresif mencapai 5,44%. Maka, kebijakan ini diyakini lebih bersifat antisipatif seiring dengan kemungkinan terjadinya lonjakan inflasi di masa mendatang.
Masa Depan Restrukturisasi
Kenaikan suku bunga acuan BI yang berpotensi menaikkan suku bunga pinjaman di lembaga keuangan ini menjadi menarik dicermati, ketika dikaitkan dengan masa depan atau nasib restrukturisasi kredit akibat pandemi Covid-19. Dalam beberapa pemaparan kinerja lembaga keuangan penyalur kredit disampaikan, rapor relaksasi yang berupa kemudahan dan keringanan dalam konteks restrukturisasi kredit akibat pandemi cukup baik, bahkan beberapa mengklaim sangat baik.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan bahwa baik outstanding maupun jumlah debitur restrukturisasi akibat dampak pandemi terus menurun. Tercatat per Juni 2022, outstanding kredit yang direstrukturisasi secara nasional Rp576,17 triliun dengan jumlah debitur restrukturisasi sebanyak 2,99 juta debitur, yang berarti turun cukup signifikan jika dibanding posisi Desember 2021 yang masih sebesar Rp663,49 triliun dengan sekitar 4 juta debitur penerima fasilitas restrukturisasi.
Contoh lebih rinci bisa dilihat pada dua bank BUMN besar, BRI dan Mandiri. Outstanding restrukturisasi kredit dampak pandemi Bank BRI per Juni 2022 terus turun, menjadi Rp129,55 triliun dari Rp156,93 triliun pada Desember 2021. Di Bank Mandiri, outstanding restrukturisasi kredit dampak pandemi juga turun menjadi Rp58,2 triliun dari posisi Desember 2021 yang masih Rp69,7 triliun (bank only).
Kondisi di atas tentu menjadi hal yang sangat menggembirakan jika ditilik dari aspek risiko kredit dan optimisme kualitas kredit di masa depan. Namun, menjadi lebih menarik untuk diperbincangkan manakala terdapat kemungkinan naiknya suku bunga kredit akibat kenaikan suku bunga acuan. Sehingga dalam hal ini, bank dan debiturnya berhadapan dengan dua challenge besar.
Pertama, yang selalu hangat dibahas sejak awal 2022, terkait dengan diperpanjang tidaknya kebijakan relaksasi kredit pascapandemi oleh OJK sebagaimana peraturan awal yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 lalu dan diikuti banyak POJK yang related setelahnya, yang akan habis masa berlakunya di 31 Maret 2023 nanti. Kedua, soal prediksi kemampuan debitur dalam menghadapi potensi kenaikan suku bunga kredit akibat kenaikan suku bunga acuan dimaksud.
Lantas, seperti apa kira-kira masa depan restrukturisasi kredit dampak pandemi ini, ketika diskursus yang belum selesai mengenai perlu tidaknya ketentuan relaksasi kredit diperpanjang harus berkelindan dengan isu baru soal kemungkinan naiknya suku bunga kredit?
Rasanya, optimisme tetap layak disematkan manakala skenario paling “menantang” akan terjadi: kombinasi dari dihentikannya kebijakan relaksasi oleh OJK dan naiknya suku bunga pinjaman mengikuti kenaikan suku bunga acuan. Mengapa? Setidaknya ada empat jawaban terkait pertanyaan tersebut.
Pertama, kita tentu yakin OJK dan BI tidak gegabah dalam membuat keputusan. Seperti kenaikan suku bunga acuan kali ini, yang secara gamblang disampaikan untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi, sekaligus dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Bagaimanapun, kestabilan inflasi dan nilai tukar rupiah merupakan dua “soko guru” penting bagi pertumbuhan ekonomi yang kondusif dan pencegahan stagflasi. Efek domino penyesuaian suku bunga yang jelas salah satunya ke penetapan suku bunga kredit pasti telah diperhitungkan secara masak.
Kedua, hampir semua lembaga perbankan menyatakan siap apabila kebijakan relaksasi kredit dari OJK tidak diperpanjang di 2023. Selain keyakinan bahwa risiko kredit atas debitur restrukturisasi relatif kecil, self assesment yang mereka lakukan mengatakan bahwa risiko tersebut masih dapat dikelola (manageable), salah satunya dengan memastikan angka non performing loan (NPL) coverage yang tinggi.
