Profil Frans Kaisiepo Pejuang Kemerdekaan Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Papua
loading...
A
A
A
JAKARTA - Profil Frans Kaisiepo sebagai pejuang kemerdekaan pengibar bendera merah putih pertama di Papua akan diulas dalam artikel ini. Ya, wajahnya memang sudah tidak asing lagi.
Wajah pria kelahiran 10 Oktober 1921, Wardo, Biak, Papua ini terpampang pada uang rupiah pecahan Rp10.000 emisi 2016. Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 077/TK/1993.
Begitu besar perjuangan Frans Kaisiepo untuk tanah Papua. Dilansir dari buku "Yuk, Berkenalan dengan Para Pahlawan di Uang Rupiah Baru" yang diterbitkan pada 2017 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, salah satu sifat Frans Kaisiepo yang patut diteladani adalah cinta Tanah Air.
Pada 14 Agustus 1945 atau tiga hari menjelang Proklamasi, Frans Kaisiepo dan rekan seperjuangannya mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura.
Kemudian, pada 31 Agustus 1945 atau beberapa hari sesudah Proklamasi, Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Dilansir dari situs Kementerian Keuangan, Frans Kaisiepo pada Juli 1946 menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT) ditentang keras oleh Frans Kaisiepo.
Dia bersikeras bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri daripada dipimpin oleh orang lain. Dia pun mengusulkan nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan "Irian" yang berasal dari bahasa asli Biak yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”.
Hal tersebut dilatar belakangi oleh kata Papua yang awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya adalah keriting. Sebutan itu dianggapnya merendahkan orang-orang lokal Papua.
Maka itu, dia berkehendak untuk menghentikan sebutan tersebut. Kata Irian kemudian dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands.
Perjuangannya di bidang politik terus berlanjut. Frans Kaisiepo mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak pada 1946. Dia terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua meski Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya.
Frans Kaisiepo dipenjara oleh Belanda sejak 1954 hingga 1961 karena perlawanannya. Kemudian, dia mendirikan Partai Irian Sebagian Indonesia (ISI) pada 1961.
Tujuan didirikannya ISI untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia. Presiden Soekarno pada tahun yang sama membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961.
Frans Kaisiepo melalui ISI membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika. Adapun hasil utama dari Trikora adalah Perjanjian New York pada 1 Mei 1963 yang memutuskan wilayah Papua dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan nama warisan dari Frans Kaiseipo, yaitu Irian Barat yang pada 1969 berganti menjadi Irian Jaya, selanjutnya berganti nama menjadi Papua pada 2001. Frans Kaisiepo terpilih menjadi anggota parlemen untuk Papua pada pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1973 atas upayanya mempersatukan Papua dengan Indonesia.
Selain itu, Frans Kaisiepo juga diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada 1977 sebagai wakil untuk urusan Papua. Frans Kaisiepo meninggal dunia pada 10 April 1979 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak.
Frans Kaisiepo dianugerahi penghargaan Bintang Maha Putra Adi Pradana Kelas Dua atas jasa-jasanya. Namanya pun diabadikan menjadi bandar udara (bandara) internasional di Pulau Biak, Papua.
Tak hanya itu, nama Gubernur Papua keempat ini juga diabadikan menjadi salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut, KRI Frans Kaisiepo dengan nomor seri 368.
Wajah pria kelahiran 10 Oktober 1921, Wardo, Biak, Papua ini terpampang pada uang rupiah pecahan Rp10.000 emisi 2016. Frans Kaisiepo ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 077/TK/1993.
Begitu besar perjuangan Frans Kaisiepo untuk tanah Papua. Dilansir dari buku "Yuk, Berkenalan dengan Para Pahlawan di Uang Rupiah Baru" yang diterbitkan pada 2017 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, salah satu sifat Frans Kaisiepo yang patut diteladani adalah cinta Tanah Air.
Pada 14 Agustus 1945 atau tiga hari menjelang Proklamasi, Frans Kaisiepo dan rekan seperjuangannya mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura.
Kemudian, pada 31 Agustus 1945 atau beberapa hari sesudah Proklamasi, Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Dilansir dari situs Kementerian Keuangan, Frans Kaisiepo pada Juli 1946 menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT) ditentang keras oleh Frans Kaisiepo.
Dia bersikeras bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri daripada dipimpin oleh orang lain. Dia pun mengusulkan nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan "Irian" yang berasal dari bahasa asli Biak yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”.
Hal tersebut dilatar belakangi oleh kata Papua yang awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya adalah keriting. Sebutan itu dianggapnya merendahkan orang-orang lokal Papua.
Maka itu, dia berkehendak untuk menghentikan sebutan tersebut. Kata Irian kemudian dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands.
Perjuangannya di bidang politik terus berlanjut. Frans Kaisiepo mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak pada 1946. Dia terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua meski Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya.
Frans Kaisiepo dipenjara oleh Belanda sejak 1954 hingga 1961 karena perlawanannya. Kemudian, dia mendirikan Partai Irian Sebagian Indonesia (ISI) pada 1961.
Tujuan didirikannya ISI untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia. Presiden Soekarno pada tahun yang sama membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961.
Frans Kaisiepo melalui ISI membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika. Adapun hasil utama dari Trikora adalah Perjanjian New York pada 1 Mei 1963 yang memutuskan wilayah Papua dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan nama warisan dari Frans Kaiseipo, yaitu Irian Barat yang pada 1969 berganti menjadi Irian Jaya, selanjutnya berganti nama menjadi Papua pada 2001. Frans Kaisiepo terpilih menjadi anggota parlemen untuk Papua pada pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1973 atas upayanya mempersatukan Papua dengan Indonesia.
Selain itu, Frans Kaisiepo juga diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada 1977 sebagai wakil untuk urusan Papua. Frans Kaisiepo meninggal dunia pada 10 April 1979 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak.
Frans Kaisiepo dianugerahi penghargaan Bintang Maha Putra Adi Pradana Kelas Dua atas jasa-jasanya. Namanya pun diabadikan menjadi bandar udara (bandara) internasional di Pulau Biak, Papua.
Tak hanya itu, nama Gubernur Papua keempat ini juga diabadikan menjadi salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut, KRI Frans Kaisiepo dengan nomor seri 368.
(rca)