Kenaikan Suku Bunga Acuan dan Masa Depan Restrukturisasi Kredit Dampak Pandemi

Kamis, 01 September 2022 - 06:43 WIB
loading...
A A A
Rasanya, optimisme tetap layak disematkan manakala skenario paling “menantang” akan terjadi: kombinasi dari dihentikannya kebijakan relaksasi oleh OJK dan naiknya suku bunga pinjaman mengikuti kenaikan suku bunga acuan. Mengapa? Setidaknya ada empat jawaban terkait pertanyaan tersebut.

Pertama, kita tentu yakin OJK dan BI tidak gegabah dalam membuat keputusan. Seperti kenaikan suku bunga acuan kali ini, yang secara gamblang disampaikan untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi, sekaligus dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Bagaimanapun, kestabilan inflasi dan nilai tukar rupiah merupakan dua “soko guru” penting bagi pertumbuhan ekonomi yang kondusif dan pencegahan stagflasi. Efek domino penyesuaian suku bunga yang jelas salah satunya ke penetapan suku bunga kredit pasti telah diperhitungkan secara masak.

Kedua, hampir semua lembaga perbankan menyatakan siap apabila kebijakan relaksasi kredit dari OJK tidak diperpanjang di 2023. Selain keyakinan bahwa risiko kredit atas debitur restrukturisasi relatif kecil, self assesment yang mereka lakukan mengatakan bahwa risiko tersebut masih dapat dikelola (manageable), salah satunya dengan memastikan angka non performing loan (NPL) coverage yang tinggi.

Bank BRI misalnya. Direktur Utama Bank BRI Sunarso mengatakan bahwa bank dengan portofolio lebih dari 80% merupakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini memiliki NPL coverage 266,26%. Demikian juga dengan manajemen Bank Mandiri yang telah memproyeksikan NPL coverage mencapai 270-280% di akhir 2022. Atau Bank BTN yang meyakini bahwa NPL coverage mereka di akhir 2022 akan mencapai minimal 150%.

Ketiga, salah satu riset yang dilakukan BRI Research Institute terkait kredit bersubsidi secara implisit juga menyimpulkan bahwa sesungguhnya banyak pelaku UMKM telah memiliki kemampuan yang lebih dari cukup ketika mereka harus dibebani suku bunga yang lebih tinggi. Bahkan dalam beberapa penerapan skema kredit, pemberian subsidi bunga ataupun penetapan suku bunga pinjaman restrukturisasi oleh perbankan layak ditinjau kembali.

Ini memang bukan pilihan populis dari kacamata nasabah. Tapi, pelaku usaha yang tangguh pasti tidak akan pasif dan “manja” ketika harus berhadapan dengan tantangan (untuk tidak menyebut sebagai “masalah”) seperti di atas. Apalagi jika didasari pemahaman yang lebih komprehensif bahwasanya negara sedang sangat membutuhkan ketangguhan mereka demi sebuah kepentingan yang lebih besar: menghindarkan diri dari keterpurukan ekonomi negeri yang lebih dalam akibat besarnya beban anggaran yang semestinya bisa diefisienkan.

Keempat, hasil survei BRI Research Institute tentang indeks bisnis UMKM kuartal II/2022 mengamini optimisme bahwa UMKM akan terus melaju di tengah kenaikan inflasi. Hal tersebut tecermin di seluruh angka indeks yang diteliti. Baik itu indeks bisnis UMKM secara umum, ekspektasi indeks bisnis UMKM 3 bulan mendatang, indeks sentimen bisnis UMKM, serta indeks kepercayaan pelaku UMKM kepada pemerintah. Semua angka indeks berada di atas angka 100, yang menunjukkan bahwa mayoritas pelaku usaha berada di zona optimis, zona yakin, dan zona ekspansif.

Optimisme dan keyakinan pelaku usaha dalam melakukan ekspansi ini tentu menjadi modal yang sangat berharga bagi kesinambungan bisnis mereka ke depannya dan mestinya mampu memantik keyakinan akan kemampuan mereka dalam menghadapi challenge berupa potensi kenaikan suku bunga pinjaman.

Yang kini perlu dijaga oleh pemerintah justru memastikan daya beli masyarakat sanggup mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga barang, mengingat “hukum alam” ekonomi yang mengatakan bahwa ketika total modal produksi (harga pokok produksi dan biaya lain-lain termasuk biaya bunga) naik, maka sangat mungkin harga jual barang dan jasa terkerek naik demi mempertahankan margin. Apalagi kita juga tahu bahwa konsumsi rumah tangga menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia, di mana ia tumbuh 5,51% dan memberikan andil 2,92% pada pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang mencapai 5,44%. Demikian.

Baca Juga: koran-sindo.com
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2207 seconds (0.1#10.140)