Bank BRI misalnya. Direktur Utama Bank BRI Sunarso mengatakan bahwa bank dengan portofolio lebih dari 80% merupakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini memiliki NPL coverage 266,26%. Demikian juga dengan manajemen Bank Mandiri yang telah memproyeksikan NPL coverage mencapai 270-280% di akhir 2022. Atau Bank BTN yang meyakini bahwa NPL coverage mereka di akhir 2022 akan mencapai minimal 150%.
Ketiga, salah satu riset yang dilakukan BRI Research Institute terkait kredit bersubsidi secara implisit juga menyimpulkan bahwa sesungguhnya banyak pelaku UMKM telah memiliki kemampuan yang lebih dari cukup ketika mereka harus dibebani suku bunga yang lebih tinggi. Bahkan dalam beberapa penerapan skema kredit, pemberian subsidi bunga ataupun penetapan suku bunga pinjaman restrukturisasi oleh perbankan layak ditinjau kembali.
Ini memang bukan pilihan populis dari kacamata nasabah. Tapi, pelaku usaha yang tangguh pasti tidak akan pasif dan “manja” ketika harus berhadapan dengan tantangan (untuk tidak menyebut sebagai “masalah”) seperti di atas. Apalagi jika didasari pemahaman yang lebih komprehensif bahwasanya negara sedang sangat membutuhkan ketangguhan mereka demi sebuah kepentingan yang lebih besar: menghindarkan diri dari keterpurukan ekonomi negeri yang lebih dalam akibat besarnya beban anggaran yang semestinya bisa diefisienkan.
Keempat, hasil survei BRI Research Institute tentang indeks bisnis UMKM kuartal II/2022 mengamini optimisme bahwa UMKM akan terus melaju di tengah kenaikan inflasi. Hal tersebut tecermin di seluruh angka indeks yang diteliti. Baik itu indeks bisnis UMKM secara umum, ekspektasi indeks bisnis UMKM 3 bulan mendatang, indeks sentimen bisnis UMKM, serta indeks kepercayaan pelaku UMKM kepada pemerintah. Semua angka indeks berada di atas angka 100, yang menunjukkan bahwa mayoritas pelaku usaha berada di zona optimis, zona yakin, dan zona ekspansif.
Optimisme dan keyakinan pelaku usaha dalam melakukan ekspansi ini tentu menjadi modal yang sangat berharga bagi kesinambungan bisnis mereka ke depannya dan mestinya mampu memantik keyakinan akan kemampuan mereka dalam menghadapi challenge berupa potensi kenaikan suku bunga pinjaman.
Yang kini perlu dijaga oleh pemerintah justru memastikan daya beli masyarakat sanggup mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga barang, mengingat “hukum alam” ekonomi yang mengatakan bahwa ketika total modal produksi (harga pokok produksi dan biaya lain-lain termasuk biaya bunga) naik, maka sangat mungkin harga jual barang dan jasa terkerek naik demi mempertahankan margin. Apalagi kita juga tahu bahwa konsumsi rumah tangga menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia, di mana ia tumbuh 5,51% dan memberikan andil 2,92% pada pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang mencapai 5,44%. Demikian.
Baca Juga: koran-sindo.com
Direktur Riset BRI Research Institute
MINGGU lalu, tepatnya 23 Agustus 2022, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan yang sudah bertahan selama 18 bulan sejak awal 2021 sebanyak 25 basis poin atau 0,25%, menjadi 3,75%. Salah satu implikasi yang berpotensi mengikuti dan menjadi topik hangat pelaku bisnis keuangan adalah kapan dan berapa besar kenaikan suku bunga pinjaman.
Beberapa spoke person lembaga perbankan memang mengatakan bahwa kemungkinan untuk menaikkan suku bunga kredit itu masih cukup “jauh”, mengingat likuiditas perbankan—salah satunya tecermin pada angka loan to deposit ratio (LDR)– masih longgar dan rata-rata pertumbuhan kredit perbankan masih tinggi. Seperti kita ketahui, pertumbuhan kredit nasional per Juli 2022 berada di kisaran dua digit (10,71%), di atas pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang 8,59%.
Banyak analisa mengatakan, sebenarnya saat ini Bank Indonesia (BI) tidak atau belum memiliki keterdesakan untuk menaikkan suku bunga acuan karena angka inflasi dan nilai tukar rupiah yang masih terjaga. Contoh, pada Agustus 2022 rupiah relatif stabil di kisaran Rp14.800-14.900 per dolar AS. Inflasi inti masih di kisaran “aman” menurut target BI, yakni masih di angka 2,86%. Juga demi melihat pertumbuhan ekonomi kuartal II/2022 yang impresif mencapai 5,44%. Maka, kebijakan ini diyakini lebih bersifat antisipatif seiring dengan kemungkinan terjadinya lonjakan inflasi di masa mendatang.
Masa Depan Restrukturisasi
Kenaikan suku bunga acuan BI yang berpotensi menaikkan suku bunga pinjaman di lembaga keuangan ini menjadi menarik dicermati, ketika dikaitkan dengan masa depan atau nasib restrukturisasi kredit akibat pandemi Covid-19. Dalam beberapa pemaparan kinerja lembaga keuangan penyalur kredit disampaikan, rapor relaksasi yang berupa kemudahan dan keringanan dalam konteks restrukturisasi kredit akibat pandemi cukup baik, bahkan beberapa mengklaim sangat baik.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan bahwa baik outstanding maupun jumlah debitur restrukturisasi akibat dampak pandemi terus menurun. Tercatat per Juni 2022, outstanding kredit yang direstrukturisasi secara nasional Rp576,17 triliun dengan jumlah debitur restrukturisasi sebanyak 2,99 juta debitur, yang berarti turun cukup signifikan jika dibanding posisi Desember 2021 yang masih sebesar Rp663,49 triliun dengan sekitar 4 juta debitur penerima fasilitas restrukturisasi.
Contoh lebih rinci bisa dilihat pada dua bank BUMN besar, BRI dan Mandiri. Outstanding restrukturisasi kredit dampak pandemi Bank BRI per Juni 2022 terus turun, menjadi Rp129,55 triliun dari Rp156,93 triliun pada Desember 2021. Di Bank Mandiri, outstanding restrukturisasi kredit dampak pandemi juga turun menjadi Rp58,2 triliun dari posisi Desember 2021 yang masih Rp69,7 triliun (bank only).
Kondisi di atas tentu menjadi hal yang sangat menggembirakan jika ditilik dari aspek risiko kredit dan optimisme kualitas kredit di masa depan. Namun, menjadi lebih menarik untuk diperbincangkan manakala terdapat kemungkinan naiknya suku bunga kredit akibat kenaikan suku bunga acuan. Sehingga dalam hal ini, bank dan debiturnya berhadapan dengan dua challenge besar.
Pertama, yang selalu hangat dibahas sejak awal 2022, terkait dengan diperpanjang tidaknya kebijakan relaksasi kredit pascapandemi oleh OJK sebagaimana peraturan awal yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 lalu dan diikuti banyak POJK yang related setelahnya, yang akan habis masa berlakunya di 31 Maret 2023 nanti. Kedua, soal prediksi kemampuan debitur dalam menghadapi potensi kenaikan suku bunga kredit akibat kenaikan suku bunga acuan dimaksud.
Lantas, seperti apa kira-kira masa depan restrukturisasi kredit dampak pandemi ini, ketika diskursus yang belum selesai mengenai perlu tidaknya ketentuan relaksasi kredit diperpanjang harus berkelindan dengan isu baru soal kemungkinan naiknya suku bunga kredit?
Rasanya, optimisme tetap layak disematkan manakala skenario paling “menantang” akan terjadi: kombinasi dari dihentikannya kebijakan relaksasi oleh OJK dan naiknya suku bunga pinjaman mengikuti kenaikan suku bunga acuan. Mengapa? Setidaknya ada empat jawaban terkait pertanyaan tersebut.
Pertama, kita tentu yakin OJK dan BI tidak gegabah dalam membuat keputusan. Seperti kenaikan suku bunga acuan kali ini, yang secara gamblang disampaikan untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi, sekaligus dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Bagaimanapun, kestabilan inflasi dan nilai tukar rupiah merupakan dua “soko guru” penting bagi pertumbuhan ekonomi yang kondusif dan pencegahan stagflasi. Efek domino penyesuaian suku bunga yang jelas salah satunya ke penetapan suku bunga kredit pasti telah diperhitungkan secara masak.
Kedua, hampir semua lembaga perbankan menyatakan siap apabila kebijakan relaksasi kredit dari OJK tidak diperpanjang di 2023. Selain keyakinan bahwa risiko kredit atas debitur restrukturisasi relatif kecil, self assesment yang mereka lakukan mengatakan bahwa risiko tersebut masih dapat dikelola (manageable), salah satunya dengan memastikan angka non performing loan (NPL) coverage yang tinggi.
Bank BRI misalnya. Direktur Utama Bank BRI Sunarso mengatakan bahwa bank dengan portofolio lebih dari 80% merupakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini memiliki NPL coverage 266,26%. Demikian juga dengan manajemen Bank Mandiri yang telah memproyeksikan NPL coverage mencapai 270-280% di akhir 2022. Atau Bank BTN yang meyakini bahwa NPL coverage mereka di akhir 2022 akan mencapai minimal 150%.
Ketiga, salah satu riset yang dilakukan BRI Research Institute terkait kredit bersubsidi secara implisit juga menyimpulkan bahwa sesungguhnya banyak pelaku UMKM telah memiliki kemampuan yang lebih dari cukup ketika mereka harus dibebani suku bunga yang lebih tinggi. Bahkan dalam beberapa penerapan skema kredit, pemberian subsidi bunga ataupun penetapan suku bunga pinjaman restrukturisasi oleh perbankan layak ditinjau kembali.
Ini memang bukan pilihan populis dari kacamata nasabah. Tapi, pelaku usaha yang tangguh pasti tidak akan pasif dan “manja” ketika harus berhadapan dengan tantangan (untuk tidak menyebut sebagai “masalah”) seperti di atas. Apalagi jika didasari pemahaman yang lebih komprehensif bahwasanya negara sedang sangat membutuhkan ketangguhan mereka demi sebuah kepentingan yang lebih besar: menghindarkan diri dari keterpurukan ekonomi negeri yang lebih dalam akibat besarnya beban anggaran yang semestinya bisa diefisienkan.
Keempat, hasil survei BRI Research Institute tentang indeks bisnis UMKM kuartal II/2022 mengamini optimisme bahwa UMKM akan terus melaju di tengah kenaikan inflasi. Hal tersebut tecermin di seluruh angka indeks yang diteliti. Baik itu indeks bisnis UMKM secara umum, ekspektasi indeks bisnis UMKM 3 bulan mendatang, indeks sentimen bisnis UMKM, serta indeks kepercayaan pelaku UMKM kepada pemerintah. Semua angka indeks berada di atas angka 100, yang menunjukkan bahwa mayoritas pelaku usaha berada di zona optimis, zona yakin, dan zona ekspansif.
Optimisme dan keyakinan pelaku usaha dalam melakukan ekspansi ini tentu menjadi modal yang sangat berharga bagi kesinambungan bisnis mereka ke depannya dan mestinya mampu memantik keyakinan akan kemampuan mereka dalam menghadapi challenge berupa potensi kenaikan suku bunga pinjaman.
Yang kini perlu dijaga oleh pemerintah justru memastikan daya beli masyarakat sanggup mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga barang, mengingat “hukum alam” ekonomi yang mengatakan bahwa ketika total modal produksi (harga pokok produksi dan biaya lain-lain termasuk biaya bunga) naik, maka sangat mungkin harga jual barang dan jasa terkerek naik demi mempertahankan margin. Apalagi kita juga tahu bahwa konsumsi rumah tangga menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia, di mana ia tumbuh 5,51% dan memberikan andil 2,92% pada pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang mencapai 5,44%. Demikian.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)